“Diminum tehnya, Mas.” Ameera memerintah sopan. Gelas teh diletakkan di atas meja kaca di tempat keduanya duduk. Di ruangan tengah. Jicko sendiri sedang memandang tablet layar lebar di depan muka. Sedang membaca artikel berita terkini. Malam ini pukul delapan. Satu jam lalu Jicko kembali ke rumah usai keluar dari kantor. Sementara Ameera, dia sendiri sudah kembali dari rumah sakit sejak pukul lima tadi. Untungnya, Jicko tidak pulang cepat. Jadi Ameera aman. Takutnya akan ditanya banyak hal, dari mana saja dia pergi. Bukan Ameera tak bisa jujur, hanya saja dia belum siap. Ada banyak hal yang harus disembunyikannya dari sang suami. “Aku sudah makan di luar. Kalau kamu mau makan, pesan saja. Jangan menungguku untuk makan. Kecuali kamu masak sendiri." Jicko berbicara, tapi matanya masih fokus dengan artikel bisnis di depannya. Dia telah mengganti topik bacaan. “Aku sudah juga, Mas. Sebelum pulang, aku sempat mampir makan di restoran sebelum masuk komplek.” Ameera menjawab ramah. “Ya
Jicko sudah sampai di kantor, pagi ini. Begitu sampai di ruang kerjanya, dia langsung menghubungi Anda melalui sambungan interkom. Memintanya datang ke ruangan ini. Kurang dari dua menit setelah panggilan telepon itu, Anda sudah menampakkan batang hidungnya di depan muka sang bos besar. “Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan untuk Anda?” Pria di depan Jicko bertanya sopan. “Kamu atur jadwal istriku. Lihat hari-harinya, apakah ada kecocokan jadwal. Pertemuan dengan kepala negara hari Minggu besok tolong diatur. Aku akan datang menemuinya.” Jicko meletakkan tablet besar ke atas meja. Mendorong ke arah Anda. Di sana sudah ada semua jadwal Ameera yang dikirimnya beberapa waktu lalu. Pria itu langsung mengangguk, segera melaksanakan perintah sang bos. “Baik, Pak. Akan aku atur jadwal Nyonya.” “Satu lagi,” Jicko menahan langkah Anda sebelum meninggalkan ruangannya, “Mulai Senin dia sudah kembali ke kampus. Apakah semua keperluannya telah diselesaikan? Termasuk urusan dengan dek
Masih di malam yang sama, pukul sepuluh. Waktu bergeser ke jam berikutnya. Jicko telah mengganti pakaiannya dari piyama menjadi setelan kasual. Pria itu berjalan terburu-buru di ruang tengah rumah dengan telepon genggam menempel di telinga. “Kamu di mana?” tanya Jicko begitu teleponnya terhubung dengan Ameera. “Di kamar, Mas.” “Lagi ngapain?”“Mau tidur. Kenapa?” Jicko ingin mengatakan bahwa Ameera telah berbohong kepadanya. Namun Jicko menahan ucapan itu. Dia memejamkan matanya sesaat, menghela napas sengal. Saat ini Jicko sedang menahan amarah. Sebab Ameera telah berani membohonginya. Terutama pergi ke suatu tempat tanpa berkata jujur. “Aku hanya mau memastikan kalau Mama sudah tidur!” kata Jicko kemudian. Nada suaranya kentara sekali menahan kesal. “Mama sudah tidur dari setengah jam lalu, Mas. Kamu enggak usah khawatir. Aku jamin Mama enggak begadang.” “Ya. Kalau begitu, kamu juga harus tidur. Jangan terjaga. Aku tutup telepon ini.” Ameera menjawab singkat. Bilang “Ya” lal
Masih di waktu yang sama. Gino cuma bisa terdiam tanpa kata ketika Jicko mengatakan hal tadi. Jadi ini semua berhubungan? Pikir Gino, kebaikan Mama ternyata ada motifnya. Bak serigala berbulu domba. Atau musuh dalam selimut. Mama memiliki tujuan tertentu selama ini. Pria pesakitan itu menelan ludah pahitnya. Jika dia tahu bahwa Mama adalah ibunya Jicko, mungkin waktu itu dia tidak akan pernah mau menerima uluran tangannya. Kebaikan Mama rupanya hanyalah kepalsuan. Pada intinya, Maria hanya menginginkan Ameera. Itu yang coba Gino pahami. Sama seperti Gino, Ameera sendiri dibuat terdiam tanpa kata dalam situasi ini. Bibir bawahnya digigit pelan. Tatapan mata Ameera amat sendu. Mendadak pikirannya teringat kejadian setahun lalu, awal mula ketika Maria menawarkan Ameera untuk berjodoh dengan anaknya. “Menikahlah dengan Jicko, Nak. Mama ingin kamu jadi menantu Mama dan istri anak Mama. Semuanya akan berjalan baik kalau kamu menjadi anak menantu Mama." Maria memegang kedua tangan Ameera.
