Dering telepon Ameera bergetar beberapa kali. Panggilan telepon itu masuk sesaat setelah dia keluar dari mobil hitam Jicko. Orang itu mengantarnya pulang, dengan rasa sopan.
Ameera masih berdiri di depan pagar rumah. Matanya memerhatikan pantat mobil autopilot milik Jicko sampai lenyap di persimpangan jalan rumah. Ameera mengembuskan napas panjang kali ini. Membuang rasa gugup yang menyelimuti badan.
“Halo, Nak. Bagaimana acaranya? Jicko bilang apa ke kamu?” Maria memberondong pertanyaan ketika panggilan masuk itu telah terhubung.
Ameera tersenyum getir. Entah jawaban apa yang harus dikatakannya saat ini kepada Mama, orang yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. Tapi seyogianya, Ameera tidak boleh mengatakan bahwa Jicko menolak untuk menikahi Ameera. Karena gadis itu tahu betul, nanti Mama akan merasa terluka.
Pikiran Ameera kemudian melanglang buana, kembali ke tempat tadi. Saat percakapan mereka berlangsung amat serius di restoran hotel. Jicko dengan raut wajah yang menakutkan menatap Ameera seperti tidak ingin membiarkan lawan bicara berkutik. Itu salah satu ketakutan Ameera. Dia tidak bisa berbuat banyak ketika berada dalam situasi terintimidasi.
“Aku sudah tahu profil kamu,” kata Jicko beberapa saat lalu. “Kamu termasuk orang yang low profile. Yah, termasuk bagus buat perempuan seperti kamu.”
Jicko menarik napas panjang sesaat. Punggungnya tenggelam di sandaran kursi. Tangan melipat di dada. Mata sipitnya menatap lamat-lamat wajah Ameera. Penampilannya oke, cukup cantik. Dia menawan dengan setelan dress sebatas tulang kering kaki. Kecuali bahunya yang terbuka. Itu membuat Jicko menelan ludah. Entah kenapa, itu mengingatkan pada kejadian saat SMA.
“Aku seorang aseksual. Aku tidak tertarik dengan lawan jenis atau yang sejenis. Aku hanya tertarik dengan pekerjaan dan karirku saja. Artinya, aku tidak butuh pasangan hidup sama sekali. Aku tidak butuh pernikahan. Jadi, rencana Mama itu sebaiknya tidak kamu iyakan.” Jicko melanjutkan percakapan, “Aku hidup belasan tahun di negara liberal yang suka pada kebebasan. Menikah bukanlah keharusan. Poin utama di sini, Mama menginginkan seorang cucu. Aku berjanji akan memberikannya.”
“Mengingat aku juga sudah cukup dewasa, usiaku terbilang masuk usia kepala tiga, tidak salah kalau aku juga butuh seorang anak, walau aku tidak cocok berperan sebagai seorang Papa. Tetapi melihat prospek di masa depan, aku butuh anak sebagai penerusku kelak.”
“Percakapan kita tidak akan membahas soal pernikahan, melainkan seorang anak. Aku menawarkan beberapa hal, mungkin ini bisa kamu pertimbangkan. Aku ingin kamu mengandung anak untukku, dengan catatan kita tidak menikah. Anggaplah pekerjaan ini sebagai joki atau rahim sewaan.”
“Jika kamu berhasil memberikan aku bayi laki-laki, maka aku akan memberikan kamu banyak fasilitas mewah yang menguntungkan. Di antaranya, rumah mewah di kota modern, Tangerang. Fasilitas VVIP untuk semua akses, kartu kredit tanpa limit, kalau kamu minta jet, aku akan memberikannya. Itu kesepakatan yang aku tawarkan.”
“Aku juga akan membiayai pendidikan kamu sampai menjadi dokter, biaya operasi kakak kamu yang bernilai milyaran bisa aku tanggung, segalanya bisa aku penuhi. Tetapi ingat, aku hanya perlu bayi laki-laki. Aku tidak mau bayi perempuan. Bagaimana?”
Ameera menelan ludahnya sekali lagi. Entah respon apa yang harus diungkapkannya kala itu. Ini di luar ekspektasi. Kata Mama, Jicko orangnya ramah dan pengertian. Dia tidak seperti orang yang ada di depannya ini. Pertemuan mereka malam ini membahas pernikahan, bukan hal yang lain. Kalau tahu seperti ini pembahasannya, mungkin Ameera tidak akan ke sini. Demi Tuhan. Dia menyesalinya.
Ameera yang terdiam tanpa sepatah kata membuat Jicko menyeringai tipis. Dia tahu gadis ini bimbang. Penawaran yang Jicko berikan adalah hal sebanding dengan apa yang dimintanya. Sebaliknya, Ameera harus memenuhi persyaratan yang Jicko ajukan.
“Oke, dengar baik-baik. Jangan terlalu ragu untuk mengambil kesimpulan. Di Korea, para perempuan mengandung bayi akan diberikan tunjangan oleh pemerintah. Mereka didukung penuh dalam program ini. Apa yang aku tawarkan, rasanya hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di Korea.”
“..., dan, di Korea pasangan tanpa status pernikahan bisa tinggal bersama. Permasalahan di sini bukan soal status. Tapi kenyamanan. Jika kamu suka dengan penawaran ini, maka kamu adalah pilihan yang terbaik.”
“Aku perlu memikirkannya dulu.” Ameera menjawab pendek. Respon dan raut wajahnya amat datar. Ingatan Ameera soal yang tadi lenyap, saat suara Mama menginterupsinya lagi.
“Meera, kok diem?”
“Eh, iya, Ma. Apa tadi?” Ameera menjawab cepat.
“Itu, gimana yang tadi dengan Jicko. Lancar nggak?”
“Ehm ..., lancar, Ma.”
“Dia bilang apa?”
“Dia bilang ..., kami perlu perkenalan lebih baik lagi dari hari ini.”
“Tuh kan, apa Mama bilang. Jicko itu kalau sudah lihat kamu, dia pasti bakal langsung suka. Cantik begini. Anak itu harus dipaksa dulu, baru mau dianya.”
“Iya, Ma.” Ameera mengulum senyum getir. Sesaat berikutnya, panggilan telepon itu terputus. Ameera memejamkan matanya beberapa detik. Skenario kebohongan ini belum pernah dirancangnya sama sekali. Nanti kalau Mama tahu dia berbohong, akankah Mama tidak marah sama sekali? Meski di sini yang jadi permasalahan adalah Jicko.
Tangan Ameera memainkan kartu nama hitam bertuliskan nama Jicko dengan guratan tinta emas di permukaannya. Tertulis jelas nama Jicko Aditama di sana dan tempatnya bekerja. Pria itu yang memberikan tadi, saat Ameera keluar dari mobil canggihnya.
••••
“Gimana, cantik kan anaknya?”
“Iya.”
“Anaknya penurut itu.”
“Iya, dia penurut. Ada lagi yang mau Mama puji tentang dia?” Jicko mendelik sebal. Mamanya terlalu cerewet. Sumpah, Jicko kesal mendengar celoteh beliau.
Beberapa menit lalu, seusai Jicko pulang dari mengantar Ameera, selepas mandi, Mama menelponnya. Dia bertanya tentang pertemuan mereka beberapa jam lalu. Jicko berdiri di depan dinding kaca tebal dan transparan di rumahnya. Tempat itu langsung terhubung dengan taman sepetak, seluas kamar kost-kostan. Jicko dan sang ibu tidak berada di satu rumah.
Sudah lama sekali Jicko meninggalkan kediaman sang ibu. Kira-kira tiga atau empat tahun lalu. Karena kediamannya lebih dekat dengan kantor dibandingkan dengan rumah utama keluarga. Saat itu dia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk putih menutup bagian bawah, sisa membasuh badan tadi.
“Pokoknya Mama mau kamu segera nikahin dia. Soalnya Ameera itu pilihan terbaik buat Mama.” Maria melanjutkan ucapannya. Nada suara terdengar antusias nan bahagia.
Jicko mengerutkan dahinya. Masih saja itu yang dikatakan olehnya. Jicko mendecak pelan, tangan kirinya memijit kening.
“Ma, jangan bahas itu lagi, oke. Keputusanku tadi siang masih sama. Aku menuruti permintaan Mama, tapi tidak dengan menikahi dia.”
“Jicko! Lancang kamu ya!” Suara Maria berseru meninggi, “Kamu kira Ameera itu pelacur, hah? Yang seenaknya mau kamu pakai sesuka hati. Kamu kalau ngomong nggak pernah disaring.”
“Itu keputusanku. Suka nggak suka, Mama harus terima.”
“Oh, oke. Itu keputusan kamu. Mama kira dengan mempertemukan kamu dengan Ameera, mungkin kamu akan suka sama dia atau tertarik paling tidaknya. Ternyata hasilnya sama aja. Mama rupanya yang terlalu berekspektasi lebih di sini.” Maria men-jeda sejenak percakapan keduanya.
Terdengar helaan napas berat dari balik gawai pintar Jicko. Pria itu memahami keadaan ini. Mama pasti lagi menahan kesal dan kecewa. Jicko tahu sifat sang Mama yang satu ini.
“Ma ...?” Jicko menginterupsi. Takut-takut Mama meninggalkan percakapan daring mereka begitu saja.
“Mama terima keputusan kamu, Nak. Mama ikhlas. Tapi Mama minta, nanti kalau Mama mati, kamu nggak usah datang ke pemakaman Mama, ya. Itu permintaan terakhir Mama.”
“Ma! Kok ngomong gitu, sih?” Jicko berseru lantang. Dia tidak suka dengan percakapan ini. Namun sayangnya, panggilan itu langsung terputus. Mama mengakhirnya. Jicko mengembuskan napas sengal. Telepon genggam dilempar ke atas sofa abu-abu.
Pagi sekali, pukul tujuh. Jicko telah berada di kediaman utama keluarganya. Biasanya dia tidak akan pernah pulang lagi ke rumah ini. Tetapi gara-gara ucapan Maria semalam, pria itu jadi kepikiran. Sampai tak bisa tidur. Mama mungkin sesumbar berkata soal itu. Tetapi Jicko tidak senang mendengarnya. Mau bagaimanapun, Jicko masih menyayangi sang ibu. Kedatangan Jicko ke rumah ini adalah yang pertama setelah enam bulan tidak pulang. “Mama ada, Bi?” Jicko bertanya kepada kepala pelayan yang bertugas saat itu. Kebetulan dia melintas di ruang tengah, berpapasan dengan tuan muda. “Ada di kamarnya, Den.” Bibi memberitahu, tangannya menunjuk daun pintu cokelat kamar Maria. Di seberang ruang keluarga. Rumah ini besar sekali, tiga tingkat. Sebagian besar dinding rumah berlapis kaca tebal dengan kain gorden menjuntai sepanjang lebih dari 10 meter. “Tapi beliau sakit, Den. Beliau ngurung diri sejak semalam di kamarnya.” Jicko memutar badan, menatap bibi sesaat. Langkahnya ingin menuju ke kamar
Jicko sudah berada di kantor, sesaat lalu dia sampai. Pagi itu pukul delapan. Matahari mulai meninggi, awan cerah, langit biru berpendar. Bangunan tinggi di sebelah bangunan Polux 12 memantulkan sinar silaunya. Jicko merenung sesaat. Pikirannya masih terngiang dengan perkataan Ameera satu jam lalu, ketika mereka membicarakan tentang keinginan sang Mama di balairung belakang rumah. Dekat dengan lapangan golf yang luas. Dulu sekali, tempat itu menjadi bagian terpenting untuk Papanya. Dia pecinta olahraga para taipan. “Kalau kakak tidak mau, jangan dipaksakan. Kita bisa bicarakan dengan baik kepada Mama. Aku paham, dia pasti bisa mengerti situasi ini kalau kita menjelaskan lebih sabar.” Ameera berkata lagi. Jicko mendesis. Dia tertawai sumbang. “Seberapa pahamnya kamu dengan Mama? Kamu kira kalau membicarakannya dengan baik-baik dia akan menerimanya begitu saja. Begitu kan yang kamu maksud?” “Setidaknya ....” “Setidaknya Mama tidak akan pernah mengubah keputusannya sama sekali!” Jic
Jicko duduk di depan Ameera. Malam ini pukul tujuh. Kota kami hujan lebat, angin bergemuruh. Rinai hujan membasahi pesisir kota. Siang lalu Maria menelpon Jicko, memintanya mengajak Ameera makan malam bersama (lagi). Anggap saja sebagai pendekatan. Jicko tidak bisa menolak. Karena lagi-lagi Mama adalah penguasa. Dia di atas segalanya dalam hal ini. Membantah Mama artinya siap-siap mendengarkan ucapannya yang tidak bagus itu. Jicko tidak perlu menjelaskan kata-kata tidak bagus seperti apa. Karena telah disinggungnya di awal-awal. “Aku perlu bertemu dengan keluargamu!” Jicko membuka percakapan. Mulutnya menyendok makanan saat berbicara. Ada hidangan steak yang dipanggang level well-done. Steak itu telah terpotong kecil-kecil. “Soal itu, aku rasa lain kali saja. Untuk sekarang bukan saatnya bertemu dengan keluargaku.” Ameera menjawab ragu. Sekali matanya menatap Jicko yang terlihat sangat serius di depannya. Tatapan itu amat menuntut. “Kenapa?”“Aku tidak punya alasan khusus untuk m
“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa. Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah. “Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud. Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga b
“Cantik sekali baju pengantinnya. Kamu yang milihnya, Nak? Apa Jicko yang milih?” Mama menatap terkesima baju pengantin yang baru saja sampai di rumahnya. Perempuan tua itu tengah berkata kepada Ameera via sambungan telepon. Suaranya amat antusias. Maria sendiri berada di ruang tengah rumah, sedang menikmati teh sorenya. Itu kegiatan rutin selepas bermain golf di halaman luas belakang rumah. “Itu Kak Jicko, Ma, yang milih,” jawab Ameera. Dia setengah jujur soal ini. Sebenarnya dia yang memilih baju itu, tapi Jicko yang mengiakan. Sepertinya Jicko ini orang yang tidak terlalu menuntut. Ameera mencoba memahami sifatnya. Terutama tentang tadi. Sesuatu yang Ameera mau, ketika Jicko bertanya apakah dia menyukai itu atau tidak, selagi gadis itu bilang iya atau tidak, maka Jicko akan mengikuti kata hati sang mempelai wanita. Sifat orangnya amat sederhana. Dia tidak banyak mempersalahkan ini dan itu. Apalagi penampilan Ameera. Dalam hal ini, sifat Jicko amat mengesankan. “Ey, pantes aja i
Malam, pukul tujuh. Jicko telah berada di rumah sang Mama selepas pria itu mengganti tampilan pakaiannya menjadi lebih kasual. Malam ini dia datang ke rumah sang Mama, jauh-jauh dari kediamannya karena Maria meminta untuk makan malam bersama dengan Ameera. Tentu saja dengan Maria juga. Koki rumah tangga Maria memasak sesuatu yang khusus. Jicko harus datang. Maka pria itu tidak bisa membantah. Karena sekarang alasan terkuat Mama adalah Ameera. Berbeda dengan yang dulu-dulu, dia bisa berkilah sesuka hati jika tidak mau dihadapkan dengan mulut cerewet Maria. “Kamu harus makan yang banyak. Mama perhatiin, badan kamu makin kurus. Anda bilang kamu suka begadang ngurusin pekerjaan yang enggak ada henti-hentinya. Padahal kamu itu kepala grup. Enggak ada kewajiban turun tangan ngurus hal yang begituan. Percuma kamu angkat CEO, CFO, sama para direksi kalau kamu masih kerja sibuk kayak gini!” Maria mulai mengoceh. Jicko cukup mendengar saja. Dia tidak akan menyela. Tangannya menyendok makanan
“Nyonya, ada kiriman dari Tuan.” Kepala asisten rumah tangga datang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Maria dan Ameera yang sedang berada di taman belakang. Maria sedang olahraga, main golf. Tangannya tengah mengayunkan tongkat golf, bersiap memukul bola itu dengan ancang-ancang. Tetapi kegiatannya mendadak harus terhenti. “Apa ini?” tanya Maria. “Enggak tahu, Nyonya. Enggak berani buka.” Pelayan itu menggeleng. Maria menyambut bungkus tipis cokelat itu. Lalu dibukanya. Ada undangan di sana. Dahinya mengerut. Cepat sekali, pikirnya. Kapan Jicko melakukan ini? Sepertinya anak itu benar-benar serius akan menikahi Ameera. Seharusnya Maria senang. Sebab Jicko kali ini menjadi anak yang benar-benar patuh. Paling tidak, dalam hal ini tidak ada yang terpaksa. Semua rupanya berjalan sesuai rencana Maria. “Meera, ini undangan pernikahan kalian, Nak?” Ameera yang ada di belakang Maria, datang mendekatinya. Gadis itu memerhatikan sampul undangan di tangan Mama. “Iya, Ma.”“Kapan kalian f
Jicko mengantar Ameera pulang, tepat jam dua belas. Bersamaan dengan karyawan yang meninggalkan ruangan kerja, mencari makan di lantai bawah dan tengah. Atau keluar ke tempat lain. Beberapa karyawan menyapa ramah ketika berpapasan dengan bos besar. Beberapa berbisik soal gadis cantik yang berjalan seiringan dengan Jicko. Yang lainnya berspekulasi. Dan gonjang-ganjing soal Jicko akan menikah, rupanya mulai beredar luas. Satu-dua orang menatap takjub. Calon istri presiden direktur sangat menawan. Pantas sekali bersanding dengan beliau. “Simpan untukmu.” Jicko menyerahkan kartu hitam, sesaat setelah dia masuk ke dalam mobilnya dan Ameera sudah duduk di sebelahnya. Mobil itu kemudian bersiap berangkat. “Apa ini?" “Kartu kredit tanpa limit.” “Buat apa?” Jicko melirik sekilas, “Kamu bisa memakainya untuk apapun. Kartu itu juga akses VVIP untuk semua tempat populer yang ingin kamu masuki.” Ameera menggeleng pelan, “Aku bukan bertanya tentang itu. Tapi buat apa Kakak memberikannya kepa