Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Anda berdiri gugup di depan meja kerja sang bos besar, wajahnya sesekali memerhatikan wajah tegang di depannya itu. Pagi ini Anda hendak melaporkan satu hal penting dari Nyonya yang harus segera disampaikan kepada Jicko—bosnya yang merupakan kepala perusahaan Linux Inc. “Pak, pesan dari Nyonya!” Anda menyodorkan telepon genggamnya ke atas meja. Jicko menatap melotot, tak senang dengan berita yang datang pagi itu. Masalahnya, pesan yang disampaikan oleh Anda si orang penting dalam pekerjaannya itu sama seperti pesan-pesan yang kemarin. Tak ada bedanya. “Apalagi kali ini?” tanya Jicko. Nada bicaranya sedikit agak ketus. Seperti biasa, Anda takkan kesal kalau dijawab dengan nada bicara seperti itu. Sebab Jicko memang terbiasa bicara agak dingin dan sedikit kasar. Anda memahami karakter utamanya. “Nyonya minta Bapak datang ke acara makan malam di hotel four season bersama Bu Ameera.”“Cuma itu?” Jicko bertanya lagi. Sang lawan bicara mengangguk. “Semuanya sudah disiapkan oleh Nyonya.
“Pak, ini biodata gadis itu.” Anda menyerahkan tablet di tangannya ke atas meja. Jicko segera melihat layar menyala itu. Waktu itu pukul setengah empat sore. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sinarnya terbelah oleh gedung-gedung pencakar langit ibukota. Sunset yang indah. Warna jingga yang mempesona. Ruang kerja Jicko ada di pucuk gedung Polux 12. Gedung dengan ketinggian 150 meter. Itu markas besar Linux Inc. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik dan otomotif. Salah satunya produk mereka yang paling terkenal adalah telepon genggam dengan sistem i-wos dan kendaraan listrik autopilot paling mutakhir. Selain telepon genggam, Linux Inc.— juga memproduksi alat elektronik seperti laptop, komputer, alat elektronik rumah tangga, termasuk setrika, alat penanak nasi, mesin pencuci pakaian dan apapun itu yang dijalankan secara otomatis. Soal betapa mutakhirnya produk-produk perusahaan Linux, itu tidak perlu diragukan lagi. Mereka juga punya pasar glo
Dering telepon Ameera bergetar beberapa kali. Panggilan telepon itu masuk sesaat setelah dia keluar dari mobil hitam Jicko. Orang itu mengantarnya pulang, dengan rasa sopan. Ameera masih berdiri di depan pagar rumah. Matanya memerhatikan pantat mobil autopilot milik Jicko sampai lenyap di persimpangan jalan rumah. Ameera mengembuskan napas panjang kali ini. Membuang rasa gugup yang menyelimuti badan. “Halo, Nak. Bagaimana acaranya? Jicko bilang apa ke kamu?” Maria memberondong pertanyaan ketika panggilan masuk itu telah terhubung. Ameera tersenyum getir. Entah jawaban apa yang harus dikatakannya saat ini kepada Mama, orang yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. Tapi seyogianya, Ameera tidak boleh mengatakan bahwa Jicko menolak untuk menikahi Ameera. Karena gadis itu tahu betul, nanti Mama akan merasa terluka. Pikiran Ameera kemudian melanglang buana, kembali ke tempat tadi. Saat percakapan mereka berlangsung amat serius di restoran hotel. Jicko dengan raut wajah yang
Pagi sekali, pukul tujuh. Jicko telah berada di kediaman utama keluarganya. Biasanya dia tidak akan pernah pulang lagi ke rumah ini. Tetapi gara-gara ucapan Maria semalam, pria itu jadi kepikiran. Sampai tak bisa tidur. Mama mungkin sesumbar berkata soal itu. Tetapi Jicko tidak senang mendengarnya. Mau bagaimanapun, Jicko masih menyayangi sang ibu. Kedatangan Jicko ke rumah ini adalah yang pertama setelah enam bulan tidak pulang. “Mama ada, Bi?” Jicko bertanya kepada kepala pelayan yang bertugas saat itu. Kebetulan dia melintas di ruang tengah, berpapasan dengan tuan muda. “Ada di kamarnya, Den.” Bibi memberitahu, tangannya menunjuk daun pintu cokelat kamar Maria. Di seberang ruang keluarga. Rumah ini besar sekali, tiga tingkat. Sebagian besar dinding rumah berlapis kaca tebal dengan kain gorden menjuntai sepanjang lebih dari 10 meter. “Tapi beliau sakit, Den. Beliau ngurung diri sejak semalam di kamarnya.” Jicko memutar badan, menatap bibi sesaat. Langkahnya ingin menuju ke kamar
Jicko sudah berada di kantor, sesaat lalu dia sampai. Pagi itu pukul delapan. Matahari mulai meninggi, awan cerah, langit biru berpendar. Bangunan tinggi di sebelah bangunan Polux 12 memantulkan sinar silaunya. Jicko merenung sesaat. Pikirannya masih terngiang dengan perkataan Ameera satu jam lalu, ketika mereka membicarakan tentang keinginan sang Mama di balairung belakang rumah. Dekat dengan lapangan golf yang luas. Dulu sekali, tempat itu menjadi bagian terpenting untuk Papanya. Dia pecinta olahraga para taipan. “Kalau kakak tidak mau, jangan dipaksakan. Kita bisa bicarakan dengan baik kepada Mama. Aku paham, dia pasti bisa mengerti situasi ini kalau kita menjelaskan lebih sabar.” Ameera berkata lagi. Jicko mendesis. Dia tertawai sumbang. “Seberapa pahamnya kamu dengan Mama? Kamu kira kalau membicarakannya dengan baik-baik dia akan menerimanya begitu saja. Begitu kan yang kamu maksud?” “Setidaknya ....” “Setidaknya Mama tidak akan pernah mengubah keputusannya sama sekali!” Jic
Jicko duduk di depan Ameera. Malam ini pukul tujuh. Kota kami hujan lebat, angin bergemuruh. Rinai hujan membasahi pesisir kota. Siang lalu Maria menelpon Jicko, memintanya mengajak Ameera makan malam bersama (lagi). Anggap saja sebagai pendekatan. Jicko tidak bisa menolak. Karena lagi-lagi Mama adalah penguasa. Dia di atas segalanya dalam hal ini. Membantah Mama artinya siap-siap mendengarkan ucapannya yang tidak bagus itu. Jicko tidak perlu menjelaskan kata-kata tidak bagus seperti apa. Karena telah disinggungnya di awal-awal. “Aku perlu bertemu dengan keluargamu!” Jicko membuka percakapan. Mulutnya menyendok makanan saat berbicara. Ada hidangan steak yang dipanggang level well-done. Steak itu telah terpotong kecil-kecil. “Soal itu, aku rasa lain kali saja. Untuk sekarang bukan saatnya bertemu dengan keluargaku.” Ameera menjawab ragu. Sekali matanya menatap Jicko yang terlihat sangat serius di depannya. Tatapan itu amat menuntut. “Kenapa?”“Aku tidak punya alasan khusus untuk m
“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa. Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah. “Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud. Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga b