Pagi sekali, pukul tujuh. Jicko telah berada di kediaman utama keluarganya. Biasanya dia tidak akan pernah pulang lagi ke rumah ini. Tetapi gara-gara ucapan Maria semalam, pria itu jadi kepikiran. Sampai tak bisa tidur.
Mama mungkin sesumbar berkata soal itu. Tetapi Jicko tidak senang mendengarnya. Mau bagaimanapun, Jicko masih menyayangi sang ibu. Kedatangan Jicko ke rumah ini adalah yang pertama setelah enam bulan tidak pulang.
“Mama ada, Bi?” Jicko bertanya kepada kepala pelayan yang bertugas saat itu. Kebetulan dia melintas di ruang tengah, berpapasan dengan tuan muda.
“Ada di kamarnya, Den.” Bibi memberitahu, tangannya menunjuk daun pintu cokelat kamar Maria. Di seberang ruang keluarga. Rumah ini besar sekali, tiga tingkat. Sebagian besar dinding rumah berlapis kaca tebal dengan kain gorden menjuntai sepanjang lebih dari 10 meter. “Tapi beliau sakit, Den. Beliau ngurung diri sejak semalam di kamarnya.”
Jicko memutar badan, menatap bibi sesaat. Langkahnya ingin menuju ke kamar sang ibu saat itu.
“Demam?”
“Kayaknya lebih ke meriang, Den. Badannya panas.”
“Sudah diperiksa dokter?”
Bibi menggeleng, “Sudah, Den. Tapi Nyonya menolak. Dokternya disuruh pulang. Dia nggak mau diperiksa.”
“Aish. Kebiasaan!” Jicko mendecak frustasi. Kakinya kemudian melangkah ke kamar Maria.
Tidak perlu mengetuk pintu, Jicko langsung masuk. Itu hal wajar baginya saat masuk ke kamar sang Mama. Benar kata Bibi, Mama sedang meringkuk di atas ranjang tidurnya. Melipat badan menyerong ke kanan. Memunggungi Jicko yang melangkah pelan ke arahnya. Selimut tebal menutupi badan.
Jicko meraih remote control pendingin ruangan yang diletakkan di samping meja lampu, menurunkan volumenya. Kebiasaan lain Mama, kalau sedang sakit karena ada masalah, dia pasti seperti ini. Jicko tak perlu kaget dengan tingkah sang Mama.
“Ngapain kamu ke sini!” Mama membuka percakapan. Dia tahu Jicko datang. Anaknya itu berdiri di belakang punggungnya persis.
“Mama kenapa selalu begini?” Jicko mengalihkan ucapan, bukannya menjawab pertanyaan sang Mama tadi.
“Jangan tanya itu ke Mama, tapi tanyain ke diri kamu sendiri jawab Maria. Dia tidak memerhatikan lawan bicaranya sama sekali.
Jicko mengembuskan napasnya pelan nan samar. “Tentang apa yang Mama mau, aku bisa menurutinya. Tapi kalau menikah, aku tidak bisa. Mama tahu, aku tidak suka dipaksa.”
“Kalau begitu, kamu pergi aja dari sini. Mama nggak bisa menerima kehadiran kamu. Kalau hari ini hari terakhir Mama di dunia ini, Mama harap kamu nggak datang ke pusara Mama nantinya.”
“Ma ....”
“Dan soal pernikahan,” Maria memotong kalimat Jicko, “Itu bukan satu-satunya alasan buat kamu nggak mau melakukannya. Mungkin bagi kamu itu adalah hal yang tidak terlalu penting. Mama tahu kamu seorang yang liberal, sekuler atau modern. Tetapi asal kamu tahu, pernikahan kamu itu sangat bermakna bagi Mama. Setidaknya, sebelum Mama pergi, Mama bisa lihat kamu punya pasangan hidup, punya anak dan ada yang mengurus kamu nanti. Itu saja harapan Mama.”
“Tapi aku nyaman dengan situasi ini. Mama tidak perlu khawatir.”
Mama mendesis, bibirnya tersenyum getir. “Selalu itu alasan kamu.”
Jicko memijit keningnya. Mendadak kepala berdenyut terasa sakit. Berdebat dengan Mama rasanya seperti berdebat dengan senator paling kritis. Takkan pernah menang. Dia pintar dalam merangkai kata-kata.
“Terus Mama maunya aku bagaimana?” Jicko sedikit agak meninggikan nada suaranya. Muka pria itu telah memerah tegang.
“Nikahi Ameera. Itu saja.”
Jicko memejamkan matanya sejenak. Napas sengalnya dihembus samar. Ameera lagi. Jicko tidak masalah dengan gadis itu. Dia cantik. Wanita ideal untuk dinikahi. Mama tidak salah dengan penilaiannya. Tetapi Jicko ingin kembali kepada keputusannya. Namun sayang, dia tidak bisa melakukan itu. Mama yang dihadapinya sekarang. Apapun bentuk penolakannya, Mama tidak peduli itu.
“Oke, Mama menang. Aku akan menuruti permintaan Mama. Tapi tolong, jangan ngomong lagi soal kematian. Aku benci mendengarnya.”
Maria tersenyum sumringah saat mendengar ucapan Jicko. Perempuan itu membalikkan badannya, kemudian memposisikan tubuh duduk bersandar di kepala ranjang.
“Kalau terpaksa, nggak usah. Mama nggak suka kamu begitu.”
“Aku nggak terpaksa. Aku akan coba pelan-pelan untuk menerimanya.” Jicko menegaskan. Maria kian tertawa bahagia. Akhirnya Jicko mau menuruti satu permintaan terakhirnya ini. Maria memang egois, memaksa Jicko menikahi perempuan pilihannya. Tetapi kalau tidak begini, Jicko tidak akan pernah menikah sama sekali.
Pintu kamar Maria terbuka. Baik Jicko dan sang ibu sama-sama menatap ke arah daun pintu itu. Ameera. Perempuan itu yang datang. Sepagi ini. Jicko mengerutkan dahinya. Untuk apa dia ke sini? Mana berpakaian rapi. Atau dia memang selalu tampil seperti ini?
“Oh, kamu datang ya sayang. Sini, sini, Mama ada yang mau diomongin.” Maria berkata antusias.
Ameera mengulum senyum tipis. Kakinya melangkah ke arah Maria. Sekali matanya menatap takut muka Jicko. Sorot matanya yang tajam membuat Ameera tidak bernyali sama sekali. Jicko adalah orang yang menakutkan. Satu-satunya yang pernah ditemui dalam hidupnya ini. Gadis itu berdiri pas di sebelah sang lawan jenis.
“Aku dengar Mama sakit, jadi aku datang ke sini pagi-pagi. Biar bisa jenguk.”
Maria mengangguk takzim, “Ya, Mama meriang dari semalam. Tapi kayaknya ini sudah mendingan. Jicko, sapa Ameera.”
Jicko melirik tajam. Pria itu menelan ludahnya sekali. Perintah untuk menyapa Ameera tidak dilakukannya sama sekali, justeru dia menanggapinya dengan hal lain.
“Aku mau bicara sama dia,” kata Jicko.
“Oh, bawa saja.” Mama berkata santai. Dengan senang hati, malah.
Jicko memutar tumit sepatu, meninggalkan kamar sang Mama. Ameera menatap Mama sesaat, sebelum akhirnya dia mengikuti langkah pria jangkung itu. Tingginya kira-kira 189 cm. Dia sangat tinggi untuk ukuran pria dewasa pada umumnya.
Jicko berjalan menuju ke taman belakang rumah. Ada gazebo atau balairung di sana dengan beberapa patung wanita berdiri tegak.
“Soal kesepakatan semalam, aku membatalkannya!” ujar Jicko. Dia memulai percakapan itu. Pria itu berdiri di pagar pembatas bangunan yang menghadap ke kolam ikan hias.
“Kenapa?”
“Aku akan menikahimu.”
Ameera menelan ludah pahit. Semalam dia bilang tidak mau menikahi Ameera karena alasan dia tidak suka pernikahan. Lalu sekarang dia ingin menikahinya. Kalau bisa menolak, Ameera sudah melakukannya dari dulu, sebelum Mama memaksa untuk mengenalkan Jicko padanya. Karena Ameera mau menikah dengan orang yang mencintainya dengan tulus, bukan secara terpaksa. Paling tidak seperti sang ayah. Dia mencintai putrinya dunia akhirat.
“Aku tahu kakak dipaksa melakukan ini. Aku pun sama. Tetapi aku tidak bisa menolak. Karena Mama telah melakukan banyak hal untukku dan keluargaku.”
“Itulah alasannya kenapa kamu ngebet pengin menikah denganku?” Jicko melirik tak senang sang gadis berwajah sendu itu.
“Maaf kalau ini terlalu membebani kakak.” Ameera berkata pelan. Pandangan matanya menatap ke bawah.
Jicko sudah berada di kantor, sesaat lalu dia sampai. Pagi itu pukul delapan. Matahari mulai meninggi, awan cerah, langit biru berpendar. Bangunan tinggi di sebelah bangunan Polux 12 memantulkan sinar silaunya. Jicko merenung sesaat. Pikirannya masih terngiang dengan perkataan Ameera satu jam lalu, ketika mereka membicarakan tentang keinginan sang Mama di balairung belakang rumah. Dekat dengan lapangan golf yang luas. Dulu sekali, tempat itu menjadi bagian terpenting untuk Papanya. Dia pecinta olahraga para taipan. “Kalau kakak tidak mau, jangan dipaksakan. Kita bisa bicarakan dengan baik kepada Mama. Aku paham, dia pasti bisa mengerti situasi ini kalau kita menjelaskan lebih sabar.” Ameera berkata lagi. Jicko mendesis. Dia tertawai sumbang. “Seberapa pahamnya kamu dengan Mama? Kamu kira kalau membicarakannya dengan baik-baik dia akan menerimanya begitu saja. Begitu kan yang kamu maksud?” “Setidaknya ....” “Setidaknya Mama tidak akan pernah mengubah keputusannya sama sekali!” Jic
Jicko duduk di depan Ameera. Malam ini pukul tujuh. Kota kami hujan lebat, angin bergemuruh. Rinai hujan membasahi pesisir kota. Siang lalu Maria menelpon Jicko, memintanya mengajak Ameera makan malam bersama (lagi). Anggap saja sebagai pendekatan. Jicko tidak bisa menolak. Karena lagi-lagi Mama adalah penguasa. Dia di atas segalanya dalam hal ini. Membantah Mama artinya siap-siap mendengarkan ucapannya yang tidak bagus itu. Jicko tidak perlu menjelaskan kata-kata tidak bagus seperti apa. Karena telah disinggungnya di awal-awal. “Aku perlu bertemu dengan keluargamu!” Jicko membuka percakapan. Mulutnya menyendok makanan saat berbicara. Ada hidangan steak yang dipanggang level well-done. Steak itu telah terpotong kecil-kecil. “Soal itu, aku rasa lain kali saja. Untuk sekarang bukan saatnya bertemu dengan keluargaku.” Ameera menjawab ragu. Sekali matanya menatap Jicko yang terlihat sangat serius di depannya. Tatapan itu amat menuntut. “Kenapa?”“Aku tidak punya alasan khusus untuk m
“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa. Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah. “Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud. Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga b
“Cantik sekali baju pengantinnya. Kamu yang milihnya, Nak? Apa Jicko yang milih?” Mama menatap terkesima baju pengantin yang baru saja sampai di rumahnya. Perempuan tua itu tengah berkata kepada Ameera via sambungan telepon. Suaranya amat antusias. Maria sendiri berada di ruang tengah rumah, sedang menikmati teh sorenya. Itu kegiatan rutin selepas bermain golf di halaman luas belakang rumah. “Itu Kak Jicko, Ma, yang milih,” jawab Ameera. Dia setengah jujur soal ini. Sebenarnya dia yang memilih baju itu, tapi Jicko yang mengiakan. Sepertinya Jicko ini orang yang tidak terlalu menuntut. Ameera mencoba memahami sifatnya. Terutama tentang tadi. Sesuatu yang Ameera mau, ketika Jicko bertanya apakah dia menyukai itu atau tidak, selagi gadis itu bilang iya atau tidak, maka Jicko akan mengikuti kata hati sang mempelai wanita. Sifat orangnya amat sederhana. Dia tidak banyak mempersalahkan ini dan itu. Apalagi penampilan Ameera. Dalam hal ini, sifat Jicko amat mengesankan. “Ey, pantes aja i
Malam, pukul tujuh. Jicko telah berada di rumah sang Mama selepas pria itu mengganti tampilan pakaiannya menjadi lebih kasual. Malam ini dia datang ke rumah sang Mama, jauh-jauh dari kediamannya karena Maria meminta untuk makan malam bersama dengan Ameera. Tentu saja dengan Maria juga. Koki rumah tangga Maria memasak sesuatu yang khusus. Jicko harus datang. Maka pria itu tidak bisa membantah. Karena sekarang alasan terkuat Mama adalah Ameera. Berbeda dengan yang dulu-dulu, dia bisa berkilah sesuka hati jika tidak mau dihadapkan dengan mulut cerewet Maria. “Kamu harus makan yang banyak. Mama perhatiin, badan kamu makin kurus. Anda bilang kamu suka begadang ngurusin pekerjaan yang enggak ada henti-hentinya. Padahal kamu itu kepala grup. Enggak ada kewajiban turun tangan ngurus hal yang begituan. Percuma kamu angkat CEO, CFO, sama para direksi kalau kamu masih kerja sibuk kayak gini!” Maria mulai mengoceh. Jicko cukup mendengar saja. Dia tidak akan menyela. Tangannya menyendok makanan
“Nyonya, ada kiriman dari Tuan.” Kepala asisten rumah tangga datang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Maria dan Ameera yang sedang berada di taman belakang. Maria sedang olahraga, main golf. Tangannya tengah mengayunkan tongkat golf, bersiap memukul bola itu dengan ancang-ancang. Tetapi kegiatannya mendadak harus terhenti. “Apa ini?” tanya Maria. “Enggak tahu, Nyonya. Enggak berani buka.” Pelayan itu menggeleng. Maria menyambut bungkus tipis cokelat itu. Lalu dibukanya. Ada undangan di sana. Dahinya mengerut. Cepat sekali, pikirnya. Kapan Jicko melakukan ini? Sepertinya anak itu benar-benar serius akan menikahi Ameera. Seharusnya Maria senang. Sebab Jicko kali ini menjadi anak yang benar-benar patuh. Paling tidak, dalam hal ini tidak ada yang terpaksa. Semua rupanya berjalan sesuai rencana Maria. “Meera, ini undangan pernikahan kalian, Nak?” Ameera yang ada di belakang Maria, datang mendekatinya. Gadis itu memerhatikan sampul undangan di tangan Mama. “Iya, Ma.”“Kapan kalian f
Jicko mengantar Ameera pulang, tepat jam dua belas. Bersamaan dengan karyawan yang meninggalkan ruangan kerja, mencari makan di lantai bawah dan tengah. Atau keluar ke tempat lain. Beberapa karyawan menyapa ramah ketika berpapasan dengan bos besar. Beberapa berbisik soal gadis cantik yang berjalan seiringan dengan Jicko. Yang lainnya berspekulasi. Dan gonjang-ganjing soal Jicko akan menikah, rupanya mulai beredar luas. Satu-dua orang menatap takjub. Calon istri presiden direktur sangat menawan. Pantas sekali bersanding dengan beliau. “Simpan untukmu.” Jicko menyerahkan kartu hitam, sesaat setelah dia masuk ke dalam mobilnya dan Ameera sudah duduk di sebelahnya. Mobil itu kemudian bersiap berangkat. “Apa ini?" “Kartu kredit tanpa limit.” “Buat apa?” Jicko melirik sekilas, “Kamu bisa memakainya untuk apapun. Kartu itu juga akses VVIP untuk semua tempat populer yang ingin kamu masuki.” Ameera menggeleng pelan, “Aku bukan bertanya tentang itu. Tapi buat apa Kakak memberikannya kepa
Makan malam berlangsung, kali ini berbeda. Ada tamu baru yang hadir di sana. Tentu saja Agnes. Dan ini makan malam pertama bagi perempuan itu, sedangkan kesekian kalinya bagi Jicko. Semenjak ada Ameera di rumah ini, Jicko diperintahkan untuk lebih banyak makan di sini. Biasanya Jicko makan malam bersama tamu-tamu yang mengundangnya dalam acara penting dan besar. Misalnya Pak presiden. Atau bersama staf negara. Atau bersama menparekraf. “Nes, gimana kerjaan kamu di Jawa?” Maria membuka percakapan. “Lancar aja, Ma. Bulan depan Agnes mau dipromosiin jadi direksi. Tapi agak bimbang, soalnya mau dipindahin ke Kalimantan. Kejauhan kalau ke sana.” Agnes menjelaskan. Makanan masuk ke dalam mulut, setelah itu. “Ada kantornya di sana?” “Ada. Tapi bangunannya enggak tinggi-tinggi kayak di Jawa, Ma. Terus ya, takut akses di sana jauh-jauh. Agnes enggak bisa kalau kantornya harus jauh dari bandara. Makanya ini bimbang mau diambil apa enggak promosinya.” “Enggak nyoba gabung di perusahaan gru