Huwek!Huwek!Huwek!Zevanya mengeluarkan semua isi perutnya. Wajah wanita itu tampak pucat seolah tak berdarah. "Ada apa denganku?" tanyanya lirih sambil bersandar di daun pintu kamar mandi. "Perutku sakit sekali!" rintihnya. Wanita itu mengumpulkan sejuta kekuatan dan berdiri dengan memegang tembok sebagai penyangga. Kepalanya pusing bukan main dan perut yang terasa dikocok-kocok. Dia berjalan keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Tampak Zayyan baru saja masuk. Mereka memang satu kamar itu semua atas permintaan Ar karena Zevanya sedang menyamar menjadi Zea. "Zayyan," panggilnya terdengar lirih. Lelaki itu melirik sekilas, lalu fokus melepaskan jas dan dasinya. Dia seperti tak mendengar panggilan dari Zevanya. "Perutku sakit!" adunya. "Lalu?" Zayyan menatap sinis ke arah wanita itu. Rasanya benar-benar jijik melihat wajah sang istri. "Tolong bantu aku ke ranjang!" pintanya. "Kau kenapa?" Tak ada raut cemas atau kekhawatiran dari wajahnya. "Perutku serasa dikocok-
"Mommy!" Ar terus memanggil nama Zea. "Mommy!" Lelaki kecil itu meringkuk di bawah selimut tebalnya. Keringat dingin mengucur dari dahi hingga menetes membasahi alas bantal yan menopang kepalanya. Zayyan bergegas masuk ke dalam kamar putranya itu."Son!"Dia berhambur ke arah ranjang Ar. Zayyan menyimak selimut Ar dan dia terkejut saat punggung tangannya menyentuh kening Ar yang terasa begitu panas. "Astaga!" Zayyan mengangkat tubuh kecil Ar dengan wajah panik dan juga takut. Dia sampai meneriaki Leo agar cepat membuka pintu mobil. Zayyan duduk di bangku penumpang, sembari memangku tubuh kecil putranya itu."Son, Daddy mohon jangan tinggalkan Daddy!" ucapnya dengan deraian air mata. Tentu saja Zayyan takut karena tak pernah melihat Ar demam dengan wajah pucat serta badan yang panas. "Mommy!" panggil Ar dengan mata yang terpejam erat. "Daddy di sini, Son." Lelaki tampan itu memeluk tubuh Ar dengan erat."Mommy!" Ar terus memanggil nama Zea. Setelah Zayyan berbicara empat denga
"Argh!" Zevanya melempar semua barang di atas meja riasnya. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Zayyan!" tegas wanita itu. Zevanya terduduk sambil mengusar kepalanya kasar. Wanita itu menangis sesengugukan ketika diusir dari mansion sang suami. Di saat yang bersamaan dia harus menerima gugatan cerai dari semuanya. "Aku harus gugurkan anak ini, agar aku punya alasan untuk menolak perceraian ini!" ucapnya menyeka air mata yang berjatuhan dengan deras di pipinya. Wanita itu bergegas keluar dari kamarnya. Dia berjalan gontai."Mau ke mana?" tanya Marvin seraya bersedekap dada dan menatap wanita itu curiga. "Bukan urusanmu," ketus Marvin. "Jelas menjadi urusanku karena sekarang kau menggandung anakku!" tekan Marvin. "Cepat minum susumu." Awalnya Marvin setuju dengan ide Zevanya untuk mengugurkan bayi mereka. Namun, seketika dia menyadari satu hal bahwa sejak dulu ingin memiliki anak walau tanpa hubungan pernikahan. Kini, dia tidak mencintai Zevanya, wanita itu hanya patner yang mene
Zayyan lelaki yang telah kehilangan cintanya. Dia bahkan sulit untuk percaya pada orang lain tentang cinta sejati. Wanita yang sudah dia anggap sebagai belahan jiwanya, ternyata malah memilih pergi dan hilang tanpa mengucapkan kata selamat tinggal. Entah siapa yang harus Zayyan percaya di dunia ini? Setelah kepergian sang ibu, dirinya memang merasa tak memiliki kesempatan untuk meraih kehidupan. Apalagi saat dipaksa menikahi dengan Zevanya, wanita yang sama sekali tidak dia cintai. "Dad?" Hingga panggilan Ar membuyarkan lamunan pria tampan itu. "Iya, Son?" Zayyan tersenyum hangat seraya mengusap kepala putranya dengan sayang. "Mommy!" Lagi-lagi mata Ar berkaca-kaca karena yang ada di dalam pikirannya hanyalah Zea. "Ar!" Zayyan langsung memeluk putranya dan menenangkan pria kecil itu. "Ar mau ketemu mommy," renggeknya. "Son!" Zayyan melepaskan pelukan pria kecil itu. "Apakah boleh kita bicara sebentar?" pintanya dengan senyuman lembut. Meski Zayyan tahu bahwa apa yang akan dia a
