Zayyan lelaki yang telah kehilangan cintanya. Dia bahkan sulit untuk percaya pada orang lain tentang cinta sejati. Wanita yang sudah dia anggap sebagai belahan jiwanya, ternyata malah memilih pergi dan hilang tanpa mengucapkan kata selamat tinggal. Entah siapa yang harus Zayyan percaya di dunia ini? Setelah kepergian sang ibu, dirinya memang merasa tak memiliki kesempatan untuk meraih kehidupan. Apalagi saat dipaksa menikahi dengan Zevanya, wanita yang sama sekali tidak dia cintai. "Dad?" Hingga panggilan Ar membuyarkan lamunan pria tampan itu. "Iya, Son?" Zayyan tersenyum hangat seraya mengusap kepala putranya dengan sayang. "Mommy!" Lagi-lagi mata Ar berkaca-kaca karena yang ada di dalam pikirannya hanyalah Zea. "Ar!" Zayyan langsung memeluk putranya dan menenangkan pria kecil itu. "Ar mau ketemu mommy," renggeknya. "Son!" Zayyan melepaskan pelukan pria kecil itu. "Apakah boleh kita bicara sebentar?" pintanya dengan senyuman lembut. Meski Zayyan tahu bahwa apa yang akan dia a
Beberapa tahun kemudian"Mommy!" teriak tiga anak kembar yang berjalan masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Di belakang mereka ada seorang pria berjas putih yang mengekor, sembari menenteng kantong berwarna putih di tangannya. "Nak, jalannya pelan-pelan!" tegur sang ibu yang masih sibuk berkutat dengan alat-alat dapur. Ketiga anak berusia lima tahun itu menghampiri sang ibu. "Mandi dulu sama Ayah, Daddy lagi siapkan makanan!" perintah wanita itu tersenyum pada ketiga anak kembarnya yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak. "Iya, Mom!" Ketiga mengangguk kompak dan tak lupa, menampilkan wajah menggemaskan dan imut mereka sehingga membuat sang ibu terkekeh gemas. "Kakak bawa apa?" tanyanya pada lelaki berjas putih itu. "Makanan kesukaan anak-anak." Pria tampan itu meletakan kantong di tangannya. "Siapkan makanan, aku akan memandikan mereka!" tukasnya. "Iya, Kak." Wanita cantik itu membalas dengan anggukan. "Ayo anak-anak!" "Ayo, Ayah!" seru ketiganya kompak mengikuti sang aya
Zea tertegun mendengar penjelasan Zavier. "Jadi, Kak Zayyan tahu keberadaan aku dan anak-anak?" tanyanya memastikan. "Iya, Zea." Zavier menghela napas panjang. "Dia sengaja tidak menganggumu atau memintamu untuk kembali."DegBagai tersambar petir Zea langsung terdiam. Harusnya dia senang, tetapi entah kenapa perasaannya hampa? Sakit sekali ketika tahu bahwa Zayyan sudah tak peduli lagi padanya. "Bukankah itu lebih baik, Kak?" Zea tersenyum kecut, berusaha menutupi luka yang menciut. "Maka dari itu Kakak dan Sean memutuskan untuk membawa kalian kembali ke Indonesia," sambung Zavier kemudian. Zea menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa kembali, Kak. Aku ingin tetap di sini bersama anak-anak," tolak Zea. Jelas dia tidak mau kembali karena itu bisa saja menguak luka lama yang masih basah. "Kenapa, Zea? Apa yang kau takutkan? Lagian Kak Zayyan juga sudah memulai hidupnya yang baru," ujar Zavier. "Kakak harus kembali karena harus mengurus semua perusahaan Daddy sebelum jatuh ke tan
"Kau ragu, Kak?" Shania melirik Zea yang tampak melamun. "Tidak. Hanya saja Indonesia terlalu banyak kenangan. Ada kisah seorang gadis yang menggantikan kakak kembarnya menjadi istri dari pria dingin tak berperasaan. Tapi, siapa sangka gadis itu malah jatuh cinta pada kakak iparnya, hingga menggandung di luar nikah." Zea tertawa getir mengenang kisah hidup pahit yang membuatnya ada di titik ini. "Kak." Shania menyandarkan kepalanya di bahu Zea. "Jangan menyesali apa yang terjadi. Semua adalah takdir dan atas kehendak Tuhan. Aku yakin suatu saat Kakak juga akan bahagia," tukas Shania sambil mengelus lengan Zea. Zea tersenyum kecut. Miris sekali hidupnya dan bahkan dia harus merelakan masa muda dan menjadi korban keserakahan Miko dan juga Zevanya. "Anakku bahkan harus lahir tanpa seorang ayah. Kadang, ketika mereka bertanya kenapa kami berpisah? Aku bingung harus jawab apa, karena kami tidak pernah terikat dalam pernikahan sebelumnya. Sekarang, lelaki itu bahkan sudah melupakan aku.
"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah in
"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah ini
"Dad!" Leigh yang tengah asyik membaca buku di ruang kerjanya, sontak mengangkat kepala. "Daddy," panggil Zavier.Buku yang di tangan Leigh langsung jatuh di lantai. Tubuhnya menuntun lelaki tua itu berdiri tanpa dia sadari. Mulutnya terasa kaku untuk mengeluarkan kata-kata. "Zavier!" Benarkah itu putra yang selama ini menghilang tiba-tiba ada di depan matanya?"Dad!" Zavier berhambur memeluk pria tua itu. Sungguh dia sangat merindukan ayahnya. "Aku sangat merindukanmu, Dad," ucapnya memeluk erat tubuh pria tua itu. "Zavier!" Leigh membalas pelukan anaknya sambil menangis. Dia pun sangat rindu, apalagi Zavier anak bungsu yang begitu dekat dengannya. "Daddy!" Leigh mengungkapkan rasa rindu yang terasa menerpa dadanya. Hubungannya dan Zayyan kembali renggang setelah anaknya itu tahu bahwa dirinya terlibat dalam kasus penyembunyian Zea. Padahal Leigh hanya berniat melindungi dan tak ada niat memisahkan. Jika bisa, dia bahkan ingin Zayyan dan Zea bersama hingga maut memisahkan. Namu
Di sebuah ruangan mewah, tampak seorang pria tampan tengah menatap kekosongan ke arah jendela ruangannya yang begitu transparan dan menampilkan seluk beluk, kepadatan kota Jakarta. Di tangannya terdapat gelas yang berisi vodka, sesekali dia sesat dengan tatapan kosong dan hampa. "Selamat siang, Tuan," sapa sang asisten yang sedari tadi menunggu seperti manekin. "Kenapa?" "Ada tuan Josua, tuan Samuel dan tuan Niko yang ingin bertemu dengan Anda," lapornya. "Suruh mereka masuk!" "Baik, Tuan." Lelaki itu meletakan gelas di tangannya di atas meja. Tak lupa tangan dia selipkan di kedua saku celananya. Tidak lama kemudian masuk tiga pemuda tampan ke dalam ruangannya. Ketiganya langsung membungkuk hormat. "Selamat siang, Tuan," sapa mereka secara bersamaan. "Ada apa?" Dia melipat kedua tangan di dada. Tatapannya nyaris seperti elang yang menyeramkan. "Mereka sudah kembali, Tuan," jawab salah satunya. Lelaki itu langsung terdiam. Entah apa yang membuatnya tak bisa berkata-kata? Sel
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur