Hari-hari berlalu, usai kejadian sore itu. Ana berusaha melupakannya, tetapi dia lupa bahwa hari itu adalah seksi pertama. Dia masih memiliki dua seksi lagi dalam perjanjian dengan Jicko. Namun demikian, Ana sedikit merasa berterimakasih kepada Jicko, berkatnya sang ibu berhasil melewati operasi yang menegangkan. Setidaknya ibu Ana selamat. Pun dokter langsung ambil tindakan begitu dana untuk operasi pengeluaran batu ginjal itu telah disetorkan. Benar, Jicko ini orangnya sangat berpengaruh. Cukup memerintah orang, maka perkara beres. “An, malam Minggu ada waktu enggak?” Gino datang mendekati meja kekasihnya. Lantas berkata santai. Ana dan Gino memang pacaran. Jicko tahu itu. Tetapi bukan berarti dia tidak bisa memiliki Ana. Cukup dengan uang, maka permasalahan bisa selesai. Apanya yang pacaran, tapi pada akhirnya tidak bisa membantu Ana sama sekali. Gino tidak ada gunanya dalam hal ini, pikir Jicko. “Aku ada kerjaan sama ibu, No. Enggak bisa keluar.” Ana menjawab lirih. “Yah, pad
“Berengsek! Kamu ngapain sama pacarku, hah?” Gino membentak, nada suaranya meninggi. Dia memandang benci pemuda yang sudah dipukulnya itu. Jicko tersungkur di tanah. Sudut bibirnya berdarah. Ada luka robek sedikit di sana. Sisa pukulan Gino. Namun Jicko tidak merasa sakit, justeru dia tertawa. Dia senang pada akhirnya Gino melihat kalau Jicko melecehkan Ana. Bahkan telah menidurinya. Ini yang diharapkannya. “Aku tidak melakukan apapun ke Ana. Kami hanya bersenang-senang!” kata Jicko santai. Dia mengusap sudut bibirnya yang terus mengalirkan darah. “Keparat sialan. Mati kamu!” Gino menarik kerah baju Jicko, ingin memukulnya lagi. Badan Jicko dibanting ke dinding bangunan gudang usang. Namun sebelum pukulan itu menghajar mukanya, Jicko berhasil menghalau serangan itu. Dia tersenyum remeh. “Kamu tidak akan bisa memukulku, lelaki tolol! Kamu tidak punya daya apapun!” ujar Jicko. Tangannya berhasil memegang kepalan tinju Gino. Aryana yang melihat keduanya hanya bisa terdiam. Dia bingu
Pagi ini sikap Ameera cuek. Masih seperti malam lalu. Biasanya dia akan memperlakukan Jicko sebagaimana istri bertindak. Tetapi kali ini berbeda. Gadis itu tidak melakukannya sama sekali. Bahkan tidak menghidangkan teh hangat untuknya. Jicko ingin marah, tetapi dia merasa bersalah pula pada Ameera. Pria itu berdiri di depan kaca besar di dalam kamar. Tengah memakai dasi. Ameera ada di belakangnya, merapikan kasur, sisa Jicko bangun tidur yang tidak dirapikan. Sesekali pria ini melirik sang wanita. Muka Ameera datar sekali, persis seperti orang yang tidak menganggap Jicko ada di sana. “Hari Minggu kosongkan waktumu. Kita akan pergi ke Sinar Mas. Aku ada acara di sana. Aku butuh kamu sebagai pendampingku.” Jicko membuka percakapan. “Jika tidak ada halangan, aku akan ikut." Ameera menjawab cuek. Kemudian kakinya ingin melangkah keluar dari kamar. “Kamu tidak bepergian ke mana-mana Minggu nanti. Anda telah melaporkan semua kegiatan kamu padaku.” Ameera menoleh ke arah lawan bicara. D
Jicko baru saja pulang, pukul sembilan malam. Di ruang tengah, dia berpapasan dengan Ameera yang muncul dari dalam kamar, hendak menuju ke pantry dapur. Mereka tidak saling menyapa. Bahkan Jicko tidak mau melakukannya. Mereka benar-benar definisi dua orang asing seperti yang saling tidak mengenal. Ketika pria itu masuk ke dalam kamar, handuk mandi dan piyama baju ganti telah tersedia di atas kasur. Terlipat di sana. Ameera menyiapkan, begitu dia mendengar Automobile sang suami masuk ke dalam pekarangan rumah. Jicko tersenyum tipis melihatnya. “Terima kasih!” Jicko bergumam pelan. Pas ketika itu Ameera datang, masuk ke dalam kamar. Dia menarik lengan sang istri. Perempuan itu tidak menjawab sama sekali. Dia hanya diam. “Setidaknya kamu masih memerhatikan aku!” “Itu sebuah kewajiban,” kata Ameera lugas. Jicko mengalihkan percakapan, “Kamu sudah makan?" “Aku masak.” “Ya. Beli terus itu enggak baik buat badan. Masakan di luar banyak mengandung penguat rasa sama ada minyaknya. Masaka
Jicko mengosongkan jadwalnya pagi ini. Pukul sembilan dia meninggalkan ruangan kerjanya. Jicko telah mengatakannya pada Anda bahwa dia tidak ingin memiliki aktivitas pekerjaan apapun di kantor. Pria itu datang ke rumah sakit, membawa sebuket bunga beragam. Dia menuju ke ruang perawatan kelas presidential suite VVIP. Itu ruangan Gino dirawat. Jicko tidak mengetuk pintu kamar itu, dia langsung membukanya, memutar kenop pintu. Di pinggir dinding kaca, tempatnya berjemur pagi, Gino berdiri. Hal pertama yang Jicko lihat adalah pasien lemah dengan pakaian rumah sakit dan ..., tubuh tidak sekuat dan segagah dulu. Pun bau desinfektan menyengat. Jicko meletakkan buket bunga di atas meja kaca di antara sofa ruangan. Lantas dia memilih duduk di pinggir ranjang lebar, di belakang sang lawan bicara yang didatanginya pagi ini. “Aku tidak ingin melihat wajahmu!” Gino membuka percakapan dahulu. “Ini kunjungan pertamaku sebagai adik ipar!” Jicko menjawab santai. Wajahnya tersenyum pias. Jicko tah
Malam, di waktu seperti biasa Jicko pulang kerja. Pun selepas mandi. Pria itu duduk di ruang tengah rumah. Tangannya memegang tablet lebar, tengah membaca artikel bisnis utama. Orang terkaya di negeri ini berhasil tergeser setelah bertahun-tahun menjadi pemuncaknya. Jicko mendesis. Pembesar di negeri ini makin banyak, pikirnya. Di saat sedang fokus pada urusannya sendiri, Ameera datang melintas di depan muka. Jicko meliriknya sekilas. “Aku pikir kamu akan langsung tidur.” Jicko berkata lirih. Ameera jelas mendengarnya. Ucapan itu tertuju untuk si gadis berwajah menyenangkan itu. “Tidak sopan tidur lebih dahulu sebelum menghidangkan teh untuk Anda.” Ameera menjawab sinis. Dia meletakkan gelas teh ke atas meja kaca, persis di depan Jicko. Di sebelah majalah keluaran Forbes itu. Jicko menyeringai, “Tidak menghindar?” “Untuk apa?” “Aku kira kamu masih marah ketika aku tidak bilang apapun soal masa laluku dengan kakak kamu itu.” Ameera menatap bengis wajah suaminya itu. “Aku memang
“Kamu baik-baik saja, kan?” Jicko melontarkan pertanyaan. Dia mengemudi mobil, Ameera duduk di sebelahnya. Mereka telah berada di jalan tol dalam kota, hendak menuju ke pusat pacu kuda Sinar Mas. Sesekali pria ini melirik sang istri. “Iya.” “Yang semalam, aku harap kamu juga menikmatinya. Bukan hanya aku.” “Bisa jangan bahas itu lagi?" “Kenapa?” Jicko melirik sang istri lagi. “Aku ..., tidak biasa mengingat sesuatu yang sudah terjadi. Aku malu mengingatnya.” Jicko mendengus tertawa, “Untuk apa malu? Kita melakukannya karena kita sepasang suami-istri. Orang yang saling memuaskan diri tanpa ikatan apapun, anggaplah dua sejoli yang pacaran. Mereka melakukan hubungan badan pun tidak malu. Mereka menganggap itu biasa saja. Lalu bagaimana dengan kita?” “Itu beda konteksnya.” Jicko menyanggah ucapan Ameera barusan, “Bagiku tidak ada bedanya. Sama saja. Pada intinya, aku bertanya tentang keadaan kamu. Bukan ingin membahas prihal semalam.” Jicko sekali lagi melirik perempuan itu. Dia
Jicko dan Pak presiden yang terhormat telah selesai menunggangi kuda selama dua jam. Acara kemudian berganti menjadi pembicaraan kecil di ruang konferensi kecil. Hanya ada mereka berdua. Pembicara ini amat penting, tidak ada yang boleh ikut dalam percakapan. Di atas meja telah terhidang makanan saji paling mewah. Pun dengan minuman spesialnya. “Sebelumnya, terima kasih kepada Pak Jicko yang terhormat, karena berkali-kali mau memenuhi permintaanku untuk hadir dalam pertemuan kecil ini. Aku merasa sangat dihargai.” Presiden membuka percakapan. Jicko ramah menanggapi. “Anda terlalu sungkan padaku.” “Sebagai pembesar di negeri ini, orang muda terkaya, siapa yang tidak akan sungkan?” Pak presiden menimpali. Kemudian dia tertawa. Matanya sampai hilang, kerutan di wajah terlihat jelas. “Ini mungkin jadi pertemuan kita kesekian kalinya. Dan aku ingat, pertama kali kita bertemu di tempat ini ketika aku akan naik jabatan mencalonkan diri sebagai presiden. Saat itu Anda datang mendukungku, m