***"Kamu buat apa ini? Kenapa harum sekali baunya?"Nial datang dari belakang Bela. Memeluk pinggangnya dan meletakkan dagunya di atas pundak Bela."Mas? Ini aku buat sup asparagus dan jagung manis.""Hm ... apa masakan istri selalu seperti ini? Kamu tahu, Bel?""Apa?""Mas semakin jatuh cinta denganmu."Nial memeluknya semakin erat. Membuat Bela tersenyum tapi juga geli. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sangat mudah geli jika disentuh oleh Nial."Mas, jangan! Geli ih!""Mas jadi ragu.""Ragu apa?"Bela yang tadinya mengaduk sup kini memutar tubuhnya dan berbalik memandang Nial. Bereaksi atas ucapan 'Mas jadi ragu' yang baru saja dia katakan."Ragu sebenarnya yang harum itu supnya atau kamu?"Bela terlambat menghindari Nial Karena bibir prianya itu telah mengecup lehernya."Ehem!"Suara seseorang berdehem dari arah wastafel. Membuat Nial dan juga Bela segera menoleh padanya.Itu adalah Kim yang mencuci peralatan yang baru saja dipakai oleh Bela. Nial hanya menahan tawa melihat wajah
"BELA!!"Siska berlari menuruni eskalator saat melihat kerumunan orang di lantai bawah. Yang sedang mencoba menolong seorang perempuan yang dalam keadaan pingsan dengan kakinya bersimbah darah."BELA!"Siska menangis saat melihat itu benar-benar Bela. "Dia hamil? Dia sepertinya keguguran." Salah seorang perempuan berujar dan hal itu membuat Siska gila."Tadi aku lihat dia dengan seorang perempuan." Suara ujaran lainnya terdengar. Dia melihat Bela diangkat oleh beberapa orang dan Siska mengikutinya ke dalam ambulans.Dia merasa bersalah dengan meninggalkan Bela sendirian. Tadinya ia heran kenapa Bela tidak ada saat dia kembali dari kamar mandi. Dan dia juga tidak tahu bagaimana bisa Bela terjatuh dari eskalator.Melihat Bela yang mencoba disadarkan di dalam mobil ambulans membuat tangan Siska dingin namun berkeringat hebat. Dia bahkan memerlukan waktu sepersekian detik untuk memahami permintaan perawat setibanya di unit gawat darurat."Tolong hubungi keluarganya!"Siska dengan tanga
"Dengan seorang perempuan?"Jerry mengulangi kalimat siska dengan lebih cepat sebelum Nial membuka suaranya."Iya, Mas Jerr. Aku dengar beberapa orang bilang begitu. Lagi pula bukannya ini aneh?""Aneh apanya?" Jerry menautkan kedua alisnya. "Ya! Itu aneh, Jerry." Nial menyetujui kalimat Siska."Aneh bagaimana?""Mas Jerr, bagaimana bisa Bela ada di sana? Bagaimana bisa dia ada di dekat eskalator padahal aku dan dia naik lewat lift. Dan untuk apa juga dia pergi ke kios yang sudah tutup? Dan jatuh di sana?"Benar!Ucapan Siska selaras dengan apa yang dipikirkan oleh Nial. Kepala kritisnya bekerja lebih cepat membaca situasi. Selagi Jerry merasa jantungnya akan lepas sebentar lagi jika penjelasan Siska terbukti benar, maka dapat disimpulkan bahwa ada orang yang dengan sengaja mendorong Bela dari atas.Atau bisa lebih tepatnya seorang perempuan."Dan ... kalau misalnya Bela benar-benar dengan seorang perempuan dan Bela hampir jatuh, harusnya dia segera menolongnya. Tapi ... Bela--"Sis
Bela pusing. Ia merasa harus segera bangun. Untuk memastikan sesuatu. Untuk mengetahui kebenarannya.Ia memandang langit-langit yang asing. Dengan bau obat-obatan yang memenuhi indera pembaunya. Lengan kirinya sedikit nyeri karena infus.Dan lengan kanannya yang sedang dipeluk seseorang. Digenggam dengan sangat erat. Butuh waktu beberapa saat untuk memastikan bahwa lelaki yang tidur nyaman dengan posisi duduk, serta kepala di tepi ranjang itu adalah Nial.Rambutnya tampak berantakan, dia juga masih mengenakan kemeja warna putih yang pagi itu dia siapkan.Bela perlahan menggerakkan tangannya. Menyentuh rambut hitam Nial yang membuatnya seketika itu terjaga dengan punggung yang tegak."Sayang?"Nial mengerjapkan matanya beberapa kali. Menyentuh wajah Bela."Kamu sudah bangun dari tadi?""Belum, Mas."Suaranya sangat lirih. Hampir tidak kedengaran di telinga Nial."Tunggu di sini ya? Mas panggilkan dokter."Nial bangkit dengan segera tapi ia terhenti saat itu juga karena Bela meraih per
…."Tekanan darahmu sangat rendah. Apa kamu nggak pusing?"Bela mendengar pertanyaan itu datang dari dokter yang dikatakan oleh Nial yang namanya Ivander."Enggak." Bela menjawabnya secepat mungkin. Agar ia terbebas dari lamunannya yang amat panjang. Tubuhnya meremang. Dia merasakan sakit tapi bukan di tubuhnya, melainkan di hatinya.Mengingat apa yang terjadi padanya membuatnya tanpa sadar kembali meneteskan air mata. Yang sesegera mungkin ia hapus sebelum Ivander yang mengecek kantong infusnya sadar. Atau Nial yang membaca data yang ditulis Ivander melihatnya."Kenapa? Apa itu bahaya?"Nial bertanya saat Ivander berbalik. Membuat Nial menyerahkan file yang tadi dia baca."Yah ... sedikit. Tekanannya hanya tujuh puluh saja. Ini jauh di bawah normal. pak Nial.""Lalu bagaimana?""Akan aku resepkan obat. Dan makanlah yang banyak agar tekanannya kembali normal. Selama belum stabil atau tekanan darahnya mengalami fluktuasi, aku nggak akan mengizinkan istrimu keluar dari sini."Ivander m
"Jawab Mas, Bel!"Bela merasa riak kemarahan Nial meningkat sepuluh kali lipat. Dingin, mengintimidasi dan juga membuatnya menggigil.Bela menghindari tatapannya. Tapi Nial tidak mengizinkannya karena tangannya menyentuh rahangnya yang kecil. Tak membiarkan Bela berpaling."Bela! Jawab Mas! Jenni yang melakukam ini padamu?""Iya."Jawaban Bela membuat hati Nial penuh dengan rasa marah. Jenni keterlaluan, pikiran iblis macam apa yang menguasainya dengan melakukan percobaan pembunuhan pada istrinya dengan mendorongnya jatuh dari eskalator.Dan juga ... membunuh calon anaknya.Nial melepas tangannya dari Bela. Ia pergi dari hadapannya. "Mas! Mau ke mana?"Bela menahan tangannya dengan cepat, membuat Nial berhenti dan memutar tubuhnya kembali pada Bela yang masih beruraian air mata."Mau menemui perempuan itu dan membuatnya tahu tempat.""Jangan!""Kenapa?""Dia benar," lirihnya dengan sendu.Nial tidak bisa memaafkan ini lebih lama lagi. Jenni telah berhasil meluluh-lantahkan kepercayaa
"Dia bermain cantik dengan pergi begitu saja setelah melakukan percobaan pembunuhan pada istriku dan anakku?"Garis dagu Nial menegang. Dia mengepalkan tangannya erat-erat dan merasa Jenni lebih licik dari pada yang ia duga."Lalu bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menyeretnya untuk pulang dari luar negeri?"Nial menggeleng. Mengisyaratkan dengan jari tangannya bahwa Jerry tidak perlu melakukan hal itu."Nggak, Jerry! Jangan! Biarkan dia melakukan apapun. Jangan perlihatkan bagaimana kita membencinya! Biarkan dia pulang dengan sendirinya. Saat itu terjadi, buat dia menyesal. Sangat menyesal.""Baiklah kalau itu yang Pak Nial inginkan."Jerry mengangguk tidak ingin membantah Nial sedikit pun."Kalau nona sudah lebih baik, kabari aku! Siska ingin bertemu dengannya.""Iya.""Aku akan bawakan makanan dan pakaian untukmu sebentar lagi."Jerry undur diri dari sana. Nial mengiyakannya dan kembali masuk ke dalam ruang rawat Bela. Melihatnya yang tertidur.Mungkin le
"Kenapa Ayah setega itu mengatakannya padaku?"Bela meremas jemarinya erat-erat. Dia tadinya tidak ingin membuka mulut dan memilih diam saja.Tapi ini keterlaluan baginya. Dia baru saja melewati masa sulit atas peristiwa yang di luar rencananya tapi Hendro dengan tanpa rasa bersalahnya justru mengatakan bahwa dirinya adalah sebuah kegagalan?"Ayah pikir aku baik-baik saja? Aku juga nggak ingin ada di posisi ini!""Kamu meninggikan suaramu pada Ayah?""Nggak ada perempuan di dunia ini yang ingin keguguran apalagi saat mereka menginginkan seorang anak. Bela? Sama! Aku ingin punya anak dengan Mas Nial. Aku tahu aku gagal. Tapi aku masih berusaha untuk melakukan yang sebaik mungkin untuk suamiku."Hendro hening sejenak. Melihat hurricane di mata Bela dan riak hebat tsunami yang membanjiri tiap suku katanya yang keluar dengan seribu duka."Bahkan ... ibu Yasmin juga melakukan hal yang sama dengan ingin memberikan hal paling baik untuk Ayah."Mendengar nama Yasmin disebut membuat telinga He