“Lukanya sudah membaik dari waktu perkiraan.” Dokter berkomentar. Mata dan tangannya sibuk pada pemeriksaan telinga Ameera yang robek parah beberapa waktu lalu. “Pastikan kalau lukanya benar-benar tidak membekas. Besok kami akan menikah, dia dipastikan akan menggunakan anting lagi.” Jicko menyahut dari tempat duduknya. Jicko berada di ruang pemeriksaan, mengantar Ameera melakukan pengobatan lanjutan. Ini perintah Mama. Dokter yang menangani pengobatan ini mengangguk. Dokter perempuan itu rupanya seorang yang ahli. Jicko tidak perlu meragukannya sama sekali. “Kami akan melakukan pelaseran supaya luka robek ini bisa menyatu lagi. Bapak setuju?” “Lakukan jika itu yang terbaik.” Jicko menjawab tegas. “Kami lakukan yang terbaik,” kata dokter itu tegas. Sesaat kemudian dia mengarahkan Ameera ke ruangan lain, masih di ruangan kerjanya. Ada alat praktiknya di sana. Alat untuk pengobatan. Dokter itu meminta Ameera tidur di atas bangsal lipat, semacam kursi yang bisa diatur tinggi dan ren
“Jicko, ini kenapa?” Maria bertanya di teras rumah. Dia berpapasan dengan Jicko dan Agnes. Tapi dalam situasi yang menegangkan. Maria baru saja tiba di kediaman sepulangnya dari pemakaman. Muka merah Jicko kelihatan sedang menahan amarah. Tangan menggenggam erat dan menarik kuat tangan Agnes, dibawa berjalan cepat menuju ke auto pilotnya yang terparkir di depan teras. Pria itu tidak mengindahkan ucapan sang ibu. Dia hanya fokus pada apa yang dilakukannya. Dalam situasi seperti ini, Jicko akan sulit menahan segalanya. “Masuk!” Jicko memerintah. Ucapannya kasar, nada bicaranya bengis. Dia mendorong paksa badan Agnes masuk ke dalam mobil. “Kalian, bawa semua pakaian Agnes, ikuti mobilku dari belakang!” Jicko memandang tajam para pelayan dan sopir yang memerhatikannya sejak tadi. Jicko memutar mobil, masuk ke pintu kemudi. Pintu itu dibanting keras. Sesaat kemudian mobil itu tancap gas meninggalkan rumah. Beberapa pelayan yang disuruh mengemasi baju-baju Agnes, telah menyelesaikan pek
“Mama sudah tahu semuanya.” Maria berkata. Jicko belum merespon. Ekspresi wajahnya datar. Terkesan biasa saja. Dia belum bisa antusias menanggapi ucapan sang Mama. Pria itu baru saja sampai di dalam rumah. Maria telah menunggunya sejak tadi. Sejak setengah jam lalu. Mereka duduk di sofa. Suasana saat itu agak dingin. Maria tahu seperti apa sifat Jicko. Takkan banyak bicara dalam keadaan ini. Amarah Jicko yang sedang menggebu-gebu sebaiknya tidak perlu dipancing. “Mama sudah melihat rekaman CCTV. Mama tidak bisa membenarkan sifat Agnes.” Mama melanjutkan ucapannya. “Lalu?” Jicko merespon singkat. “Mama ...,” Maria menghela napas berat, “Mama enggak tahu harus ngomong apa. Mama bingung harus bagaimana. Mungkin Mama akan berpihak sama kamu, kalau begini ceritanya. Cuma, Mama sepertinya sangat menyesal membawa Agnes ke sini. Datang ke rumah ini dengan harapan dia satu-satunya keluarga yang bisa melihat kamu menikah. Mama terlalu berharap banyak sama dia. Tetapi Agnes sendiri membuat M
Pagi, setengah tujuh, Ameera bangun pagi sekali. Maksud hati bersiap-siap. Ini harinya. Hari pernikahan Ameera dan Jicko. Hari yang sangat istimewa dan spesial. Gadis itu berada di ruangan rias pengantin. Sedang dirias menawan oleh makeup stylish professional. Pernikahan ini akan dilaksanakan di gedung balai negara atau gedung Paku Alam lll di pusat ibukota. Tamu undangan akan hadir di sana. Sesuai arahan dalam undangan. Tempat itu privat, khusus dijadikan acara tertutup. Tamu undangan tersohor yang bakal hadir kurang dari tiga ratus orang.“Mbak, minum dulu.” Pelayan senior menyodorkan sebotol air mineral. Diletakkan di depan kaca meja rias. Beliau memerhatikan dengan seksama wajah menawan sang Nyonya muda. Tegang dan gusar. Pelayan senior itu memahami satu hal, dia gugup. Semua pengantin wanita yang akan menikah pasti bakal melalui hal ini. Tidak terkecuali Ameera. “Terima kasih, Bi.” Ameera menjawab, tetapi tangannya tidak menyentuh botol minum itu sama sekali. Sementara MuA sed
Jicko dan Ameera berjalan di atas semacam altar. Tetapi jelas bahwa itu bukanlah altar. Hanya panggung kecil dan memanjang seukuran lebar 1,5 meter dan panjangnya sepuluh meter. Dilapisi dengan karpet merah, di pinggir karpet dijahit dengan benang emas bermotif khusus.Lalu di sisi kiri dan kanan panggung setinggi tulang kaki itu ada para tamu undangan. Mereka memandang takzim sepasang pengantin pagi ini. Acara dilaksanakan di luar ruangan (out door) dengan atap adalah dome (kubah kaca). Dua pengantin itu bergandengan tangan. Amat mesra. Semua yang melihatnya, terutama kaum jomblo dan jomblowati bahkan anak remaja sekalipun akan iri pada mereka. Saling melengkapi. Satu si cantik dan satunya lagi si tampan. Mereka dipasangkan amat serasi. Semacam pepatah ‘si cantik akan cocok dengan si tampan’. “Bisa langsung kita mulai acaranya?” Penghulu bertanya sesaat setelah Ameera dan Jicko duduk di kursi ijab kabul. Jicko mengangguk, “Silakan,” katanya. Giliran Pak penghulu itu yang mengang
Di rumah sakit kota, di lantai atas, Gino terduduk di atas ranjang tidurnya. Mata menatap keluar bangunan. Melirik mentari yang bersinar terang. Tangan memegang perut, sekali dia mendesis kesakitan. Padahal dia belum melakukan operasi, tapi rasanya sudah sesakit ini. Dia hanya baru menjalankan terapi saja. Suster datang membawakan pria itu makan siang. Diletakkan di atas meja di samping ranjang tidurnya. Suster curi-curi pandangan saat melirik pria itu. Dia melamun. “Pak Gino butuh sesuatu?” Suster bertanya. Dia memberanikan diri. Gino menggeleng pelan, “Tidak.” “Kalau begitu, Pak Gino makan dulu. Sudah waktunya makan siang.” “Aku tidak lapar, Sus.” “Meskipun tidak lapar, Anda harus tetap makan. Supaya Anda memiliki tenaga.” Suster mengulum senyum. Gino mendesah lelah nan gusar. Dia tidak membantah. Pria itu menuruti perintah perawatnya. Suster itu duduk di samping Gino, dia menyuapi bubur masuk ke dalam mulut pria itu. Gino sendiri duduk di kepala ranjang, bersandar di sana.
“Bawa koper ke dalam kamarku!” Jicko memerintah sopir untuk menggeret dua koper besar ke dalam kamarnya. Dia menunjuk tempat itu di depan muka. Itu koper pakaian Ameera. Sang sopir mengangguk. Lekas dijalankan perintah sang tuan. Ameera berdiri di samping Jicko. Matanya sedang memerhatikan rumah sang suami. Besar sekali. Pun berdiri di dalam komplek golf permai di kota modern. Jangan tanyakan seberapa bagusnya tempat ini. Masuk ke kota modern harus memakai identitas khusus. Ameera sempat takjub sejenak. “Di rumah ini hanya ada kita berdua. Jangan tanya ke mana pelayan. Aku tidak memperkerjakan satu asisten rumah tangga pun di sini.” Jicko menjelaskan, “Tukang bersih-bersih rumah akan datang seminggu dua kali. Jam kerja mereka Minggu dan Rabu.” Jicko menuntun jalan, maksudnya menjelaskan isi detail rumah ini. Ameera mendengar takzim. Tepekur diam, enggan menyela. “Pantry dapur, kolam renang, tempat olahraga dan lain-lain dalam rumah ini, kamu bebas memakainya. Di komplek kota moder
Hari-hari berlalu. Hari berikutnya, jam sembilan pagi, di rumah besar Mama. Jicko dan Ameera duduk di kursi meja makan, menikmati sarapan pagi. Mereka berada di sana, Maria yang meminta sejak pagi sekali untuk sarapan bersama. “Jadwal cuti kerja kamu masih ada seminggu lagi, kan?" Mama berkata disela sarapan pagi ini. “Besok aku mulai kembali ke kantor.” “Ha? Cepat sekali. Bukannya seminggu?” Maria menatap terkejut. “Aku tidak bisa libur lama-lama. Aku tidak terbiasa.” “Tapi kamu bosnya, Jicko. Kepala grup. Papa kamu pas jadi kepala grup jarang ke kantor. Dia mengontrol semuanya dari rumah. Pekerjaan kamu juga seharusnya bisa di-remote dari sini.” “Lalu?” Jicko berhenti menyendok makanan ke dalam mulut. Sendok emas 24 karat yang dipakai untuk makan menggantung di atas piring. “Itu kan Papa, bukan aku. Mama tidak bisa menyamakannya." “Memang apa bedanya?” Maria bertanya. “Bedanya terletak pada pribadi masing-masing. Kalau Papa lebih suka kerja remote, maka aku tidak.” “Ah, ter