Rania tampak mematung, memandang Vinko dengan beberapa kali kedipan. "Kamu ini bicara apa?" Dan membuncahlah tawanya.Rania tertawa keras, sesekali menepuk lengan Vinko. Sementara Vinko–yang sama sekali tidak menganggap itu lucu hanya bisa diam tercengang. Dia mencoba serius, tapi Rania justru menganggapnya bercanda."Kamu menganggapku anak kecil?" gumam Vinko, dengan suara berat. Dia tersinggung."Hei, Vin–" Rania kini mendorong kedua pipi Vinko, membuat wajah pria itu nampak polos nan lucu. "Kamu ini kenapa? Aku ada disini karena aku memang ingin bertemu denganmu,"Vinko segera menepis kedua tangan Rania yang memegangi pipinya. Dia merajuk. "Tadi pagi kamu mengabaikanku,""Tentu saja. Apa kamu pikir aku bisa menemuimu saat ada Tama di sebelahku? Bagaimanapun juga, aku masih istri Tama," jelas Rania, berusaha memberi pengertian. Dia mengelus pipi Vinko, mencoba untuk menenangkan hati pria muda itu."Aku benar-benar membencinya! Kuharap kamu tidak hamil agar bisa lepas darinya," gerut
Rania menghela nafas. "Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi," ucap Rania. Dia berusaha keras untuk menguatkan dirinya sendiri, karena tidak tega melihat raut wajah kebingungan milik Vinko."Apa kamu hamil?" tebak Vinko dengan cepat.Rania menggeleng. "Tidak ada hubungannya dengan itu," jawabnya. "Kamu tentu tahu, mustahil bagi kita untuk bersatu, meski aku sudah tidak lagi bersama Tama,""Kenapa?" Vinko mencengkeram pergelangan tangan Rania, seakan takut wanita itu tiba-tiba kabur. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Dia lantas turun dari motornya secepat mungkin, dengan pandangan tak mau lepas dari Rania. "Apa ada yang mengancammu?" Vinko ganti mengguncang bahu Rania.Rania seketika melepas tangan Vinko di bahunya. "Berhenti menyalahkan orang lain, Vin. Ini semua tidak ada hubungannya dengan orang lain. Ini semua murni karena aku sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu," cerca Rania, memasang wajah muak.Vinko diam, mengedipkan mata berusaha memikirkan segalanya. "Ada apa ini? Kenapa
Tama mulai bangkit berdiri. Tatapannya nampak dingin namun juga tenang di satu waktu. Sementara Rania yang frustasi, melempar tasnya ke sembarang arah, berusaha menahan air matanya yang menggenang. Pelupuk matanya terus-menerus mengulang rekaman ekspresi Vinko yang tampak bingung dan kecewa di satu waktu. Membuat hati Rania teriris pedih, antara kasihan dan mengutuki diri sendiri."Apa kamu yakin akan benar-benar pergi dari sini?" tanya Tama, terus memperhatikan gerak-gerik Rania yang linglung, duduk bersimpuh di bawah ranjang besar mereka."Aku pasti pergi," jawab Rania lantang."Jadi kamu tidak hamil?"Rania memandang Tama dengan tatapan benci. "Kenapa kamu sangat ingin aku hamil, hah? Bukankah, apapun yang terjadi, ayahmu tetap memberikan hartanya padamu?""Dia akan jadi penerusku," Tama sama sekali tidak merubah ekspresinya. Berdiri tenang, memandangi Rania yang menyedihkan.Rania tertawa getir. "Kamu bisa meminta wanita manapun untuk mengandung anakmu," timpal Rania pias."Ya, ka
Lima tahun silam … Rania tidak bisa berhenti berdecak kagum, ketika dia menyaksikan dengan kedua bola matanya sendiri, sebuah bianglala besar tengah berputar lambat menembus ujung langit. Bianglala itu tampak berkedip-kedip, penuh cahaya seperti bola berputar dengan pom-pom warna-warni di setiap sudutnya.Sesekali Tama melirik Rania, dengan ujung matanya yang penasaran. Kemudian matanya itu mulai mengamati bibir Rania yang bergerak ke atas, tersenyum bahagia. Ada secercah sinar terang di mata Tama Hadi, saat dia berhasil membuat si lusuh Rania tersenyum. Setelah seminggu pernikahan mereka, Tama belum pernah melihat Rania tersenyum. Meski wanita itu tidak pernah menolak setiap perintahnya, namun Rania berlagak seperti robot tanpa nyawa. Membuat Tama gusar sehingga malam ini–alih-alih bekerja dia justru mengajak Rania ke wahana bermain baru di sekitar rumahnya."Kamu mau naik?" tawar Tama.Rania menoleh cepat. "Memangnya boleh?"Tama menarik nafas, lantas menunjuk ke arah bianglala yan
Segalanya tampak rapi dan janggal pagi ini. Setidaknya dalam penglihatan Rania. Dia sengaja bangun lebih awal, meski hari ini tidak ada jadwal untuk pergi ke kampus. Atau lebih tepatnya, dia telah mengundurkan diri sebagai asisten dosen Pak Viktor, seakan hidupnya akan berakhir hari ini. "Sudah waktunya … " gumam Rania pada dirinya sendiri, setelah melirik jam dinding besar di sudut ruangan. Kemudian dia melirik dengan ekor matanya, mencari sosok Tama yang terbiasa berbaring di sampingnya.Tapi sampai hari ketujuh, Tama sudah tidak lagi tidur di samping Rania. Pria itu entah tidur dimana, meski setiap hendak sarapan dia sudah rapi duduk menunggu Rania memasak sarapan untuknya.Hati kecil Rania mulai merasakan perasaan yang janggal. Meski tidak mau terus-terang dia akui, namun di hatinya yang paling dalam, dia merindukan Tama di sampingnya. Tetapi perasaan itu segera ditepis Rania jauh-jauh, dan dia mulai mengingat kembali segala perlakuan sadis Tama kepadanya."Sudah siap?" tegur Tam
"Ran, ini apa artinya?" Laura yang tak sabar, segera merampas alat itu.Samar-samar senyum lega muncul dari wajah Rania yang sembab. Dia spontan memeluk Laura, sangat erat hingga Laura megap-megap tak siap."Aku tidak hamil, Lau. Aku tidak hamil," seru Rania, senang.Laura mengerjapkan mata beberapa kali, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia tidak bisa ikut senang, karena itu artinya dia akan berpisah dengan Rania. Tapi dia juga tidak bisa ikut sedih, karena ini semua adalah keinginan Rania."Aku ikut bahagia, jika kamu bahagia, Ran," tukas Laura, berusaha keras untuk tersenyum.Rania melepas pelukannya. Dia kini melipat bibir saat menatap Laura. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Lau," janji Rania. "Kemanapun aku pergi, aku akan tetap mengingatmu,"Laura tidak ingin menangis sendirian. Dia buru-buru memalingkan wajah, lantas menarik tangan Rania untuk keluar dari kamar mandi besar itu. Dengan tangan kanan menarik Rania dan tangan kiri membawa alat tes kehamilan, Laura berusa
Sadar jika Rania benar-benar telah melukainya, Tama segera mundur. Sembari memegangi lengannya yang terus mengeluarkan darah segar. Tatapan matanya melunak, namun ada sisi tidak percaya pada raut wajah Tama ketika dia memandang Rania yang tengah kalut.“Aku benar-benar bisa melukaimu,” ancam Rania. Meski dia cukup gentar saat melihat Tama terluka, tapi Rania tidak ingin menyerah. “Kenapa kamu tidak membuat ini semua mudah? Aku datang hanya untuk mengemasi barang-barangku, bukan untuk melawanmu,”Tama menyadari jika lengannya makin lama makin perih. Tapi dia tidak mungkin menunjukkan rasa itu di depan Rania. Maka dia memilih untuk membiarkan lukanya menganga, demi fokus menatap luruh ke arah Rania.“Apa yang membuatmu begitu ingin pergi? Setelah semua yang telah kulakukan, kamu akan pergi begitu saja?” protes Tama dengan nada dingin. “Kemana balas budimu? Jika bukan karenaku, kamu tidak akan bisa sejauh ini,”Tama sengaja ingin memancing emosi Rania, demi bisa mengulur waktu. Bagaimana
Pelan-pelan Tama mulai mengangkat kepalanya, untuk saling menatap dengan Rania. Namun ketika Tama memandangnya, Rania justru berpaling. “Aku harus benar-benar pergi,” ucapnya. “Kuharap di masa depan … saat kamu sudah menemukan pilihanmu lagi … kamu tidak akan membiarkannya mengalami nasib sepertiku,” Ada perasaan berdenyut sakit di tenggorokan Rania saat dia mengucapkan kata-kata panjang itu.Dengan berat hati, Rania mulai melangkah maju meninggalkan Tama yang masih diam tidak membuka mulutnya. Dua orang anak buah Tuan Hadi segera mengangkat barang-barang bawaan Rania, bahkan salah satu diantara mereka menoleh ke belakang untuk memastikan Tama tidak mengejar.Setelah mereka semua pergi, barulah Arif berlari kecil menghampiri Tama dengan wajahnya yang cemas.“Tuan, Tuan tidak apa-apa?” tanya Arif, kemudian matanya menangkap luka sayatan di lengan Tama. Dia bergegas mencari kotak P3K yang ada di kamar itu.“Rif,” panggil Tama.Seketika asisten itu berhenti dan menghadap ke arah Tama. “
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng