Beberapa tahun kemudian"Mommy!" teriak tiga anak kembar yang berjalan masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Di belakang mereka ada seorang pria berjas putih yang mengekor, sembari menenteng kantong berwarna putih di tangannya. "Nak, jalannya pelan-pelan!" tegur sang ibu yang masih sibuk berkutat dengan alat-alat dapur. Ketiga anak berusia lima tahun itu menghampiri sang ibu. "Mandi dulu sama Ayah, Daddy lagi siapkan makanan!" perintah wanita itu tersenyum pada ketiga anak kembarnya yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak. "Iya, Mom!" Ketiga mengangguk kompak dan tak lupa, menampilkan wajah menggemaskan dan imut mereka sehingga membuat sang ibu terkekeh gemas. "Kakak bawa apa?" tanyanya pada lelaki berjas putih itu. "Makanan kesukaan anak-anak." Pria tampan itu meletakan kantong di tangannya. "Siapkan makanan, aku akan memandikan mereka!" tukasnya. "Iya, Kak." Wanita cantik itu membalas dengan anggukan. "Ayo anak-anak!" "Ayo, Ayah!" seru ketiganya kompak mengikuti sang aya
Zea tertegun mendengar penjelasan Zavier. "Jadi, Kak Zayyan tahu keberadaan aku dan anak-anak?" tanyanya memastikan. "Iya, Zea." Zavier menghela napas panjang. "Dia sengaja tidak menganggumu atau memintamu untuk kembali."DegBagai tersambar petir Zea langsung terdiam. Harusnya dia senang, tetapi entah kenapa perasaannya hampa? Sakit sekali ketika tahu bahwa Zayyan sudah tak peduli lagi padanya. "Bukankah itu lebih baik, Kak?" Zea tersenyum kecut, berusaha menutupi luka yang menciut. "Maka dari itu Kakak dan Sean memutuskan untuk membawa kalian kembali ke Indonesia," sambung Zavier kemudian. Zea menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa kembali, Kak. Aku ingin tetap di sini bersama anak-anak," tolak Zea. Jelas dia tidak mau kembali karena itu bisa saja menguak luka lama yang masih basah. "Kenapa, Zea? Apa yang kau takutkan? Lagian Kak Zayyan juga sudah memulai hidupnya yang baru," ujar Zavier. "Kakak harus kembali karena harus mengurus semua perusahaan Daddy sebelum jatuh ke tan
"Kau ragu, Kak?" Shania melirik Zea yang tampak melamun. "Tidak. Hanya saja Indonesia terlalu banyak kenangan. Ada kisah seorang gadis yang menggantikan kakak kembarnya menjadi istri dari pria dingin tak berperasaan. Tapi, siapa sangka gadis itu malah jatuh cinta pada kakak iparnya, hingga menggandung di luar nikah." Zea tertawa getir mengenang kisah hidup pahit yang membuatnya ada di titik ini. "Kak." Shania menyandarkan kepalanya di bahu Zea. "Jangan menyesali apa yang terjadi. Semua adalah takdir dan atas kehendak Tuhan. Aku yakin suatu saat Kakak juga akan bahagia," tukas Shania sambil mengelus lengan Zea. Zea tersenyum kecut. Miris sekali hidupnya dan bahkan dia harus merelakan masa muda dan menjadi korban keserakahan Miko dan juga Zevanya. "Anakku bahkan harus lahir tanpa seorang ayah. Kadang, ketika mereka bertanya kenapa kami berpisah? Aku bingung harus jawab apa, karena kami tidak pernah terikat dalam pernikahan sebelumnya. Sekarang, lelaki itu bahkan sudah melupakan aku.
"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah in
"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah ini
"Dad!" Leigh yang tengah asyik membaca buku di ruang kerjanya, sontak mengangkat kepala. "Daddy," panggil Zavier.Buku yang di tangan Leigh langsung jatuh di lantai. Tubuhnya menuntun lelaki tua itu berdiri tanpa dia sadari. Mulutnya terasa kaku untuk mengeluarkan kata-kata. "Zavier!" Benarkah itu putra yang selama ini menghilang tiba-tiba ada di depan matanya?"Dad!" Zavier berhambur memeluk pria tua itu. Sungguh dia sangat merindukan ayahnya. "Aku sangat merindukanmu, Dad," ucapnya memeluk erat tubuh pria tua itu. "Zavier!" Leigh membalas pelukan anaknya sambil menangis. Dia pun sangat rindu, apalagi Zavier anak bungsu yang begitu dekat dengannya. "Daddy!" Leigh mengungkapkan rasa rindu yang terasa menerpa dadanya. Hubungannya dan Zayyan kembali renggang setelah anaknya itu tahu bahwa dirinya terlibat dalam kasus penyembunyian Zea. Padahal Leigh hanya berniat melindungi dan tak ada niat memisahkan. Jika bisa, dia bahkan ingin Zayyan dan Zea bersama hingga maut memisahkan. Namu
Di sebuah ruangan mewah, tampak seorang pria tampan tengah menatap kekosongan ke arah jendela ruangannya yang begitu transparan dan menampilkan seluk beluk, kepadatan kota Jakarta. Di tangannya terdapat gelas yang berisi vodka, sesekali dia sesat dengan tatapan kosong dan hampa. "Selamat siang, Tuan," sapa sang asisten yang sedari tadi menunggu seperti manekin. "Kenapa?" "Ada tuan Josua, tuan Samuel dan tuan Niko yang ingin bertemu dengan Anda," lapornya. "Suruh mereka masuk!" "Baik, Tuan." Lelaki itu meletakan gelas di tangannya di atas meja. Tak lupa tangan dia selipkan di kedua saku celananya. Tidak lama kemudian masuk tiga pemuda tampan ke dalam ruangannya. Ketiganya langsung membungkuk hormat. "Selamat siang, Tuan," sapa mereka secara bersamaan. "Ada apa?" Dia melipat kedua tangan di dada. Tatapannya nyaris seperti elang yang menyeramkan. "Mereka sudah kembali, Tuan," jawab salah satunya. Lelaki itu langsung terdiam. Entah apa yang membuatnya tak bisa berkata-kata? Sel
"Apa yang kau lakuka, Grace?" tanya Leigh heran melihat sang istri yang ada di ruang rahasia yang bahkan tak pernah di masuki oleh orang lain, selain dirinya dan almarhum sang istri. "Tidak apa-apa," kilah Grace terlihat gugup. Wajah wanita tua itu tampak pucat fasih. Leigh memasukan kedua tangannya di saku celana. Dia berjalan menghampiri wanita itu dengan tatapan licik. "Kau tahu, bukan? Tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruangan ini tanpa seizinku?" ujarnya dengan nyalang dan tatapan yang begitu tajam. "Aku... aku..." Wajah wanita itu semakin tampak gugup dan juga takut. Apalagi tatapan Leigh yang begitu tajam, seolah mampu menembus indera penglihatannya. "Apa yang kau cari di sini? Katakan padaku!" Pria paruh baya itu mencengkeram kuat dagu istrinya. Sedikitpun tak ada rasa cinta di hati pria yang masih gagah tersebut. "Sakit, Leigh!" jerit Grace memegang tangan Leigh yang berada di dagunya. "Cepat katakan!" sentak Leigh dengan mata memerah. Ruangan privasi ini memang dia