Beberapa tahun kemudian"Mommy!" teriak tiga anak kembar yang berjalan masuk ke dalam sebuah rumah mewah. Di belakang mereka ada seorang pria berjas putih yang mengekor, sembari menenteng kantong berwarna putih di tangannya. "Nak, jalannya pelan-pelan!" tegur sang ibu yang masih sibuk berkutat dengan alat-alat dapur. Ketiga anak berusia lima tahun itu menghampiri sang ibu. "Mandi dulu sama Ayah, Daddy lagi siapkan makanan!" perintah wanita itu tersenyum pada ketiga anak kembarnya yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak. "Iya, Mom!" Ketiga mengangguk kompak dan tak lupa, menampilkan wajah menggemaskan dan imut mereka sehingga membuat sang ibu terkekeh gemas. "Kakak bawa apa?" tanyanya pada lelaki berjas putih itu. "Makanan kesukaan anak-anak." Pria tampan itu meletakan kantong di tangannya. "Siapkan makanan, aku akan memandikan mereka!" tukasnya. "Iya, Kak." Wanita cantik itu membalas dengan anggukan. "Ayo anak-anak!" "Ayo, Ayah!" seru ketiganya kompak mengikuti sang aya
Zea tertegun mendengar penjelasan Zavier. "Jadi, Kak Zayyan tahu keberadaan aku dan anak-anak?" tanyanya memastikan. "Iya, Zea." Zavier menghela napas panjang. "Dia sengaja tidak menganggumu atau memintamu untuk kembali."DegBagai tersambar petir Zea langsung terdiam. Harusnya dia senang, tetapi entah kenapa perasaannya hampa? Sakit sekali ketika tahu bahwa Zayyan sudah tak peduli lagi padanya. "Bukankah itu lebih baik, Kak?" Zea tersenyum kecut, berusaha menutupi luka yang menciut. "Maka dari itu Kakak dan Sean memutuskan untuk membawa kalian kembali ke Indonesia," sambung Zavier kemudian. Zea menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa kembali, Kak. Aku ingin tetap di sini bersama anak-anak," tolak Zea. Jelas dia tidak mau kembali karena itu bisa saja menguak luka lama yang masih basah. "Kenapa, Zea? Apa yang kau takutkan? Lagian Kak Zayyan juga sudah memulai hidupnya yang baru," ujar Zavier. "Kakak harus kembali karena harus mengurus semua perusahaan Daddy sebelum jatuh ke tan
"Kau ragu, Kak?" Shania melirik Zea yang tampak melamun. "Tidak. Hanya saja Indonesia terlalu banyak kenangan. Ada kisah seorang gadis yang menggantikan kakak kembarnya menjadi istri dari pria dingin tak berperasaan. Tapi, siapa sangka gadis itu malah jatuh cinta pada kakak iparnya, hingga menggandung di luar nikah." Zea tertawa getir mengenang kisah hidup pahit yang membuatnya ada di titik ini. "Kak." Shania menyandarkan kepalanya di bahu Zea. "Jangan menyesali apa yang terjadi. Semua adalah takdir dan atas kehendak Tuhan. Aku yakin suatu saat Kakak juga akan bahagia," tukas Shania sambil mengelus lengan Zea. Zea tersenyum kecut. Miris sekali hidupnya dan bahkan dia harus merelakan masa muda dan menjadi korban keserakahan Miko dan juga Zevanya. "Anakku bahkan harus lahir tanpa seorang ayah. Kadang, ketika mereka bertanya kenapa kami berpisah? Aku bingung harus jawab apa, karena kami tidak pernah terikat dalam pernikahan sebelumnya. Sekarang, lelaki itu bahkan sudah melupakan aku.
"Apa kita akan tinggal di sini, Kak?" tanya Zea sambil keluar dari mobil. "Iya, apa kau suka?" tanya Sean sambil mengeluarkan barang-barang mereka dari dalam mobil. "Suka, Kak. Suasananya bagus!"Tidak lama kemudian mobil yang ditumpangi Zavier dan Shania bersama si kembar menyusul masuk pekarangan rumah. "Mommy!" Ketiganya keluar dari mobil dengan senyuman sumringgah. "Hai, anak-anak Mommy." Zea berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan ketiga bocah kembar itu. "Apa kalian suka Indonesia?" tanyanya mengusap kepala Ziva dengan sayang. Gadis kecil itu begitu mirip dengannya, bahkan duplikat wajah Zea kecil tercetak jelas pada Ziva. "Suka, Mom!" jawab ketiganya kompak. "Apakah ini rumah kita, Mom?" tanya Zayn melihat suasana baru rumah yang akan mereka tempati selama di Indonesia. "Iya, Son. Apa kalian menyukainya?" "Ayah, apa ada kolam berenang?" tanya Zaen, lelaki kecil ini memang hobby sekali berenang. Apalagi sejak kecil memang sudah diajarkan oleh Sean. "Tentu! Rumah in