Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Lelaki itu tampak marah. "Tuan." Wajah Samuel sudah pucat melihat kedatangan Zayyan. Zayyan menatap Samuel dengan marah. Brugh!Satu pukulan mendarat di pipi lelaki itu, hingga membuat Samuel terjerembab ke lantai dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Apa saja kerjamu, Sam? Sudah aku perintahkan, jangan pernah tinggalkan Zea barang sedetikpun tanpa perintah dariku!" hardik Zayyan. Lelaki itu terus memukuli Samuel dengan membabi buta, sembari meluapkan semua emosi yang terasa membuncah di dalam dada. Jika Josua dan Niko tidak melerai atau menahan Zayyan, mungkin saja Samuel tinggal nama. Samuel hanya bisa meringgis kesakitan. Lelaki itu tak melawan sama sekali karena memang dirinya salah sudah meninggalkan Zea. "Argh!" Zayyan menepis tangan Josua dan Niko. Mendengar keributan di depan pekarangan rumahnya, Miko keluar untuk mencari tahu. "Ada apa ini?" tanya Miko. Tatapan Zayyan nyalang. Tak hanya itu, tanpa ada y
"Jadi, pelakor itu sudah pergi jauh?" Zevanya menatap intens kedua anak buahnya. "Benar, Nyonya," jawab salah satunya. "Siapa yang membawanya pergi? Apa Zea pergi sendiri atau dibawa orang lain?" tanya Zevanya yang cukup penasaran. Luar biasa juga orang yang membawa Zea pergi, tanpa perih repot-repot Zevanya turun tangan untuk menyingkirkan adiknya itu. "Kami belum mendapatkan informasi yang pasti, Nyonya. Tapi, sepertinya ada dua orang laki-laki yang membawa nona Zea," jawab salah satunya. "Dua laki-laki?" Kening Zevanya mengerut heran dan tampak penasaran, siapa dua laki-laki yang membawa adiknya itu pergi? "Baik, kalian selidik siapa kedua laki-laki itu dan pastikan Zea tidak akan kembali pada Zayyan!" perintah Zevanya penuh penekanan. "Baik, Nyonya," sahut keduanya membungkuk hormat, lalu melenggang pergi dari hadapannya. Zevanya duduk dengan tenang di sofa. Tangannya memegang ujung gelas dan sesekali menyesap isinya. "Siapa yang membawa Zea pergi?" gumamnya penasaran. "Aku
Di sebuah kamar mewah, tampak seorang pria tengah bersandar di bibir ranjang. Di tangannya terdapat sebotol wine yang sesekali dia tengguk untuk membasahi tenggorokannya. Kamar itu terlihat berantakan, apalagi dengan pecahan kaca yang berserakan di mana-mana, serta bau alkohol yang menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. "Zea!" gumamnya. Air mata bergulir membasahi pipi tampan pria itu. Matanya membengkak akibat menangis semalaman. Penampilannya seperti orang gila dengan baju yang sudah koyak akibat dia tarik paksa. "Kenapa kau tega meninggalkan aku? Kau sudah berjanji akan selalu bersamaku apapun yang terjadi. Tapi, kenapa...?" Tangisnya kembali pecah. Dia cengkram dengan kuat botol kaca tersebut untuk melampiaskan semua rasa sakit yang terasa menghantam dada. Di tangannya tampak selembar foto seorang wanita cantik yang memakai jas khas kedokteran. Senyum wanita itu terlihat manis, sehingga tanpa sadar dia mengusapnya berulang kali. "Kau tidak bisa melakukan ini semua padaku
Zayyan menatap Ar yang terlelap dalam pelukannya. Putra kecilnya itu terus saja menangis sejak tadi. "Maafkan Daddy, Son. Daddy gagal menjadi seorang ayah," ungkapnya mengusap kepala pria kecil itu. Zayyan berusaha menenangkan Ar yang menangis mencari Zea, akhirnya sang putra lelah sendiri hingga terlelap dengan mata yang membengkak. "Daddy janji akan membawa mommy pulang dan berkumpul lagi bersama kita," ujarnya. Setelah merasa Ar terlelap. Pelan, Zayyan turun dari ranjang dan tak lupa menaikan selimut putranya itu. Satu kecupan mendarat di kening Ar, sebagai rasa sayang dan minta maaf karena belum bisa menyediakan kebahagiaan untuk anaknya. Zayyan melenggang keluar dari kamar Ar. Lelaki itu berjalan menuju pintu keluar. "Kak," panggil Ruth. Langkah Zayyan terhenti. Dia sama sekali tak menoleh pada adik tirinya itu. "Apa Kakak sudah makan?" tanyanya ramah dan tak lupa genit. Ah, Ruth sudah membayangkan bagaimana rasanya mendesah di bawah pria tampan itu. Zayyan tak menjawab
"Astaga, Sayang. Wajahmu kenapa?" tanya Marvin panik ketika melihat goresan di wajah Zevanya. "Ini semua ulah Zayyan," ketus perempuan itu. Lewi sang asisten tengah mengobati luka di wajah Zevanya. Wanita itu menolak dibawa ke rumah sakit karena pasti akan menjadi bahan omongan media. "Bagaimana bisa dia menyakitimu sampai seperti ini?" tanya Marvin tak habis pikir. "Ini semua karena pelakor itu," geram Zevanya mengingat wajah adiknya. Marvin duduk di samping kekasihnya. "Memang Zea kenapa?" tanyanya penasaran. "Hilang tanpa bilang," sahut Zevanya ketus. "Aku bahkan tidak berani pulang ke mansion dengan wajah seperti ini," ujarnya Zevanya lagi. "Sabar ya. Wajahmu pasti akan sembuh dan cantik kembali," hibur Marvin menenangkan kekasihnya itu. "Kau harus membantuku mencari keberadaan Zea!" renggek Zevanya. "Lho, kenapa harus dicari? Bukankah kepergian Zea keuntungan buat kita?" ujar Marvin dengan kening mengerut heran. "Tidak begitu." Zevanya menggelengkan kepalanya. "Aku han
Zayyan masuk ke dalam kamar putranya. Pria tampan itu terkejut melihat sang istri yang ada di sana. "Daddy!" seru Ar sambil menggandeng tangan Zevanya. "Mommy Zea sudah pulang," ujarnya lagi. Kening Zayyan mengerut heran dan melihat ke arah Zevanya yang sudah tersenyum manis. "Kau baru pulang, Sayang?" sapa Zevanya dengan senyuman ramah. "Kau pasti lelah!" Wanita itu mendekati sang suami. Lalu dengan berani membuka jas Zayyan. Lelaki itu hendak menolak, tetapi dia sadar sedang berada di depan Ar. Jika dia kasar, hal itu akan membuat anaknya bingung dan heran. Terpaksa Zayyan menurut, walau dalam hati rasanya ingin sekali menepis tangan Zevanya yang berani menyentuh tubuhnya. "Monmy, Ar ingin makan masakan Mommy. Ayo masak, Mom!" ajaknya dengan wajah sumringah. Wajah pria kecil itu tampak senang dan bahagia melihat kedua orang tuanya utuh. Walaupun dia tahu jika Zea bukan ibu kandungnya. Seketika Zevanya terdiam sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Seumur hidup dia
Di sebuah taman nan indah, seorang wanita cantik dengan perut yang kian membesar tengah duduk di kursi taman dekat vila mewah yang sekarang dia tinggali. Senyumnya mengembang dengan tangan yang terus mengusap perut. "Hai, Nak. Mommy tidak sabar ingin bertemu denganmu," ucapnya. Wanita itu adalah Zea Ananda Mikola yang telah hilang dalam peradaban kehidupan Zayyan. Dia menepi, semakin ke tepi sehingga tak ditemukan oleh lelaki yang telah menanamkan benih di hatinya. Setelah beberapa waktu tinggal di sini, Zea pikir melupakan Zayyan semudah membalikan telapak tangan. Namun, nyatanya dia tidak pernah benar-benar bisa menghapus lelaki itu dalam benaknya. "Kak, sebentar lagi anak kita akan hadir di dunia. Tapi, dia malah tidak bisa melihatmu," ucapnya tersenyum kecut. Perihal melupakan Zea bukanlah orang yang mudah melepaskan rasa begitu saja. Dia pernah benar-benar jatuh cinta lalh terhempas sebelumnya. Tentu, dia harus memiliki ribuan tahun lagi agar bisa tak mengingat nama Zayyan di
Zayyan duduk dengan tatapan kosong. Di tangannya terdapat sebotol wine yang menemaninya sejak tadi. Setelah Zea pergi lelaki tampan itu tak lagi memperhatikan penampilannya. Hari-hari yang dia lewati dihabiskan untuk mencari keberadaan Zea. Namun, hingga kini jejak wanita itu pun tak jua ditemukan. "Selamat malam, Tuan!" Leo masuk ke dalam apartemen Zayyan. Beberapa hari belakangan ini, Zayyan mengurung diri di sini lantaran tak mau melihat Zevanya dan tak ingin Ar tahu kondisi hatinya saat ini. "Ada apa, Leo?" tanya Zayyan. "Nona Zevanya menarik kembali surat panggilan dari pengadilan dan masih keukeh dan menolak untuk bercerai dengan Anda, Tuan," jelas Leo. Zayyan mencengkram kuat botol di tangannya. Andai saja botol itu tak terbuat dari kaca pilihan, sudah pasti akan pecah atau hancur berkeping-keping. "Brengsek!" Prang!Dia melempar botol itu ke dinding, sehingga pecah dan berserakan di atas lantai. Leo sudah tak heran, memang begini keadaan Zayyan setelah Zea tidak ada. "K
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur