"Apa?!" Ketiganya saling melihat ketika mendengar ucapan Leigh. "Serius, Paman sudah menemukan di mana Zea?" tanya Samuel terharu. Jika Zea ditemukan rasa bersalahnya terhadap Zayyan akan terbayarkan. "Benar, Sam!" Leigh tersenyum. "Tapi, untuk sekarang Paman belum bisa mengatakan di mana dia sekarang," sambungnya kemudian. Raut wajah Samuel, Josua dan Niko seketika berubah. "Kenapa, Paman?" tanya Samuel dengan nada kecewa. Dia sudah dibuat terbang setinggi langit, tetapi seketika terhempas saat mendengar penjelasan dari Leigh. "Sebelum Zayyan bercerai dengan Zevanya. Zea tidak akan bisa kembali karena Paman takut jika Zevanya berusaha menyakiti adiknya," jelas Leigh menarik napas sedalam mungkin. Mencari keberadaan Zea tentu bukan hal yang sulit baginya. Dia memiliki banyak jaringan di mana-mana, bahkan mata-matanya berada di berbagai negara. "Tapi bagaimana caranya memaksa Zevanya menandatangani surat perceraian itu? Sedangkan sekarang wanita itu telah menyamar menjadi Zea," u
Zayyan menatap penuh kebencian wanita yang tengah mengelus dadanya itu. "Aku berjanji akan menjadi ibu yang baik untuk Ar. Aku akan memberikan apa saja, termasuk cinta dan perhatian. Tapi, semua tergantung sikapmu, Sayang," ucap Zevanya terkekeh dan merasa menang, ketika melihat wajah suaminya yang seperti tak berdaya. "Kenapa kau hanya diam saja, Sayang?" ledek Zevanya. Dia mengelus bibir seksi yang diisi daging penuh itu. Betapa menggodanya bibir pria ini dan Zevanya sudah lama tak mencicipi bibir tersebut. "Apa yang kau inginkan, Zevanya?" tanya Zayyan dengan rahang mengeras. Zevanya tertawa mendengar pertanyaan suaminya. Dia rasa lelaki ini bukan pria bodoh. Sebelum dirinya mengatakan keinginan yang terselip di dalam hati, pasti Zayyan sudah tahu banyak hal. "Kau ini lucu, Sayang. Bukankah sudah aku katakan, aku hanya ingin dirimu, jiwamu, ragamu dan hatimu!" Zevanya meletakan jari tepat di dada suaminya. "Minta apa saja, tapi untuk masalah perasaan aku tidak bisa," tolak Za
Huwek!Huwek!Huwek!Zevanya mengeluarkan semua isi perutnya. Wajah wanita itu tampak pucat seolah tak berdarah. "Ada apa denganku?" tanyanya lirih sambil bersandar di daun pintu kamar mandi. "Perutku sakit sekali!" rintihnya. Wanita itu mengumpulkan sejuta kekuatan dan berdiri dengan memegang tembok sebagai penyangga. Kepalanya pusing bukan main dan perut yang terasa dikocok-kocok. Dia berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Tampak Zayyan baru saja masuk. Mereka memang satu kamar itu semua atas permintaan Ar karena Zevanya sedang menyamar menjadi Zea. "Zayyan," panggilnya terdengar lirih. Lelaki itu melirik sekilas, lalu fokus melepaskan jas dan dasinya. Dia seperti tak mendengar panggilan dari Zevanya. "Perutku sakit!" adunya. "Lalu?" Zayyan menatap sinis ke arah wanita itu. Rasanya benar-benar jijik melihat wajah sang istri. "Tolong bantu aku ke ranjang!" pintanya. "Kau kenapa?" Tak ada raut cemas atau kekhawatiran dari wajahnya. "Perutku serasa dikocok-
"Mommy!" Ar terus memanggil nama Zea. "Mommy!" Lelaki kecil itu meringkuk di bawah selimut tebalnya. Keringat dingin mengucur dari dahi hingga menetes membasahi alas bantal yan menopang kepalanya. Zayyan bergegas masuk ke dalam kamar putranya itu."Son!"Dia berhambur ke arah ranjang Ar. Zayyan menyimak selimut Ar dan dia terkejut saat punggung tangannya menyentuh kening Ar yang terasa begitu panas. "Astaga!" Zayyan mengangkat tubuh kecil Ar dengan wajah panik dan juga takut. Dia sampai meneriaki Leo agar cepat membuka pintu mobil. Zayyan duduk di bangku penumpang, sembari memangku tubuh kecil putranya itu."Son, Daddy mohon jangan tinggalkan Daddy!" ucapnya dengan deraian air mata. Tentu saja Zayyan takut karena tak pernah melihat Ar demam dengan wajah pucat serta badan yang panas. "Mommy!" panggil Ar dengan mata yang terpejam erat. "Daddy di sini, Son." Lelaki tampan itu memeluk tubuh Ar dengan erat."Mommy!" Ar terus memanggil nama Zea. Setelah Zayyan berbicara empat denga
"Argh!" Zevanya melempar semua barang di atas meja riasnya. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Zayyan!" tegas wanita itu. Zevanya terduduk sambil mengusar kepalanya kasar. Wanita itu menangis sesengugukan ketika diusir dari mansion sang suami. Di saat yang bersamaan dia harus menerima gugatan cerai dari semuanya. "Aku harus gugurkan anak ini, agar aku punya alasan untuk menolak perceraian ini!" ucapnya menyeka air mata yang berjatuhan dengan deras di pipinya. Wanita itu bergegas keluar dari kamarnya. Dia berjalan gontai."Mau ke mana?" tanya Marvin seraya bersedekap dada dan menatap wanita itu curiga. "Bukan urusanmu," ketus Marvin. "Jelas menjadi urusanku karena sekarang kau menggandung anakku!" tekan Marvin. "Cepat minum susumu." Awalnya Marvin setuju dengan ide Zevanya untuk mengugurkan bayi mereka. Namun, seketika dia menyadari satu hal bahwa sejak dulu ingin memiliki anak walau tanpa hubungan pernikahan. Kini, dia tidak mencintai Zevanya, wanita itu hanya patner yang mene
Zayyan lelaki yang telah kehilangan cintanya. Dia bahkan sulit untuk percaya pada orang lain tentang cinta sejati. Wanita yang sudah dia anggap sebagai belahan jiwanya, ternyata malah memilih pergi dan hilang tanpa mengucapkan kata selamat tinggal. Entah siapa yang harus Zayyan percaya di dunia ini? Setelah kepergian sang ibu, dirinya memang merasa tak memiliki kesempatan untuk meraih kehidupan. Apalagi saat dipaksa menikahi dengan Zevanya, wanita yang sama sekali tidak dia cintai. "Dad?" Hingga panggilan Ar membuyarkan lamunan pria tampan itu. "Iya, Son?" Zayyan tersenyum hangat seraya mengusap kepala putranya dengan sayang. "Mommy!" Lagi-lagi mata Ar berkaca-kaca karena yang ada di dalam pikirannya hanyalah Zea. "Ar!" Zayyan langsung memeluk putranya dan menenangkan pria kecil itu. "Ar mau ketemu mommy," renggeknya. "Son!" Zayyan melepaskan pelukan pria kecil itu. "Apakah boleh kita bicara sebentar?" pintanya dengan senyuman lembut. Meski Zayyan tahu bahwa apa yang akan dia a
Beberapa tahun kemudian"Mommy!" teriak tiga anak kembar yang berjalan masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Di belakang mereka ada seorang pria berjas putih yang mengekor, sembari menenteng kantong berwarna putih di tangannya. "Nak, jalannya pelan-pelan!" tegur sang ibu yang masih sibuk berkutat dengan alat-alat dapur. Ketiga anak berusia lima tahun itu menghampiri sang ibu. "Mandi dulu sama Ayah, Daddy lagi siapkan makanan!" perintah wanita itu tersenyum pada ketiga anak kembarnya yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak. "Iya, Mom!" Ketiga mengangguk kompak dan tak lupa, menampilkan wajah menggemaskan dan imut mereka sehingga membuat sang ibu terkekeh gemas. "Kakak bawa apa?" tanyanya pada lelaki berjas putih itu. "Makanan kesukaan anak-anak." Pria tampan itu meletakan kantong di tangannya. "Siapkan makanan, aku akan memandikan mereka!" tukasnya. "Iya, Kak." Wanita cantik itu membalas dengan anggukan. "Ayo anak-anak!" "Ayo, Ayah!" seru ketiganya kompak mengikuti sang aya
Zea tertegun mendengar penjelasan Zavier. "Jadi, Kak Zayyan tahu keberadaan aku dan anak-anak?" tanyanya memastikan. "Iya, Zea." Zavier menghela napas panjang. "Dia sengaja tidak menganggumu atau memintamu untuk kembali."DegBagai tersambar petir Zea langsung terdiam. Harusnya dia senang, tetapi entah kenapa perasaannya hampa? Sakit sekali ketika tahu bahwa Zayyan sudah tak peduli lagi padanya. "Bukankah itu lebih baik, Kak?" Zea tersenyum kecut, berusaha menutupi luka yang menciut. "Maka dari itu Kakak dan Sean memutuskan untuk membawa kalian kembali ke Indonesia," sambung Zavier kemudian. Zea menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa kembali, Kak. Aku ingin tetap di sini bersama anak-anak," tolak Zea. Jelas dia tidak mau kembali karena itu bisa saja menguak luka lama yang masih basah. "Kenapa, Zea? Apa yang kau takutkan? Lagian Kak Zayyan juga sudah memulai hidupnya yang baru," ujar Zavier. "Kakak harus kembali karena harus mengurus semua perusahaan Daddy sebelum jatuh ke tan