Hari-hari berlalu. Hari berikutnya, jam sembilan pagi, di rumah besar Mama. Jicko dan Ameera duduk di kursi meja makan, menikmati sarapan pagi. Mereka berada di sana, Maria yang meminta sejak pagi sekali untuk sarapan bersama. “Jadwal cuti kerja kamu masih ada seminggu lagi, kan?" Mama berkata disela sarapan pagi ini. “Besok aku mulai kembali ke kantor.” “Ha? Cepat sekali. Bukannya seminggu?” Maria menatap terkejut. “Aku tidak bisa libur lama-lama. Aku tidak terbiasa.” “Tapi kamu bosnya, Jicko. Kepala grup. Papa kamu pas jadi kepala grup jarang ke kantor. Dia mengontrol semuanya dari rumah. Pekerjaan kamu juga seharusnya bisa di-remote dari sini.” “Lalu?” Jicko berhenti menyendok makanan ke dalam mulut. Sendok emas 24 karat yang dipakai untuk makan menggantung di atas piring. “Itu kan Papa, bukan aku. Mama tidak bisa menyamakannya." “Memang apa bedanya?” Maria bertanya. “Bedanya terletak pada pribadi masing-masing. Kalau Papa lebih suka kerja remote, maka aku tidak.” “Ah, ter
Kamis pagi, pukul sembilan. Ameera diantar Jicko datang ke balai pertemuan ibu istri kepala negara di gedung pertemuan alam indah permai golf. Di kota modern tentunya. Tidak jauh dari komplek megah rumah Jicko. Jaraknya hanya dua kilometer. Namun Jicko mengantar tidak sampai masuk ke dalam. Hanya sebatas tempat parkiran. Karena Jicko harus pergi setelahnya. Ameera mengenakan gaun hitam berenda sebatas tulang kering kaki. Dengan tas kulit keluaran brand H, senada dengan gaun yang dikenakan. Rambut Ameera dicatok dengan gaya bergelombang dan digerai panjang. Makeup di wajah dibuat senatural mungkin. Dia tidak mau penampilan riasannya terlalu mencolok. Apa yang Ameera pakai pagi ini adalah yang paling mahal. Semuanya bernilai ratusan juta. Jicko telah mengatakannya kemarin. Dia harus datang dengan sesuatu yang tidak membuat reputasi sang suami malu. “Ingat, utamakan penekanan dalam setiap kata-kata yang akan kamu keluarkan.” Jicko mengingatkan sebelum Ameera keluar dari automobile-nya
Jicko menyeringai tersenyum manakala ketika mendengar Ameera menjawab ucapan para istri pejabat negara berusaha mengolok-oloknya. Dalam hati Jicko puas dengan ucapan yang Ameera katakan. Jicko tidak salah menilai kalau Ameera adalah wanita yang didefinisikan cantik tetapi mematikan. Ucapannya skak mat. Jicko menguping pembicaraan serius Ameera dan wanita-wanita yang ada di sana melalui alat sadap yang pria itu letakkan di dalam tas sang istri. Dia akan mendengar dengan jelas apa saja yang mereka katakan di sana. Jicko terduduk diam di sofa ruang tengah rumah. Telinga lamat-lamat mendengar percakapan itu. “Bisa main golf?” tanya sang istri presiden. Ameera mengangguk. Acara kini berganti, dari jamuan minum teh hangat menjadi main golf. Satu jam telah berlalu. Waktu kian bertambah. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Terik matahari bersinar terang. “Olahraga ini tidak terlalu unik, tetapi hal-hal yang harus diperhatikan saat bermain golf itu amat rinci. Kita terkadang harus memahaminya
Roti panggang isi telur, sayuran dan olesan mayonaise telah terhidang di atas meja. Ameera menyediakannya untuk makan siang sang suami. Jicko menatap heran. Masakan di depannya tidak biasa. Dia belum pernah melihat makanan ini. Bahkan belum pernah mencicipinya sama sekali, seumur hidup. “Kamu bisa masak rupanya?" Jicko berkata dengan nada meremehkan. Dikiranya Ameera ini termasuk jutaan wanita yang tidak pandai memasak. Alasan klasiknya, benci bau bawang. Ameera duduk di depan Jicko, di seberang meja makan pantry. “Buat jaga-jaga.” “Jaga-jaga?” Jicko penasaran. Ameera menyendok makanan masuk ke dalam mulut, lalu membalas tatapan penasaran sang suami. “Kakak sakit karena kanker. Makan yang dikonsumsi harus terjaga kebersihannya. Aku belajar memasak sebagai alternatif lain supaya aku bisa mengontrol makanannya. Satu hal terbesar dalam hidupku. Jika aku tahu kakak mengidap penyakit seperti ini, aku mungkin tidak akan mengambil kuliah kedokteran bedah spesialis. Mungkin aku akan memil
Anda menyerahkan undangan resmi dari pihak istana negara begitu Jicko masuk kembali ke kantor. Pagi, pukul delapan, hari berikutnya. Ketika itu Jicko telah duduk di tempat kerjanya. “Undangan dari Presiden, Pak.” “Letakkan di atas meja,” jawab Jicko. Pria yang diperintah mengangguk, meletakkan pucuk undangan di depan sang bos besar. Anda pamit keluar dari ruangan. Sesaat setelahnya, Jicko meraih pucuk undangan berwarna hitam itu. Dicetak dengan tinta emas timbul. Ini adalah undangan spesial dari presiden. Tidak banyak orang yang akan mendapatkannya. Hanya orang-orang penting saja. Seperti para taipan dan pejabat negara lain. Jicko membaca sekilas isi undangan. Acara pertemuan dilaksanakan Minggu pagi. Di lapangan berkuda. Tempat biasa Jicko mengajak orang-orang penting bertemu. Semisalnya staf perusahaan Ventura asal Tiongkok atau kepala keluarga terkaya di India, Ambami family. Selain gemar main golf, Jicko juga gemar berkuda. Dia ahli dalam hal ini. Dia profesional. “Katakan ke
“Diminum tehnya, Mas.” Ameera memerintah sopan. Gelas teh diletakkan di atas meja kaca di tempat keduanya duduk. Di ruangan tengah. Jicko sendiri sedang memandang tablet layar lebar di depan muka. Sedang membaca artikel berita terkini. Malam ini pukul delapan. Satu jam lalu Jicko kembali ke rumah usai keluar dari kantor. Sementara Ameera, dia sendiri sudah kembali dari rumah sakit sejak pukul lima tadi. Untungnya, Jicko tidak pulang cepat. Jadi Ameera aman. Takutnya akan ditanya banyak hal, dari mana saja dia pergi. Bukan Ameera tak bisa jujur, hanya saja dia belum siap. Ada banyak hal yang harus disembunyikannya dari sang suami. “Aku sudah makan di luar. Kalau kamu mau makan, pesan saja. Jangan menungguku untuk makan. Kecuali kamu masak sendiri." Jicko berbicara, tapi matanya masih fokus dengan artikel bisnis di depannya. Dia telah mengganti topik bacaan. “Aku sudah juga, Mas. Sebelum pulang, aku sempat mampir makan di restoran sebelum masuk komplek.” Ameera menjawab ramah. “Ya
Jicko sudah sampai di kantor, pagi ini. Begitu sampai di ruang kerjanya, dia langsung menghubungi Anda melalui sambungan interkom. Memintanya datang ke ruangan ini. Kurang dari dua menit setelah panggilan telepon itu, Anda sudah menampakkan batang hidungnya di depan muka sang bos besar. “Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan untuk Anda?” Pria di depan Jicko bertanya sopan. “Kamu atur jadwal istriku. Lihat hari-harinya, apakah ada kecocokan jadwal. Pertemuan dengan kepala negara hari Minggu besok tolong diatur. Aku akan datang menemuinya.” Jicko meletakkan tablet besar ke atas meja. Mendorong ke arah Anda. Di sana sudah ada semua jadwal Ameera yang dikirimnya beberapa waktu lalu. Pria itu langsung mengangguk, segera melaksanakan perintah sang bos. “Baik, Pak. Akan aku atur jadwal Nyonya.” “Satu lagi,” Jicko menahan langkah Anda sebelum meninggalkan ruangannya, “Mulai Senin dia sudah kembali ke kampus. Apakah semua keperluannya telah diselesaikan? Termasuk urusan dengan dek
Masih di malam yang sama, pukul sepuluh. Waktu bergeser ke jam berikutnya. Jicko telah mengganti pakaiannya dari piyama menjadi setelan kasual. Pria itu berjalan terburu-buru di ruang tengah rumah dengan telepon genggam menempel di telinga. “Kamu di mana?” tanya Jicko begitu teleponnya terhubung dengan Ameera. “Di kamar, Mas.” “Lagi ngapain?”“Mau tidur. Kenapa?” Jicko ingin mengatakan bahwa Ameera telah berbohong kepadanya. Namun Jicko menahan ucapan itu. Dia memejamkan matanya sesaat, menghela napas sengal. Saat ini Jicko sedang menahan amarah. Sebab Ameera telah berani membohonginya. Terutama pergi ke suatu tempat tanpa berkata jujur. “Aku hanya mau memastikan kalau Mama sudah tidur!” kata Jicko kemudian. Nada suaranya kentara sekali menahan kesal. “Mama sudah tidur dari setengah jam lalu, Mas. Kamu enggak usah khawatir. Aku jamin Mama enggak begadang.” “Ya. Kalau begitu, kamu juga harus tidur. Jangan terjaga. Aku tutup telepon ini.” Ameera menjawab singkat. Bilang “Ya” lal