Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Anda berdiri gugup di depan meja kerja sang bos besar, wajahnya sesekali memerhatikan wajah tegang di depannya itu. Pagi ini Anda hendak melaporkan satu hal penting dari Nyonya yang harus segera disampaikan kepada Jicko—bosnya yang merupakan kepala perusahaan Linux Inc. “Pak, pesan dari Nyonya!” Anda menyodorkan telepon genggamnya ke atas meja. Jicko menatap melotot, tak senang dengan berita yang datang pagi itu. Masalahnya, pesan yang disampaikan oleh Anda si orang penting dalam pekerjaannya itu sama seperti pesan-pesan yang kemarin. Tak ada bedanya. “Apalagi kali ini?” tanya Jicko. Nada bicaranya sedikit agak ketus. Seperti biasa, Anda takkan kesal kalau dijawab dengan nada bicara seperti itu. Sebab Jicko memang terbiasa bicara agak dingin dan sedikit kasar. Anda memahami karakter utamanya. “Nyonya minta Bapak datang ke acara makan malam di hotel four season bersama Bu Ameera.”“Cuma itu?” Jicko bertanya lagi. Sang lawan bicara mengangguk. “Semuanya sudah disiapkan oleh Nyonya.
“Pak, ini biodata gadis itu.” Anda menyerahkan tablet di tangannya ke atas meja. Jicko segera melihat layar menyala itu. Waktu itu pukul setengah empat sore. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sinarnya terbelah oleh gedung-gedung pencakar langit ibukota. Sunset yang indah. Warna jingga yang mempesona. Ruang kerja Jicko ada di pucuk gedung Polux 12. Gedung dengan ketinggian 150 meter. Itu markas besar Linux Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik dan otomotif. Salah satunya produk mereka yang paling terkenal adalah telepon genggam dengan sistem i-wos dan kendaraan listrik autopilot paling mutakhir. Selain telepon genggam, Linux Inc.— juga memproduksi alat elektronik seperti laptop, komputer, alat elektronik rumah tangga, termasuk setrika, alat penanak nasi, mesin pencuci pakaian dan apapun itu yang dijalankan secara otomatis. Soal betapa mutakhirnya produk-produk perusahaan Linux, itu tidak perlu diragukan lagi. Mereka juga punya pasar glo
Dering telepon Ameera bergetar beberapa kali. Panggilan telepon itu masuk sesaat setelah dia keluar dari mobil hitam Jicko. Orang itu mengantarnya pulang, dengan rasa sopan. Ameera masih berdiri di depan pagar rumah. Matanya memerhatikan pantat mobil autopilot milik Jicko sampai lenyap di persimpangan jalan rumah. Ameera mengembuskan napas panjang kali ini. Membuang rasa gugup yang menyelimuti badan. “Halo, Nak. Bagaimana acaranya? Jicko bilang apa ke kamu?” Maria memberondong pertanyaan ketika panggilan masuk itu telah terhubung. Ameera tersenyum getir. Entah jawaban apa yang harus dikatakannya saat ini kepada Mama, orang yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. Tapi seyogianya, Ameera tidak boleh mengatakan bahwa Jicko menolak untuk menikahi Ameera. Karena gadis itu tahu betul, nanti Mama akan merasa terluka. Pikiran Ameera kemudian melanglang buana, kembali ke tempat tadi. Saat percakapan mereka berlangsung amat serius di restoran hotel. Jicko dengan raut wajah yang