Jicko membawa Ameera pergi usai Gino mengusir mereka. Gino tidak mau melihatnya, apalagi Ameera. Gino sudah cukup kecewa dibuat oleh sang adik. Tindakannya itu tanpa spekulasi sebelumnya. Jicko dan Ameera berada di dalam mobil. Perempuan itu duduk di sebelah sang suami dengan tatapan memandang ke luar jendela. Dan Jicko sesekali melirik perempuan yang menangis dalam diam itu. Sedikit rasanya hati Jicko merasa tercubit dan merasa bersalah. Saat itu kendaraan telah berada di jalan tol dalam kota, menuju ke kediaman keduanya. “Maaf,” kata Jicko membuka percakapan. Keduanya diam saja sejak tadi. Tidak ada yang membuka obrolan sama sekali. Ameera menghapus air mata cepat-cepat. Dia tahu dirinya bersalah kepada Gino, tetapi dia bingung harus bagaimana membuat pria itu tidak lagi marah. Mungkin saat ini Gino tidak mau memaafkannya sama sekali. Ameera merasa menyesal untuk sesaat. “Maaf untuk ucapanku yang tadi. Seharusnya aku tidak mengatakan itu sama sekali!" Jicko menambahkan ucapannya
Ketika melirik jam digital yang menempel di dinding kamar, malam telah larut. Pukul dua dini hari. Jicko belum bisa memejamkan matanya. Sama seperti perempuan yang tidur memunggungi Jicko di sebelahnya. Pikiran tidak bisa tenang. Perasaan menjadi gelisah. Sesekali Jicko melirik sang istri yang sama gusarnya seperti dia. Namun sekonyong-kanyongnya, mendadak bayang-bayang masa lalu itu muncul. Jicko berusaha melenyapkannya, tetapi tidak bisa. Dia akan terus muncul. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu. Ke waktu dua belas atau tiga belas tahun silam. “Ibumu akan dioperasi hari ini. Kamu harus mengumpulkan uangnya. Kalau tidak, dokter enggan melakukan operasi itu!” “Memangnya tidak bisa operasi dulu? Aku janji uangnya akan ada setelah beliau dioperasi.” “Tidak bisa! Itu sudah prosedur rumah sakit. Kalau kamu enggak bisa mendapatkan uang untuk operasi, terpaksa ibu kamu kami keluarkan dari sini.” “Sus, tunggu! Aku akan usahakan secepatnya. Tapi tolong, jangan dibawa keluar ibuku da
Hari-hari berlalu, usai kejadian sore itu. Ana berusaha melupakannya, tetapi dia lupa bahwa hari itu adalah seksi pertama. Dia masih memiliki dua seksi lagi dalam perjanjian dengan Jicko. Namun demikian, Ana sedikit merasa berterimakasih kepada Jicko, berkatnya sang ibu berhasil melewati operasi yang menegangkan. Setidaknya ibu Ana selamat. Pun dokter langsung ambil tindakan begitu dana untuk operasi pengeluaran batu ginjal itu telah disetorkan. Benar, Jicko ini orangnya sangat berpengaruh. Cukup memerintah orang, maka perkara beres. “An, malam Minggu ada waktu enggak?” Gino datang mendekati meja kekasihnya. Lantas berkata santai. Ana dan Gino memang pacaran. Jicko tahu itu. Tetapi bukan berarti dia tidak bisa memiliki Ana. Cukup dengan uang, maka permasalahan bisa selesai. Apanya yang pacaran, tapi pada akhirnya tidak bisa membantu Ana sama sekali. Gino tidak ada gunanya dalam hal ini, pikir Jicko. “Aku ada kerjaan sama ibu, No. Enggak bisa keluar.” Ana menjawab lirih. “Yah, pad
“Berengsek! Kamu ngapain sama pacarku, hah?” Gino membentak, nada suaranya meninggi. Dia memandang benci pemuda yang sudah dipukulnya itu. Jicko tersungkur di tanah. Sudut bibirnya berdarah. Ada luka robek sedikit di sana. Sisa pukulan Gino. Namun Jicko tidak merasa sakit, justeru dia tertawa. Dia senang pada akhirnya Gino melihat kalau Jicko melecehkan Ana. Bahkan telah menidurinya. Ini yang diharapkannya. “Aku tidak melakukan apapun ke Ana. Kami hanya bersenang-senang!” kata Jicko santai. Dia mengusap sudut bibirnya yang terus mengalirkan darah. “Keparat sialan. Mati kamu!” Gino menarik kerah baju Jicko, ingin memukulnya lagi. Badan Jicko dibanting ke dinding bangunan gudang usang. Namun sebelum pukulan itu menghajar mukanya, Jicko berhasil menghalau serangan itu. Dia tersenyum remeh. “Kamu tidak akan bisa memukulku, lelaki tolol! Kamu tidak punya daya apapun!” ujar Jicko. Tangannya berhasil memegang kepalan tinju Gino. Aryana yang melihat keduanya hanya bisa terdiam. Dia bingu
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg