"Ran, ini apa artinya?" Laura yang tak sabar, segera merampas alat itu.Samar-samar senyum lega muncul dari wajah Rania yang sembab. Dia spontan memeluk Laura, sangat erat hingga Laura megap-megap tak siap."Aku tidak hamil, Lau. Aku tidak hamil," seru Rania, senang.Laura mengerjapkan mata beberapa kali, tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Dia tidak bisa ikut senang, karena itu artinya dia akan berpisah dengan Rania. Tapi dia juga tidak bisa ikut sedih, karena ini semua adalah keinginan Rania."Aku ikut bahagia, jika kamu bahagia, Ran," tukas Laura, berusaha keras untuk tersenyum.Rania melepas pelukannya. Dia kini melipat bibir saat menatap Laura. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Lau," janji Rania. "Kemanapun aku pergi, aku akan tetap mengingatmu,"Laura tidak ingin menangis sendirian. Dia buru-buru memalingkan wajah, lantas menarik tangan Rania untuk keluar dari kamar mandi besar itu. Dengan tangan kanan menarik Rania dan tangan kiri membawa alat tes kehamilan, Laura berusa
Sadar jika Rania benar-benar telah melukainya, Tama segera mundur. Sembari memegangi lengannya yang terus mengeluarkan darah segar. Tatapan matanya melunak, namun ada sisi tidak percaya pada raut wajah Tama ketika dia memandang Rania yang tengah kalut.“Aku benar-benar bisa melukaimu,” ancam Rania. Meski dia cukup gentar saat melihat Tama terluka, tapi Rania tidak ingin menyerah. “Kenapa kamu tidak membuat ini semua mudah? Aku datang hanya untuk mengemasi barang-barangku, bukan untuk melawanmu,”Tama menyadari jika lengannya makin lama makin perih. Tapi dia tidak mungkin menunjukkan rasa itu di depan Rania. Maka dia memilih untuk membiarkan lukanya menganga, demi fokus menatap luruh ke arah Rania.“Apa yang membuatmu begitu ingin pergi? Setelah semua yang telah kulakukan, kamu akan pergi begitu saja?” protes Tama dengan nada dingin. “Kemana balas budimu? Jika bukan karenaku, kamu tidak akan bisa sejauh ini,”Tama sengaja ingin memancing emosi Rania, demi bisa mengulur waktu. Bagaimana
Pelan-pelan Tama mulai mengangkat kepalanya, untuk saling menatap dengan Rania. Namun ketika Tama memandangnya, Rania justru berpaling. “Aku harus benar-benar pergi,” ucapnya. “Kuharap di masa depan … saat kamu sudah menemukan pilihanmu lagi … kamu tidak akan membiarkannya mengalami nasib sepertiku,” Ada perasaan berdenyut sakit di tenggorokan Rania saat dia mengucapkan kata-kata panjang itu.Dengan berat hati, Rania mulai melangkah maju meninggalkan Tama yang masih diam tidak membuka mulutnya. Dua orang anak buah Tuan Hadi segera mengangkat barang-barang bawaan Rania, bahkan salah satu diantara mereka menoleh ke belakang untuk memastikan Tama tidak mengejar.Setelah mereka semua pergi, barulah Arif berlari kecil menghampiri Tama dengan wajahnya yang cemas.“Tuan, Tuan tidak apa-apa?” tanya Arif, kemudian matanya menangkap luka sayatan di lengan Tama. Dia bergegas mencari kotak P3K yang ada di kamar itu.“Rif,” panggil Tama.Seketika asisten itu berhenti dan menghadap ke arah Tama. “
Laura cemas bukan main saat melihat wajah Arif yang membiru saat mereka berdua memutuskan untuk bertemu diam-diam di salah satu cafe. Laura berusaha menyentuh memar di wajah Arif, tapi pria itu menepis tangannya.“Aku tidak apa-apa,” ucap Arif. “Ini sudah biasa untukku,” Arif berkata jujur. Dia bahkan sering mengalami luka yang lebih parah sebelumnya.“Tapi aku tidak biasa melihatnya,” timpal Laura, menunjukkan wajah cemas.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Arif sudah tidak sabar. “Kenapa Tuan Hadi membantu Rania pergi?”“Aku tidak tahu,” jawab Laura cepat. Dia masih fokus pada luka di wajah Arif. Sebenarnya Arif kecewa dengan jawaban Laura yang terkesan instan tanpa mau berusaha. Tapi melihat sorot kejujuran di mata Laura, Arif seketika tahu bahwa Laura tidak berbohong.“Yang kutahu, Ayah memanggil Tama untuk datang ke rumah,” ujar Laura, setelah keduanya sempat diam. “Aku bertemu dia sebelum datang ke sini,”***“Sebaiknya kamu mulai fokus pada rencana pernikahanku dengan Regina,” ula
Kenalan Tuan Hadi yang akan memberi pekerjaan bernama Bu Mentari, seorang rektor di sebuah kampus di kota kecil tempat Rania tinggal sekarang. Atas rekomendasi dari Bu Mentari, Rania berhasil mendapatkan posisi sebagai dosen di kampus kecil itu.Pagi ini Rania bersiap untuk masuk pertama kali sebagai seorang dosen, bukan lagi asisten dosen. Setelah membiasakan diri tinggal di kota kecil selama satu bulan, Rania siap untuk menjalani babak baru kehidupannya.Dia membeli sebuah sepeda listrik sebagai mobilitasnya, karena memang kota kecil itu begitu asri dengan banyak pejalan kaki. Selain itu jarak antara satu tempat ke tempat lain tidak terlalu jauh, membuat Rania begitu bersyukur dengan kehidupan barunya.“Rania Manalli?” sapa seorang pria–yang tampak seumuran Rania.Rania memarkir sepedanya, lantas mengangguk dengan tatapan keheranan. “Benar. Anda siapa?”“Kenalkan saya Bagas,” Dia mengulurkan tangannya dengan senyum secerah matahari pagi ini. “Saya pegawai administrasi jurusan yang d
Bagas menyerahkan segelas kopi dan roti lapis ke hadapan Rania yang tengah sibuk menyusun pembelajaran untuk para mahasiswanya. Rania mendongak, dan tersenyum sebagai ucapan terima kasih. Dia pun melepas kacamatanya dan menghadap Bagas yang duduk di salah satu kursi dosen di samping meja Rania."Tumben baik?" seloroh Rania bercanda.Bagas tertawa lepas. Setelah hampir tiga bulan bekerja sebagai kolega sesama pegawai kampus, Rania dan Bagas memutuskan untuk bicara lebih santai mengingat usia mereka yang hampir sebaya. Bagas hanya selisih lebih tua beberapa tahun dari Rania, membuat obrolan begitu menyenangkan."Aku baru sadar, kenapa kamu lepas cincinmu?" tanya Bagas, yang iseng menatap ke arah jari manis Rania. Rania sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berseru, tentu saja dia harus melepas cincin pemberian Tama. Setiap kali dia melihat cincin itu, hatinya akan teriris pedih akan kenangan pahit dan indah bersama Tama."Aku tidak ingin mencolok di depan mahasiswa
Beberapa jam sebelumnya …Arif ragu untuk melangkah, karena melihat tuannya tengah memijat kening tanda sedang dalam kondisi frustasi berat. Tama tidak pernah begitu keras memikirkan sesuatu, karena dia selalu punya seribu cara licik saat menghadapi lawan bisnisnya. Tapi semenjak kepergian Rania, Tama berubah sangat berbeda. Dia menjadi lebih kejam, berhati dingin dan sesekali memegangi keningnya sambil mengaduh pelan. Sebagai orang yang tak pernah lepas dari Tama, Arif tentu cemas melihat perubahan itu."Rif? Masuk!" Tama menyadari kehadiran Arif, yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Apa yang kamu temukan?"Arif menggeleng. "Saya belum menemukan jejak Rania, Tuan,""Kalau anak itu? Apa dia sudah menikah?"Sekali lagi Arif menggeleng. "Dia sama sekali tidak keluar rumah, bahkan tidak pergi ke kampus," jawab Arif.Tama mendongak. "Anak itu? Apa dia kira dengan bersikap kekanakan, Rania akan kembali?" Tama mengomel sambil memandang Arif. Padahal omelan itu dia tujukan pada Vink
"Ran? Rania?" Bagas berteriak memanggil Rania dari ambang pintu depan. Dia tidak mungkin menerobos masuk rumah Rania begitu saja, apalagi Rania tinggal sendirian.Di dalam kamar mandi Rania bisa mendengar suara Bagas dengan jelas. Tapi dia masih bergumul dengan perasaannya sendiri, ketakutan akan hamil. Dia terus mengelus perutnya, dengan banyak harapan bahwa tubuhnya hanya masuk angin."Maaf, ya," ucap Rania setelah berhasil keluar dari kamar mandi dan menemui Bagas. Wajahnya tampak sangat pucat."Kamu baik-baik saja? Perlu kubelikan obat?" tawar Bagas dengan wajah cemas.Rania menolak dengan senyuman. "Aku baik-baik saja, Gas. Sepertinya aku hanya butuh istirahat," Tanpa perlu diusir secara terang-terangan, Bagas tahu jika dia harus segera pamit. Meskipun dia begitu mencemaskan Rania, tapi Bagas sangat menjaga privasi Rania. Dia benar-benar mencerminkan seorang pria yang baik."Apa kamu perlu kubelikan sesuatu dulu?" tawar Bagas.Rania sekali lagi menggeleng. Dia berusaha untuk tet
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng