“Bagaimana dengan yang ini?" Jicko menunjuk baju pengantin yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Baju itu dipakaikan di manekin. Di pajang di etalase kaca rumah desainer. Pun bentuknya mekar. Macam baju kurung para wanita Eropa.
Mereka telah berada di rumah rancangan busana satu jam lalu. Perancang busana dan stafnya menyambut hormat dan ramah. Mempersilakan mereka melihat-lihat koleksi teranyar dan terbaik. Tempat ini adalah tempat khusus Jicko dalam memilih setelan jas. Semua suit yang dipakainya adalah hasil rancangan si desainer kondang. Bukan beli mahal di dalam mall besar dan mewah.“Boleh juga. Ini sangat cocok kalau dipakai oleh calon istri Anda, Tuan.” Staf di sana menjelaskan singkat. Ikut berkomentar. Dengan senang hati memberitahu keunggulan gaun pengantin yang dimaksud.Baju yang Jicko maksud memang bukan main. Cantik sekali. Harganya juga tidak murah. Detail pakaian dilengkapi dengan batu-batu Swarovski, ditambah dengan banyaknya payet-payet berkelip. Warnanya juga bagus. Warna krem. Sangat cocok kalau diaplikasikan di kulit putih Ameera.“Apa Nyonya mau mencobanya?" Staf bertanya. Matanya memandang Ameera yang ikut melihat keindahan gaun pengantin ini.“Silakan jika kamu ingin mencobanya!" Jicko mempertegas saat Ameera menatapnya dalam. Seolah meminta persetujuannya.Perempuan itu mengangguk. Staf yang berdiri di sana mengerti maksud Ameera. Maka dengan insting kerja yang berinisiatif, perempuan di dalam boutique ini membawa patung manekin ke dalam. Ke ruang ganti. Di sana dia meminta Ameera melepas baju, lalu dipakaikan baju pengantin tadi. Di depannya ada kaca besar, buat melihat penampilan.Sementara itu, Jicko ditinggalkan di ruang tengah rumah busana. Duduk di kursi sofa. Di depannya ada korden cokelat yang dipasang tinggi, membentuk dinding. Di baliknya ada Ameera yang sedang mencoba berbusana.“Bagaimana, Tuan?” Staf datang lagi. Kali ini menggandeng Ameera. Bermaksud menunjukkan hasil dari percobaan pertama.Jicko menatap lama. Sangat cantik. Seharusnya dia mengakui ini. Tetapi dia menahan pujian itu. “Bagus.”“Apa ini sesuai dengan tema pernikahan kalian?" Staf bertanya. Dipandangnya dua calon pengantin ini.Jicko mengangguk, “Ya. Sangat sesuai. Tetapi bagaimana menurutmu. Kamu yang akan memakainya nanti. Katakan kalau gaun ini tidak bagus, jika kamu tidak menyukainya. Kita akan mencoba yang lain.”“Ini sudah jauh lebih baik. Tidak perlu mencoba yang lain lagi.”“Yakin?”Ameera mengangguk.“Oke. Kalau kamu maunya ini saja, maka tidak perlu mencoba yang lain.” Jicko menatap si karyawan butik, perempuan itu tersenyum ramah. “Bungkus yang ini untuknya. Antarkan ke alamat ini."“Baik, Tuan.” Staf menerima kartu nama. Ada alamatnya di sana. Tetapi bukan alamat rumah Jicko di komplek kota modern. Melainkan alamat rumah sang Mama. Di sana Ameera tinggal dengan Maria.••••Beberapa jam berikutnya. Waktu bergeser ke jam sebelas siang. Masih di hari yang sama. Cuaca kota kami cerah, awan putih berpendar, langit biru menghiasi langit.Jicko dan Ameera berada di dalam mall Grand Indonesia. Mendatangi salah satu toko perhiasan (jewelry) terbaik di kota kami. Memilih cincin pernikahan yang paling bagus untuk acara nanti.“Pilih yang mana yang mau kamu pakai untuk acara pernikahan kita.” Jicko memberitahu. Matanya menunjuk ke arah ratusan koleksi batu Swarovski, berlian dan batu-batuan paling cantik yang pernah ada.Ameera mengangguk. Matanya memilah satu-persatu mana yang bagus untuk disematkan di jari. Ini pernikahannya. Sesuatu yang spesial. Dia mau mewujudkannya dengan hal yang baik-baik. Ini bukan menyoal tentang Mama saja, tapi tentang dirinya juga. Ameera tahu pernikahan ini hanyalah perintah semata.Dalam arti sempit, sebenarnya ini adalah pernikahan paksa. Tetapi kalau dipikir panjang, mungkin ini sudah jalannya bagi Ameera. Jika dia tidak menikahi Jicko, siapa nanti yang akan berbelas kasih kepadanya, membiayai pengobatan sang kakak. Mama adalah pilihan teratas dalam hal ini.“Aku mau mencoba yang ini.” Ameera menunjuk satu cincin berlian di dalam kotak kaca khusus. Posisinya saat itu berdiri di etalase yang memajang semua perhiasan mahal dan mewah di sana. Jicko berdiri di samping gadis itu.“Baik, silakan dicoba, Nyonya." Staf berkata ramah. Dia mengeluarkan cincin yang dipinta tamu kehormatannya siang itu.Ameera mengulum senyum tipis. Diraihnya cincin yang akan dicoba, lalu disematkan di jari manisnya. Cantik sekali. Seperti menyatu dengan jemarinya yang indah.“Ini cincin pernikahan terbaik yang pernah kami miliki, Tuan, Nyonya. Cincin ekslusif yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan satu-satunya di negara kita.” Staf menjelaskan singkat. Wajahnya tersenyum pias. Dia bangga memamerkan pahatan sempurna di depannya. Karya sang pengukur berlian terbaik.“Kamu suka dengan cincin itu?" Jicko menarik pertanyaan pendek. Matanya memerhatikan wajah calon istrinya.“Iya.”“Kamu bisa memesan itu kalau kamu suka.”“Baik, Kak." Ameera mengangguk takzim.Staf yang melayani tamu agungnya saat itu tersenyum riang. Calon pengantin baru alias pelanggannya kali ini benar-benar serasi. Mereka pasangan pengantin ideal yang pernah ditemuinya. Pun tidak banyak bicara, sat set sat set, langsung to the point menentukan cincin mereka sendiri.“Bungkus cincin itu untuknya.” Jicko berkata kepada pelayan toko sambil mukanya menunjuk Ameera. Sekali lagi, staf toko itu mengangguk. Dia patuh atas perintah sang tamu agung.“Hanya satu, Tuan? Tidak memesan cincin couple? Atau Tuan ingin cincin pengantin pria modelnya bentuk yang lain? Kami masih punya banyak koleksi ekslusif untuk Anda.” Staf itu menawarkan. Masih seperti yang tadi, pelayanannya sangat ramah. Senyum di mukanya amat merekah.“Boleh. Buat cincin itu satu set berpasangan. Modelnya harus sama.”“Baik, Tuan. Ini memang pilihan yang terbaik untuk calon pengantin seperti kalian.” Staf toko itu tersenyum lagi.Kemudian dia menyiapkan pesanan yang Jicko beli tadi. Dibungkus sangat rapi dalam kotak mewah. Bahkan ketika menyentuh batu berlian dalam cincin pernikahan itu, jemarinya harus memakai sarung tangan karet. Ini dilakukan sebagai SOP dalam pelayanan pembelian perhiasan di jewelry store ini.Jicko membayar pesanannya dengan kartu hitam. Kartu tanpa limit. Semua orang tahu kartu kredit ini. Cukup melihat logonya saja, para staf toko sudah tahu bahwa pemilik kartu tersebut adalah seorang taipan kaya raya. Tidak perlu diragukan lagi. Malah cukup melihat penampilannya, orang-orang akan tahu seberapa mengesankan seorang Jicko. Presiden direktur grup Linux.“Kamu lapar?” Jicko menarik kalimat pertanyaan lagi. Kali ini mereka sudah meninggalkan toko perhiasan usai membayar pembelian satu set cincin pernikahan.Seperti biasa, Jicko seseorang yang benci direpotkan pada barang belanjaan. Setiap kali dia membeli sesuatu di luar, maka dia akan memerintahkan orang-orang untuk mengantar barang belanjaannya ke rumah. Dia tidak suka menenteng tas kertas itu, meski ringan untuk digenggam.“Kakak punya waktu untuk makan siang bersama?”“Aku bertanya apakah kamu lapar atau tidak. Kamu hanya perlu menjawab salah satunya. Jangan membalikkan pertanyaan itu untukku.” Jicko berkata ketus. Ameera tahu, ucapannya tadi salah. Jicko tidak suka dijawab bertele-tele. Dia suka jawaban to the point.“Aku tidak terlalu lapar, sebenarnya.” Ameera menjelaskan singkat. Tetapi jelas bahwa ucapannya agak ada keraguan.“Kita makan siang dulu sebelum pulang. Aku punya waktu untuk makan siang dengan kamu." Jicko melirik sekilas arloji yang mengikat di tangannya. “Kita makan di sana.”Ameera tidak menjawab ucapan Jicko yang satu ini. Dia hanya menganggukkan kepala. Semua terserah pada Jicko. Orang yang mengajaknya makan tadi, kini telah berjalan lebih dahulu ke depan sana. Di restoran mewah di dalam mall. Ameera mengekorinya dari belakang.“Cantik sekali baju pengantinnya. Kamu yang milihnya, Nak? Apa Jicko yang milih?” Mama menatap terkesima baju pengantin yang baru saja sampai di rumahnya. Perempuan tua itu tengah berkata kepada Ameera via sambungan telepon. Suaranya amat antusias. Maria sendiri berada di ruang tengah rumah, sedang menikmati teh sorenya. Itu kegiatan rutin selepas bermain golf di halaman luas belakang rumah. “Itu Kak Jicko, Ma, yang milih,” jawab Ameera. Dia setengah jujur soal ini. Sebenarnya dia yang memilih baju itu, tapi Jicko yang mengiakan. Sepertinya Jicko ini orang yang tidak terlalu menuntut. Ameera mencoba memahami sifatnya. Terutama tentang tadi. Sesuatu yang Ameera mau, ketika Jicko bertanya apakah dia menyukai itu atau tidak, selagi gadis itu bilang iya atau tidak, maka Jicko akan mengikuti kata hati sang mempelai wanita. Sifat orangnya amat sederhana. Dia tidak banyak mempersalahkan ini dan itu. Apalagi penampilan Ameera. Dalam hal ini, sifat Jicko amat mengesankan. “Ey, pantes aja i
Malam, pukul tujuh. Jicko telah berada di rumah sang Mama selepas pria itu mengganti tampilan pakaiannya menjadi lebih kasual. Malam ini dia datang ke rumah sang Mama, jauh-jauh dari kediamannya karena Maria meminta untuk makan malam bersama dengan Ameera. Tentu saja dengan Maria juga. Koki rumah tangga Maria memasak sesuatu yang khusus. Jicko harus datang. Maka pria itu tidak bisa membantah. Karena sekarang alasan terkuat Mama adalah Ameera. Berbeda dengan yang dulu-dulu, dia bisa berkilah sesuka hati jika tidak mau dihadapkan dengan mulut cerewet Maria. “Kamu harus makan yang banyak. Mama perhatiin, badan kamu makin kurus. Anda bilang kamu suka begadang ngurusin pekerjaan yang enggak ada henti-hentinya. Padahal kamu itu kepala grup. Enggak ada kewajiban turun tangan ngurus hal yang begituan. Percuma kamu angkat CEO, CFO, sama para direksi kalau kamu masih kerja sibuk kayak gini!” Maria mulai mengoceh. Jicko cukup mendengar saja. Dia tidak akan menyela. Tangannya menyendok makanan
“Nyonya, ada kiriman dari Tuan.” Kepala asisten rumah tangga datang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Maria dan Ameera yang sedang berada di taman belakang. Maria sedang olahraga, main golf. Tangannya tengah mengayunkan tongkat golf, bersiap memukul bola itu dengan ancang-ancang. Tetapi kegiatannya mendadak harus terhenti. “Apa ini?” tanya Maria. “Enggak tahu, Nyonya. Enggak berani buka.” Pelayan itu menggeleng. Maria menyambut bungkus tipis cokelat itu. Lalu dibukanya. Ada undangan di sana. Dahinya mengerut. Cepat sekali, pikirnya. Kapan Jicko melakukan ini? Sepertinya anak itu benar-benar serius akan menikahi Ameera. Seharusnya Maria senang. Sebab Jicko kali ini menjadi anak yang benar-benar patuh. Paling tidak, dalam hal ini tidak ada yang terpaksa. Semua rupanya berjalan sesuai rencana Maria. “Meera, ini undangan pernikahan kalian, Nak?” Ameera yang ada di belakang Maria, datang mendekatinya. Gadis itu memerhatikan sampul undangan di tangan Mama. “Iya, Ma.”“Kapan kalian f
Jicko mengantar Ameera pulang, tepat jam dua belas. Bersamaan dengan karyawan yang meninggalkan ruangan kerja, mencari makan di lantai bawah dan tengah. Atau keluar ke tempat lain. Beberapa karyawan menyapa ramah ketika berpapasan dengan bos besar. Beberapa berbisik soal gadis cantik yang berjalan seiringan dengan Jicko. Yang lainnya berspekulasi. Dan gonjang-ganjing soal Jicko akan menikah, rupanya mulai beredar luas. Satu-dua orang menatap takjub. Calon istri presiden direktur sangat menawan. Pantas sekali bersanding dengan beliau. “Simpan untukmu.” Jicko menyerahkan kartu hitam, sesaat setelah dia masuk ke dalam mobilnya dan Ameera sudah duduk di sebelahnya. Mobil itu kemudian bersiap berangkat. “Apa ini?" “Kartu kredit tanpa limit.” “Buat apa?” Jicko melirik sekilas, “Kamu bisa memakainya untuk apapun. Kartu itu juga akses VVIP untuk semua tempat populer yang ingin kamu masuki.” Ameera menggeleng pelan, “Aku bukan bertanya tentang itu. Tapi buat apa Kakak memberikannya kepa
Makan malam berlangsung, kali ini berbeda. Ada tamu baru yang hadir di sana. Tentu saja Agnes. Dan ini makan malam pertama bagi perempuan itu, sedangkan kesekian kalinya bagi Jicko. Semenjak ada Ameera di rumah ini, Jicko diperintahkan untuk lebih banyak makan di sini. Biasanya Jicko makan malam bersama tamu-tamu yang mengundangnya dalam acara penting dan besar. Misalnya Pak presiden. Atau bersama staf negara. Atau bersama menparekraf. “Nes, gimana kerjaan kamu di Jawa?” Maria membuka percakapan. “Lancar aja, Ma. Bulan depan Agnes mau dipromosiin jadi direksi. Tapi agak bimbang, soalnya mau dipindahin ke Kalimantan. Kejauhan kalau ke sana.” Agnes menjelaskan. Makanan masuk ke dalam mulut, setelah itu. “Ada kantornya di sana?” “Ada. Tapi bangunannya enggak tinggi-tinggi kayak di Jawa, Ma. Terus ya, takut akses di sana jauh-jauh. Agnes enggak bisa kalau kantornya harus jauh dari bandara. Makanya ini bimbang mau diambil apa enggak promosinya.” “Enggak nyoba gabung di perusahaan gru
Hari-hari berlalu, tidak terasa beberapa hari lagi Jicko dan Ameera menikah. Pagi ini, Ameera diajak Maria pergi ke salon. Perawatan sebelum hari itu tiba. Agnes juga ikut. Kebetulan saja dia ambil cuti beberapa Minggu. Terus, dia tinggal dengan Maria di rumah besarnya. “Cantik betul calon menantu Tante ini.” Pemilik salon kecantikan ternama di kota kami ini berkomentar. Dia tersenyum ramah. Basa-basi. Biasalah, itu sering terjadi. Apalagi tamu yang datang ke bisnis kecil-kecilan ini adalah tamu kerhomatan. “Iyalah dia cantik, kan Tante yang pilihin.” Maria ikut tertawa. Mereka bicara santai. Agnes menatap ketus. Tangannya melipat di dada. Dia tak senang ada yang memuji gadis ini. Apanya yang cantik. Perempuan lusuh pikirnya, tidak pantas sama sekali dikatakan cantik. Pun tak pantas disandingkan dengan kak Jicko yang terhormat. Baju yang dikenakannya barangkali hasil dari memorot uang Mama. “Ini siapa, Tante? Baru lihat.” Perempuan pemilik salon menatap penampilan Agnes. “Dia ke
Kedua tangan Jicko berada di dalam saku celana, pandangannya menatap lurus ke depan. Dia berdiri di atas anak tangga lantai utama rumah sakit. Di depannya adalah dinding kaca tebal yang menghadap ke taman. Sedangkan Agnes, perempuan itu berdiri di belakang pria jangkung ini dengan wajah takut dan tergugu gugup. “Kenapa kamu melakukannya?” ucap Jicko. Dia membuka percakapan pertama tanpa menoleh ke belakang sama sekali. “Aku tidak sengaja!” “Aku tahu kamu, Agnes!” Jicko menyentak, “Kamu punya sifat yang buruk. Kamu dendam kan sama dia?” Agnes menggeleng, “Dengan anak kecil itu? Calon istri sialan kamu itu? Untuk apa?” Agnes mendengus, lalu tertawa getir. Jicko membalikkan badannya, mata bersitatap dengan adik sepupunya itu. Rahang Jicko mengeras dan giginya gemelatuk beradu. Tanda bahwa kesabaran Jicko tidak bisa diuji oleh siapapun. “Dia membantah ucapan kamu malam kemarin!" Jicko berkata tegas. Mata Agnes langsung membulat besar. Dia sedikit agak terkejut ketika Jicko menyinggu
Malam ini Jicko tidak pulang ke rumah Mama. Dia akan kembali ke rumahnya, di kota modern. Rumah besar yang hanya dihuni olehnya sendirian. Kalau ingin pergi ke rumah itu, Jicko butuh waktu 50 menit untuk sampai. Rumahnya berada pas di block golf permai. Di depan seberang rumahnya yang ada jalan dua jalur, milik artis inisal PL. Dekat juga dengan balai pertemuan negara. Pria itu berdiri di depan dinding kaca yang menghadap ke taman kecil dengan rumput hijau terhampar. Di tangannya memegang segelas minuman beralkohol kadar beberapa persen. Mengenakan piyama hitam. Sekali diteguknya minuman itu. “Agnes melukai Nyonya Ameera, Pak,” ujar Anda tadi siang. Jicko teringat kejadian itu, ketika sekretaris melaporkan. Anda mendapatkan informasi dari sopir yang mengantar ke rumah sakit. Lalu Anda juga menyerahkan rekaman CCTV di salon tempat Ameera diantar perawatan. Jelas sekali kalau Agnes sengaja mengaitkan kawat gelangnya ke telinga Ameera. Posisi badan Ameera yang tertidur di kursi perawa
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg