"Tam, hentikan!" Rania terus memberontak, meski usahanya itu sudah pasti sia-sia.Dan Tama bukanlah seseorang yang gampang menyerah hanya dengan gertakan itu, karena sekarang dia justru merengkuh tubuh Rania. Dia memejamkan mata sambil menyandarkan dagunya di pundak Rania."Aku merindukan aroma tubuhmu … " bisik Tama, sambil memejamkan mata.Rania menelan ludah dengan hati berdesir. Tak pernah dia sangka, akhirnya setelah empat tahun mereka bisa bertemu lagi. Dalam keadaan yang benar-benar tidak dia duga, dimana Tama menjadi lebih baik daripada sebelumnya.Sesaat kemudian dia mendengar suara dengkuran yang terdengar seperti desisan. Rania tahu Tama sudah tertidur, di dalam pelukannya. Dengan segenap kekuatannya Rania berusaha melepaskan tubuh Tama dari tubuhnya sendiri, membaringkan pria itu di atas sofa. "Mama?" Terdengar suara si kecil Athar di belakang punggung Rania.Rania hampir saja melonjak. "Sayang, kok bangun? Ayo tidur lagi, ini masih malam," Rania buru-buru mengajak Tama p
Suara Tama yang berat menciutkan nyali Rania. Seketika juga dia menyesal telah meluluhkan hatinya untuk Tama sesaat yang lalu, mengira Tama sudah berubah menjadi pria yang lebih baik. Tapi perkiraannya salah. Tama tetaplah pria kejam yang hobi mengintimidasinya.Sadar jika Rania mundur karena takut, Tama lantas salah tingkah dan berusaha mengatur agar ekspresinya lebih lembut di depan Rania. Dia bahkan mencoba meraih wanita itu, tapi dia justru makin menjauh sambil menarik Athar seakan mereka berdua dalam kondisi terancam."Ran, maafkan aku … " ucap Tama pada akhirnya. "Aku tidak berniat menakutimu,""Pergilah, Tama," tandas Rania tegas. "Aku tidak ingin Athar meniru semua sikapmu yang kasar padaku,"Tama mencengkeram kepalanya, merasa frustasi luar biasa pada dirinya sendiri. Dia tetap saja dingin, meski dia berusaha untuk berubah lebih lembut di hadapan Rania demi meluluhkan hati wanita itu. Tapi nyatanya justru dia sendiri yang menghancurkan segalanya."Kumohon, Ran … ""Pergi," Ke
"Kenapa suamimu tiba-tiba datang?" tanya Bagas, setelah keduanya sampai di parkiran dosen.Wajah Rania murung. "Mungkin Laura yang memberitahu,""Kemana Laura? Dia tidak pernah datang lagi,"Pertanyaan Bagas seketika menyadarkan Rania jika Laura sudah tidak menghubunginya selama beberapa hari. Padahal adik iparnya itu setiap hari selalu menghubungi hanya untuk bisa video call bersama Athar.Rania langsung mengecek ponselnya untuk menghubungi Laura. Namun sampai detik kedelapan, tidak ada tanggapan. Firasat buruk mulai menghantui pikiran Rania, apalagi di saat Laura menghilang, Tama justru datang menemuinya. "Ran, benarkah kata pria itu?" Bagas terdiam. "Benarkah jika kamu belum bercerai resmi dari suamimu?" Bagas akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal yang mengganjal di hatinya.Rania terdiam, teringat akan ucapan bodoh Vinko yang membuat Bagas harus sedikit jaga jarak dari Rania. "Aku tidak bisa berkomentar. Maafkan aku," sesal Rania. "Apakah kamu akan pergi setelah tahu se
Arif tidak bisa mempercayai Mada begitu saja, dan memutuskan untuk terus berdiam di depan kantor Mada meski pertemuan mereka berdua sudah berakhir. Arif terus merenung, memikirkan kecemasannya pada Rania dan anaknya. Dia sudah tidak lagi berhubungan dengan Rania, namun berkat Laura, dia tahu jika Rania hidup bahagia bersama anaknya. Tiba-tiba kaca pintu Arif digedor sebegitu kuat hingga pria itu melompat kaget. Laura berdiri dengan raut wajah cemas, tak sabar untuk mendengar cerita pertemuan antara Arif dan Mada. Laura bergegas masuk ke dalam mobil ketika Arif sudah membuka pintu. Sebelum wanita itu sempat membuka mulut, Arif sudah lebih dulu mengecup bibir Laura, membuat Laura yang terkejut hanya bisa membeku.Di dalam hati Arif merasa amat bersyukur mendapatkan wanita muda seperti Laura yang tidak hanya ingin dilindungi, namun bersedia melakukan apa saja untuk cintanya. Meski hidup Laura sempat berantakan karena efek alkohol, tapi Laura bisa bangkit menjadi orang sempurna seutuhnya
Bagas mondar-mandir tak karuan, sambil memegangi ponselnya yang baru saja dia pakai untuk menghubungi Laura. Dia merasa keputusannya sudah tepat dengan membawa Athar bersamanya, ketimbang ikut bersama Rania. Ketika melihat gelagat pria muda yang rapi itu, Bagas sudah yakin jika ada sesuatu yang tidak beres. Dan itu semua terbukti benar, karena tiga jam sejak Rania pergi bersama pria itu, Rania sudah tidak bisa dihubungi."Om, Mama mana? Kok Mama belum pulang?" Athar bertanya dengan wajah polosnya.Bagas bersimpuh untuk menyamakan tingginya dengan Athar. "Mama masih sibuk, jadi kamu sama Om dulu ya,""Athar!" panggil mama Bagas, girang bukan main ketika melihat Athar. Wanita tua itu menyambut Athar ke dalam dekapannya, persis seperti seorang nenek kepada cucunya. "Athar di rumah Oma dulu, ya. Nanti kalau Mama sudah pulang, Athar pulang sama Mama," bujuk mama Bagas.Awalnya Athar ragu, namun saat melihat Oma membawa kereta mainan untuknya, dia pun luluh. Masalahnya sudah selesai, karena
Beberapa saat sebelumnya …"Bagas!" Laura berlari, menghampiri Bagas yang sudah berdiri harap-harap cemas di depan rumah Rania. "Kamu tidak lapor polisi, kan?" tanyanya memastikan.Bagas menggeleng. Laura pun lega, dan memutar tubuh hendak kembali ke mobilnya. Tapi Bagas menahan tangan Laura."Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menghubungi polisi?" tuntut Bagas, tidak terima jika tidak diberi jawaban.Laura menggigit bibir. Dia tentu tidak bisa bilang kepada Bagas bahwa keluarganya memang berbisnis dalam dunia gelap, dan polisi tidak boleh terlibat dalam apapun. "Sebaiknya kamu tidak tahu, Gas," jawab Laura diplomatis. "Kita harus segera pergi, sebelum Rania celaka,"Perkataan Laura makin membuat Bagas berdebar. Sekali lagi dia menahan tangan Laura, kali ini makin kuat. Bahkan dia tidak peduli meski Laura sedikit mendesis kesal karena dari tadi Bagas selalu menahannya."Aku harus ikut," tandas Bagas tegas.Laura melongo. Kemudian menoleh ke belakang, ke arah mobilnya beserta isi di dalamn
Kata-kata Rania terdengar penuh dengan keputusasaan. Dia tidak menginginkan akhir yang tragis, terutama untuk Tama. Dengan matanya yang berkaca-kaca, Laura mencoba memahami perasaan Rania. Dia merasa berat melihat keadaan Rania yang begitu tertekan dan cemas. Laura tahu dia tidak bisa mengendalikan takdir, tetapi dia ingin memberikan dukungan sebisa mungkin pada Rania. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Laura mencoba menenangkan Rania sebisanya."Kita akan menghadapi ini bersama-sama," ujar Laura dengan suara lembut, mencoba menenangkan Rania."Gas … " Rania tiba-tiba teringat akan Bagas. Bagas yang kebetulan duduk di jok depan bersama sopir, seketika menoleh. "Ada apa, Ran?""Mana Athar? Apa dia baik-baik saja?""Jangan cemaskan Athar. Dia aman. Dia di tempat aman," Bagas ikut mencoba menenangkan Rania."Dia dimana?" Rania belum merasa lega sebelum memastikan Athar berada bersama orang yang tepat."Dia bersama Mama," jawab Bagas.Satu beban di pundak Rania perlahan hilang, saat ta
Laura semakin memojokkan Vinko. Apalagi setelah pertanyaannya terlontar dan sudah hampir satu menit Vinko diam tidak menanggapi. Laura memandang sekeliling, memastikan Rania tidak membuntuti mereka."Jawab, Vin!" seru Laura. "Kamu masih mencintainya, kan?" Ada sorot kekesalan di balik tatapan Laura. "Apa yang akan kamu dapatkan dari menginterogasiku seperti ini?" Vinko justru menantang. "Tidak akan ada yang berubah, Lau,""Lalu, kenapa kamu datang sendirian? Mana Regina?""Dia mengurus anakku," jawab Vinko santai. Dia mengelus bagian belakang kepalanya, pertanda dia ingin segera pergi.Laura mulai meregang, lebih santai. Dia juga membiarkan Vinko pergi meski pikirannya masih belum mempercayai segala ucapan Vinko. Kepalanya berputar, mengikuti langkah kaki Vinko yang kembali ke koridor ruang darurat dimana ada Rania di sana.Tapi Laura masih di tempatnya, menyandarkan punggung yang kelelahan ke dinding rumah sakit yang berlapiskan keramik putih pucat. Sesekali dia menghembuskan nafas