Jicko sudah berada di kantor, sesaat lalu dia sampai. Pagi itu pukul delapan. Matahari mulai meninggi, awan cerah, langit biru berpendar. Bangunan tinggi di sebelah bangunan Polux 12 memantulkan sinar silaunya.
Jicko merenung sesaat. Pikirannya masih terngiang dengan perkataan Ameera satu jam lalu, ketika mereka membicarakan tentang keinginan sang Mama di balairung belakang rumah. Dekat dengan lapangan golf yang luas. Dulu sekali, tempat itu menjadi bagian terpenting untuk Papanya. Dia pecinta olahraga para taipan.
“Kalau kakak tidak mau, jangan dipaksakan. Kita bisa bicarakan dengan baik kepada Mama. Aku paham, dia pasti bisa mengerti situasi ini kalau kita menjelaskan lebih sabar.” Ameera berkata lagi.
Jicko mendesis. Dia tertawai sumbang. “Seberapa pahamnya kamu dengan Mama? Kamu kira kalau membicarakannya dengan baik-baik dia akan menerimanya begitu saja. Begitu kan yang kamu maksud?”
“Setidaknya ....”
“Setidaknya Mama tidak akan pernah mengubah keputusannya sama sekali!” Jicko memotong ucapan Ameera, “Mama orang yang keras kepala, suka bicara gamblang dan terkadang cerewet. Dia tidak akan berhenti sebelum semua yang dia mau terpenuhi. Aku terlanjur mengiakan permintaan Mama kali ini. Tujuanku mengajak kamu bicara berdua, aku ingin mengubah isi kesepakatan yang aku tawarkan semalam.”
“Aku menganggap kamu setuju dengan pernikahan ini. Tetapi aku menetapkan persyaratan. Pertama, kamu harus patuh dengan semua yang aku katakan. Kedua, segala hal yang ingin kamu lakukan, itu harus atas persetujuanku. Ketiga, jangan pernah sakit hati nanti ketika sikapku tidak sebaik yang kamu kira. Keempat, aku terbiasa bicara kasar dan sering mengumpat. Aku tidak terlalu sulit menempatkan persyaratan itu. Dan sebaliknya, sebagai timbal balik, aku akan memenuhi semua yang kamu inginkan. Seperti pengobatan kakak kamu dan biaya pendidikan kamu.”
“Jika kita berada di luar rumah ketika pergi berdua, aku ingin kamu jangan mengatakan kepada orang lain nantinya kalau kita telah menikah. Lalu, aku ingin ketika kamu sudah menikah denganku nanti, kamu selalu harus ada di rumah saat aku pulang. Batasi jam keluyuran, kalau sudah selesai kuliah, langsung kembali. Dan yang terpenting, jangan pernah merusak nama baikku jika ada kesalahan kecil yang kamu buat. Karena pernikahan ini hanya akan terjadi sementara saja. Kamu paham?”
Ameera mengangguk.
“Oh, aku belum dengar kamu jawab apa. Jadi katakan apa yang mau kamu katakan. Aku akan ingin tahu itu.” Jicko melirik gadis itu lagi.
“Tidak ada,” katanya menyahut cepat.
“Maka kamu setuju dengan persyaratan dariku?”
“Asal itu yang Mama harapkan. Maka tidak ada yang perlu aku katakan lagi.”
“Bagus. Aku suka keputusan tegas kamu. Semuanya akan aku urus mulai besok. Kamu hanya perlu terima jadi. Dan aku akan mempercepat proses pernikahan, supaya tidak banyak waktu yang terbuang.” Jicko mengancing jas hitamnya, “Kalau tidak ada lagi yang ingin kamu katakan, maka kesepakatan kita anggap valid.”
Kemudian pria itu membalikkan badan, bermaksud meninggalkan balairung belakang rumah. Ameera memerhatikan punggung badan jangkung yang telah pergi beberapa langkah di depannya itu.
Sesaat kemudian dia menghela napas tertahan. Sejak tadi dia tidak bebas menghirup udara segar. Jicko. Orang ini punya sesuatu yang membuat dirinya seakan takut. Dia berbeda dengan Kak Gino. Orang ini agaknya seorang yang kasar. Entah kenapa Ameera berpikir demikian.
“Anda memanggilku, Pak?” Anda bertanya. Dia berdiri di depan meja kerja Jicko. Sekretaris itu dipanggil Jicko melalui sambungan telepon kantor.
“Cari tahu siapa pria yang dekat dengan perempuan itu. Aku tidak mau nanti ini jadi masalah.” Jicko memerintah. Namun belum perintah itu dilaksanakan, Anda rupanya telah memiliki jawaban tersendiri.
“Aku sudah mencari tahunya, Pak. Dia aman. Tidak ada lelaki manapun yang mendekatinya saat ini.”
“Kamu yakin?” Jicko menatap melotot.
“Yakin, Pak. Aku telah memastikannya,” kata Anda sembari mengangguk.
Jicko menyandarkan punggung di sandaran kursi kerja. Dengusan kecil terdengar dihembus pelan. “Baiklah, aku percaya padamu. Kalau begitu, aku mau kamu sekarang terus memantau perempuan itu. Laporkan jika ada hal-hal yang mencurigakan darinya.”
“Baik, Pak. Ada lagi?”
“Itu saja.” Jicko menjawab pendek.
••••
Ameera masih berada di rumah besar Mama. Gadis itu membantu Mama, seperti menyuapinya bubur. Mama perlu mengisi perutnya. Sakit sejak semalam membuat Mama agak kurusan. Ameera jadi prihatin. Sebenarnya ucapan Mama soal kematian tidak terlalu serius untuk dikatakan. Tetapi ini perlu dilakukan karena yang dihadapi adalah Jicko, jadi dengan cara ini bisa saja membuatnya lebih tunduk dan patuh.
Di dunia ini Jicko tidak memiliki siapapun selain Mama. Dia sangat menyayanginya. Apapun yang terjadi pada Mama, Jicko adalah orang pertama yang akan khawatir padanya. Maria paham betul perangai anaknya. Dia yang membesarkan pria itu. Dengan sedikit menakut-nakutinya, mungkin bisa membuat anak itu jadi sedikit lebih patuh. Dia keras kepala. Sama seperti Maria.
“Mama nanti akan mengatur acara pernikahan kamu sama Jicko, Nak. Mama yang bakal turun tangan.” Maria memegang tangan Ameera. Gadis itu duduk di pinggir ranjang, di sebelah Mama.
Ameera hanya merespon dengan senyum samar. Dirinya tidak terlalu serius menanggapi pembahasan yang ini. Mama memang ambisius soal menikahkan Ameera dengan anak satu-satunya. Tetapi bukan berarti ini sesuatu yang sangat membahagiakan.
“Kamu suka nggak dengan Jicko?” Maria menggoda, kali ini. Lihatlah senyum wanita itu. Senyumnya sangat jahil.
“Ya.”
“Anak Mama itu mirip Papanya sewaktu muda.” Maria menjelaskan, “Dari senyumnya, matanya sama bulu matanya yang lebat. Tapi sifatnya tidak sama sekali.”
“Minum dulu, Ma.” Ameera menyodorkan gelas air. Maria menerimanya. Diteguk setengah gelas air itu, lalu diletakkan lagi di atas meja. Dia melanjutkan ucapannya.
“Jicko itu banyak berubah setelah lulus SMA. Sikapnya jauh lebih dingin. Mama heran, kenapa dia bisa begitu. Dia juga nggak mau menikah. Mama hampir menyerah. Mama ingin kecewa dengan diri Mama sendiri. Mama takut dia itu tidak normal. Tapi Mama sadar, bukan saatnya Mama berpikiran seperti itu.”
Maria menatap Ameera amat dalam dan teduh. Tangannya terulur mengusap wajah mulus gadis ini. Wajah yang bertahun-tahun suka diperlakukannya lembut. Jauh dari kata apapun, Ameera sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
“Maaf kalau Mama membuat kamu harus sulit seperti ini. Mama mengorbankan kamu. Mama menjadikan kamu tumbal untuk Jicko. Kalau Mama egois, kamu bisa bilang itu ke Mama. Seperti biasa, jangan semuanya kamu pendem sendiri.”
“Mama jangan bicara begitu. Aku tidak pernah berpikir kalau Mama orang yang egois. Malah sebaliknya, aku yakin apa yang Mama lakukan, itu pasti yang terbaik.”
“Sayang, tolong jangan hibur Mama. Perempuan tua ini sensitif.” Air mata Maria keluar dari pelupuk retina. Jatuh ke pipi, membentuk parit, lalu menggumpal di bawah dagu.
Ameera yang melihat Mama menangis, langsung memeluknya. Ameera tahu apa yang Mama rasakan. Sebuah perasaan takut dan kecewa pada kegagalan. Ameera seperti tahu beban dan tekanan batin ini. Sebisa mungkin dia ingin menjadi teman bicara Mama yang paling mengerti dirinya.
Jicko duduk di depan Ameera. Malam ini pukul tujuh. Kota kami hujan lebat, angin bergemuruh. Rinai hujan membasahi pesisir kota. Siang lalu Maria menelpon Jicko, memintanya mengajak Ameera makan malam bersama (lagi). Anggap saja sebagai pendekatan. Jicko tidak bisa menolak. Karena lagi-lagi Mama adalah penguasa. Dia di atas segalanya dalam hal ini. Membantah Mama artinya siap-siap mendengarkan ucapannya yang tidak bagus itu. Jicko tidak perlu menjelaskan kata-kata tidak bagus seperti apa. Karena telah disinggungnya di awal-awal. “Aku perlu bertemu dengan keluargamu!” Jicko membuka percakapan. Mulutnya menyendok makanan saat berbicara. Ada hidangan steak yang dipanggang level well-done. Steak itu telah terpotong kecil-kecil. “Soal itu, aku rasa lain kali saja. Untuk sekarang bukan saatnya bertemu dengan keluargaku.” Ameera menjawab ragu. Sekali matanya menatap Jicko yang terlihat sangat serius di depannya. Tatapan itu amat menuntut. “Kenapa?”“Aku tidak punya alasan khusus untuk m
“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa. Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah. “Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud. Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga b
“Cantik sekali baju pengantinnya. Kamu yang milihnya, Nak? Apa Jicko yang milih?” Mama menatap terkesima baju pengantin yang baru saja sampai di rumahnya. Perempuan tua itu tengah berkata kepada Ameera via sambungan telepon. Suaranya amat antusias. Maria sendiri berada di ruang tengah rumah, sedang menikmati teh sorenya. Itu kegiatan rutin selepas bermain golf di halaman luas belakang rumah. “Itu Kak Jicko, Ma, yang milih,” jawab Ameera. Dia setengah jujur soal ini. Sebenarnya dia yang memilih baju itu, tapi Jicko yang mengiakan. Sepertinya Jicko ini orang yang tidak terlalu menuntut. Ameera mencoba memahami sifatnya. Terutama tentang tadi. Sesuatu yang Ameera mau, ketika Jicko bertanya apakah dia menyukai itu atau tidak, selagi gadis itu bilang iya atau tidak, maka Jicko akan mengikuti kata hati sang mempelai wanita. Sifat orangnya amat sederhana. Dia tidak banyak mempersalahkan ini dan itu. Apalagi penampilan Ameera. Dalam hal ini, sifat Jicko amat mengesankan. “Ey, pantes aja i
Malam, pukul tujuh. Jicko telah berada di rumah sang Mama selepas pria itu mengganti tampilan pakaiannya menjadi lebih kasual. Malam ini dia datang ke rumah sang Mama, jauh-jauh dari kediamannya karena Maria meminta untuk makan malam bersama dengan Ameera. Tentu saja dengan Maria juga. Koki rumah tangga Maria memasak sesuatu yang khusus. Jicko harus datang. Maka pria itu tidak bisa membantah. Karena sekarang alasan terkuat Mama adalah Ameera. Berbeda dengan yang dulu-dulu, dia bisa berkilah sesuka hati jika tidak mau dihadapkan dengan mulut cerewet Maria. “Kamu harus makan yang banyak. Mama perhatiin, badan kamu makin kurus. Anda bilang kamu suka begadang ngurusin pekerjaan yang enggak ada henti-hentinya. Padahal kamu itu kepala grup. Enggak ada kewajiban turun tangan ngurus hal yang begituan. Percuma kamu angkat CEO, CFO, sama para direksi kalau kamu masih kerja sibuk kayak gini!” Maria mulai mengoceh. Jicko cukup mendengar saja. Dia tidak akan menyela. Tangannya menyendok makanan
“Nyonya, ada kiriman dari Tuan.” Kepala asisten rumah tangga datang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Maria dan Ameera yang sedang berada di taman belakang. Maria sedang olahraga, main golf. Tangannya tengah mengayunkan tongkat golf, bersiap memukul bola itu dengan ancang-ancang. Tetapi kegiatannya mendadak harus terhenti. “Apa ini?” tanya Maria. “Enggak tahu, Nyonya. Enggak berani buka.” Pelayan itu menggeleng. Maria menyambut bungkus tipis cokelat itu. Lalu dibukanya. Ada undangan di sana. Dahinya mengerut. Cepat sekali, pikirnya. Kapan Jicko melakukan ini? Sepertinya anak itu benar-benar serius akan menikahi Ameera. Seharusnya Maria senang. Sebab Jicko kali ini menjadi anak yang benar-benar patuh. Paling tidak, dalam hal ini tidak ada yang terpaksa. Semua rupanya berjalan sesuai rencana Maria. “Meera, ini undangan pernikahan kalian, Nak?” Ameera yang ada di belakang Maria, datang mendekatinya. Gadis itu memerhatikan sampul undangan di tangan Mama. “Iya, Ma.”“Kapan kalian f
Jicko mengantar Ameera pulang, tepat jam dua belas. Bersamaan dengan karyawan yang meninggalkan ruangan kerja, mencari makan di lantai bawah dan tengah. Atau keluar ke tempat lain. Beberapa karyawan menyapa ramah ketika berpapasan dengan bos besar. Beberapa berbisik soal gadis cantik yang berjalan seiringan dengan Jicko. Yang lainnya berspekulasi. Dan gonjang-ganjing soal Jicko akan menikah, rupanya mulai beredar luas. Satu-dua orang menatap takjub. Calon istri presiden direktur sangat menawan. Pantas sekali bersanding dengan beliau. “Simpan untukmu.” Jicko menyerahkan kartu hitam, sesaat setelah dia masuk ke dalam mobilnya dan Ameera sudah duduk di sebelahnya. Mobil itu kemudian bersiap berangkat. “Apa ini?" “Kartu kredit tanpa limit.” “Buat apa?” Jicko melirik sekilas, “Kamu bisa memakainya untuk apapun. Kartu itu juga akses VVIP untuk semua tempat populer yang ingin kamu masuki.” Ameera menggeleng pelan, “Aku bukan bertanya tentang itu. Tapi buat apa Kakak memberikannya kepa
Makan malam berlangsung, kali ini berbeda. Ada tamu baru yang hadir di sana. Tentu saja Agnes. Dan ini makan malam pertama bagi perempuan itu, sedangkan kesekian kalinya bagi Jicko. Semenjak ada Ameera di rumah ini, Jicko diperintahkan untuk lebih banyak makan di sini. Biasanya Jicko makan malam bersama tamu-tamu yang mengundangnya dalam acara penting dan besar. Misalnya Pak presiden. Atau bersama staf negara. Atau bersama menparekraf. “Nes, gimana kerjaan kamu di Jawa?” Maria membuka percakapan. “Lancar aja, Ma. Bulan depan Agnes mau dipromosiin jadi direksi. Tapi agak bimbang, soalnya mau dipindahin ke Kalimantan. Kejauhan kalau ke sana.” Agnes menjelaskan. Makanan masuk ke dalam mulut, setelah itu. “Ada kantornya di sana?” “Ada. Tapi bangunannya enggak tinggi-tinggi kayak di Jawa, Ma. Terus ya, takut akses di sana jauh-jauh. Agnes enggak bisa kalau kantornya harus jauh dari bandara. Makanya ini bimbang mau diambil apa enggak promosinya.” “Enggak nyoba gabung di perusahaan gru
Hari-hari berlalu, tidak terasa beberapa hari lagi Jicko dan Ameera menikah. Pagi ini, Ameera diajak Maria pergi ke salon. Perawatan sebelum hari itu tiba. Agnes juga ikut. Kebetulan saja dia ambil cuti beberapa Minggu. Terus, dia tinggal dengan Maria di rumah besarnya. “Cantik betul calon menantu Tante ini.” Pemilik salon kecantikan ternama di kota kami ini berkomentar. Dia tersenyum ramah. Basa-basi. Biasalah, itu sering terjadi. Apalagi tamu yang datang ke bisnis kecil-kecilan ini adalah tamu kerhomatan. “Iyalah dia cantik, kan Tante yang pilihin.” Maria ikut tertawa. Mereka bicara santai. Agnes menatap ketus. Tangannya melipat di dada. Dia tak senang ada yang memuji gadis ini. Apanya yang cantik. Perempuan lusuh pikirnya, tidak pantas sama sekali dikatakan cantik. Pun tak pantas disandingkan dengan kak Jicko yang terhormat. Baju yang dikenakannya barangkali hasil dari memorot uang Mama. “Ini siapa, Tante? Baru lihat.” Perempuan pemilik salon menatap penampilan Agnes. “Dia ke