"Kali ini Mas akan menemanimu sampai masuk ke dalam ruang dokter.""Kenapa? Mencegah SamuNikolass agar nggak menciumku lagi?"Bela menahan tawanya saat melihat wajah kesal Nial. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit dengan tangan Bela yang melingkar di lengannya sore ini."Iya, lagian kenapa sih kamu maunya cuma periksa di rumah sakit ini? Banyak dokter mata yang ada di luar sana loh!"Bela tersenyum saja."Dokter Airin itu temannya ibuk, Mas. Dan ibuk bilang aku sebaiknya datang saja padanya. Mas Nial nggak suka? Kalau begitu kita bisa cari dokter lain.""Oh? Mamah yang minta?""Iya.""Kalau begitu kita tetap periksa di sini.""Tapi tadi Mas Nial bilang ada banyak dokter mata di luar sana?""Tapi itu sebelum Mas tahu kalau mamah yang minta."Bela tersenyum semakin lebar saat mendengarnya. Ini seperti mereka jadi anak yang patuh pada ibu mereka. Dan melakukan apapun agar ibu mereka senang."Ini ruangannya?"Nial berhenti lebih dulu di depan sebuah ruangan dan Bela mengangguk men
Niko berteriak di dalam mobilnya sendiri. Memukul setir mobil dan menundukkan kepalanya. Membenturkannya dengan kesal."Kenapa itu harus Nial? Lelaki yang bahkan tangan matahari pun nggak bisa mengalahkannya? Apalagi aku?" Ia ingin menahan agar tidak menangis, tapi hatinya remuk redam.Mengingat waktu yang telah ia lewati bersama Bela membuatnya semakin terpuruk. Dia tahu dia adalah lelaki paling bodoh di dunia ini. Dia tahu dirinya pengecut.Yang selama ini sama sekali tak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Bela, dia takut akan ditolak. Apalagi mengingat Bela hanya menganggapnya sebagai kakak tingkat yang dia kagumi.Niko tahu saat itu Bela juga menyimpan rasa yang sama untuknya. Andaikan dia saat itu mengatakan dia mencintai Bela, apakah perasaannya akan terbalas juga? Niko berpikir penuh pengandaian karena kini yang tersisa memang hanya sebatas pengandaian. Sejak saat Bela ditampar Vida di depan kampus dan dia melerai mereka hari itu, saat Bela mengatakan ia telah men
Terasa sangat lama, atau bahkan lebih cepat? Bela tidak tahu. Yang jelas, hari ini adalah hari wisudanya.Dia sudah bersiap sejak pagi dan prosesi hampir usai. Hall berskala raksasa penuh dengan jubah kebesaran mahasiswa. Bela juga dapat melihat Nial yang dalam setelan jas sedang menunggunya di luar setelah acara selesai.Bahkan Bela juga sempat mencuri pandang padanya saat dia hadir di antara ribuan tamu undangan. Lelaki paling menawan dan mencuri perhatian karena kharismanya yang tidak bisa diragukan."Mas Nial menungguku?"Bela tersenyum padanya sesampainya di depan. Sekeluarnya dari hall setelah acara ditutup."Cantiknya."Nial menyerahkan sebuket bunga dalam ukuran yang besar. Bunga peony, baby breath dan juga bunga lili, bunga casablanca warna putih yang semuanya ia sukai. Bunga itu ada di dalam buket yang sama dan diberikan oleh Nial. Bukankah itu seperti sebuah paket komplit?"Apa aku cantik?"Nial mengangguk. Sekilas menyentuh wajahnya."Ya, sangat cantik. Tadi pagi-pagi kamu
Berapa hari sebelumnya ….…."Huft!"Bela sedang ada di dalam kamar mandi. Saat ia masuk tadi jam menunjukkan angka tiga sore. Nial belum pulang dari kantor. Selagi Bela sedang melakukan sesuatu di dalam sana."Ini sudah telat dua puluh hari. Hasilnya apa ya?"Dia masih belum membuka matanya setelah mengambil test pack dan dia gunakan. Dia gugup. Sangat gugup. "Jadi apa belum ya?"Dia menghela napasnya sekali lagi. Baru setelah sewindu berlalu ia perlahan membuka mata dan mengangkat test pack yang ada di tangan kanannya."Demi apa? Ini garis dua? Sungguh?"Bela kegirangan. Tidak bisa menghilangkan senyumya. Ia lalu keluar dari kamarnya. Bermaksud menghubungi dan mengabarkan ini pada Nial.Tapi hal itu urung ia lakukan. Ia berpikir akan menjadikannya kejutan besok di hari ia wisuda. Jadi dia mengambil ponselnya dan menelpon Sasti."Ya, Nak?""Ibuk, Bela boleh minta tolong?""Iya, tentu saja. Apa, Nak?""Ibuk bisa bawakan hadiah untuk Mas Nial besok di acara wisudanya Bela?""Hadiah
***"Kamu buat apa ini? Kenapa harum sekali baunya?"Nial datang dari belakang Bela. Memeluk pinggangnya dan meletakkan dagunya di atas pundak Bela."Mas? Ini aku buat sup asparagus dan jagung manis.""Hm ... apa masakan istri selalu seperti ini? Kamu tahu, Bel?""Apa?""Mas semakin jatuh cinta denganmu."Nial memeluknya semakin erat. Membuat Bela tersenyum tapi juga geli. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sangat mudah geli jika disentuh oleh Nial."Mas, jangan! Geli ih!""Mas jadi ragu.""Ragu apa?"Bela yang tadinya mengaduk sup kini memutar tubuhnya dan berbalik memandang Nial. Bereaksi atas ucapan 'Mas jadi ragu' yang baru saja dia katakan."Ragu sebenarnya yang harum itu supnya atau kamu?"Bela terlambat menghindari Nial Karena bibir prianya itu telah mengecup lehernya."Ehem!"Suara seseorang berdehem dari arah wastafel. Membuat Nial dan juga Bela segera menoleh padanya.Itu adalah Kim yang mencuci peralatan yang baru saja dipakai oleh Bela. Nial hanya menahan tawa melihat wajah
"BELA!!"Siska berlari menuruni eskalator saat melihat kerumunan orang di lantai bawah. Yang sedang mencoba menolong seorang perempuan yang dalam keadaan pingsan dengan kakinya bersimbah darah."BELA!"Siska menangis saat melihat itu benar-benar Bela. "Dia hamil? Dia sepertinya keguguran." Salah seorang perempuan berujar dan hal itu membuat Siska gila."Tadi aku lihat dia dengan seorang perempuan." Suara ujaran lainnya terdengar. Dia melihat Bela diangkat oleh beberapa orang dan Siska mengikutinya ke dalam ambulans.Dia merasa bersalah dengan meninggalkan Bela sendirian. Tadinya ia heran kenapa Bela tidak ada saat dia kembali dari kamar mandi. Dan dia juga tidak tahu bagaimana bisa Bela terjatuh dari eskalator.Melihat Bela yang mencoba disadarkan di dalam mobil ambulans membuat tangan Siska dingin namun berkeringat hebat. Dia bahkan memerlukan waktu sepersekian detik untuk memahami permintaan perawat setibanya di unit gawat darurat."Tolong hubungi keluarganya!"Siska dengan tanga
"Dengan seorang perempuan?"Jerry mengulangi kalimat siska dengan lebih cepat sebelum Nial membuka suaranya."Iya, Mas Jerr. Aku dengar beberapa orang bilang begitu. Lagi pula bukannya ini aneh?""Aneh apanya?" Jerry menautkan kedua alisnya. "Ya! Itu aneh, Jerry." Nial menyetujui kalimat Siska."Aneh bagaimana?""Mas Jerr, bagaimana bisa Bela ada di sana? Bagaimana bisa dia ada di dekat eskalator padahal aku dan dia naik lewat lift. Dan untuk apa juga dia pergi ke kios yang sudah tutup? Dan jatuh di sana?"Benar!Ucapan Siska selaras dengan apa yang dipikirkan oleh Nial. Kepala kritisnya bekerja lebih cepat membaca situasi. Selagi Jerry merasa jantungnya akan lepas sebentar lagi jika penjelasan Siska terbukti benar, maka dapat disimpulkan bahwa ada orang yang dengan sengaja mendorong Bela dari atas.Atau bisa lebih tepatnya seorang perempuan."Dan ... kalau misalnya Bela benar-benar dengan seorang perempuan dan Bela hampir jatuh, harusnya dia segera menolongnya. Tapi ... Bela--"Sis
Bela pusing. Ia merasa harus segera bangun. Untuk memastikan sesuatu. Untuk mengetahui kebenarannya.Ia memandang langit-langit yang asing. Dengan bau obat-obatan yang memenuhi indera pembaunya. Lengan kirinya sedikit nyeri karena infus.Dan lengan kanannya yang sedang dipeluk seseorang. Digenggam dengan sangat erat. Butuh waktu beberapa saat untuk memastikan bahwa lelaki yang tidur nyaman dengan posisi duduk, serta kepala di tepi ranjang itu adalah Nial.Rambutnya tampak berantakan, dia juga masih mengenakan kemeja warna putih yang pagi itu dia siapkan.Bela perlahan menggerakkan tangannya. Menyentuh rambut hitam Nial yang membuatnya seketika itu terjaga dengan punggung yang tegak."Sayang?"Nial mengerjapkan matanya beberapa kali. Menyentuh wajah Bela."Kamu sudah bangun dari tadi?""Belum, Mas."Suaranya sangat lirih. Hampir tidak kedengaran di telinga Nial."Tunggu di sini ya? Mas panggilkan dokter."Nial bangkit dengan segera tapi ia terhenti saat itu juga karena Bela meraih per