Malam, di waktu seperti biasa Jicko pulang kerja. Pun selepas mandi. Pria itu duduk di ruang tengah rumah. Tangannya memegang tablet lebar, tengah membaca artikel bisnis utama. Orang terkaya di negeri ini berhasil tergeser setelah bertahun-tahun menjadi pemuncaknya. Jicko mendesis. Pembesar di negeri ini makin banyak, pikirnya. Di saat sedang fokus pada urusannya sendiri, Ameera datang melintas di depan muka. Jicko meliriknya sekilas. “Aku pikir kamu akan langsung tidur.” Jicko berkata lirih. Ameera jelas mendengarnya. Ucapan itu tertuju untuk si gadis berwajah menyenangkan itu. “Tidak sopan tidur lebih dahulu sebelum menghidangkan teh untuk Anda.” Ameera menjawab sinis. Dia meletakkan gelas teh ke atas meja kaca, persis di depan Jicko. Di sebelah majalah keluaran Forbes itu. Jicko menyeringai, “Tidak menghindar?” “Untuk apa?” “Aku kira kamu masih marah ketika aku tidak bilang apapun soal masa laluku dengan kakak kamu itu.” Ameera menatap bengis wajah suaminya itu. “Aku memang
“Kamu baik-baik saja, kan?” Jicko melontarkan pertanyaan. Dia mengemudi mobil, Ameera duduk di sebelahnya. Mereka telah berada di jalan tol dalam kota, hendak menuju ke pusat pacu kuda Sinar Mas. Sesekali pria ini melirik sang istri. “Iya.” “Yang semalam, aku harap kamu juga menikmatinya. Bukan hanya aku.” “Bisa jangan bahas itu lagi?" “Kenapa?” Jicko melirik sang istri lagi. “Aku ..., tidak biasa mengingat sesuatu yang sudah terjadi. Aku malu mengingatnya.” Jicko mendengus tertawa, “Untuk apa malu? Kita melakukannya karena kita sepasang suami-istri. Orang yang saling memuaskan diri tanpa ikatan apapun, anggaplah dua sejoli yang pacaran. Mereka melakukan hubungan badan pun tidak malu. Mereka menganggap itu biasa saja. Lalu bagaimana dengan kita?” “Itu beda konteksnya.” Jicko menyanggah ucapan Ameera barusan, “Bagiku tidak ada bedanya. Sama saja. Pada intinya, aku bertanya tentang keadaan kamu. Bukan ingin membahas prihal semalam.” Jicko sekali lagi melirik perempuan itu. Dia
Jicko dan Pak presiden yang terhormat telah selesai menunggangi kuda selama dua jam. Acara kemudian berganti menjadi pembicaraan kecil di ruang konferensi kecil. Hanya ada mereka berdua. Pembicara ini amat penting, tidak ada yang boleh ikut dalam percakapan. Di atas meja telah terhidang makanan saji paling mewah. Pun dengan minuman spesialnya. “Sebelumnya, terima kasih kepada Pak Jicko yang terhormat, karena berkali-kali mau memenuhi permintaanku untuk hadir dalam pertemuan kecil ini. Aku merasa sangat dihargai.” Presiden membuka percakapan. Jicko ramah menanggapi. “Anda terlalu sungkan padaku.” “Sebagai pembesar di negeri ini, orang muda terkaya, siapa yang tidak akan sungkan?” Pak presiden menimpali. Kemudian dia tertawa. Matanya sampai hilang, kerutan di wajah terlihat jelas. “Ini mungkin jadi pertemuan kita kesekian kalinya. Dan aku ingat, pertama kali kita bertemu di tempat ini ketika aku akan naik jabatan mencalonkan diri sebagai presiden. Saat itu Anda datang mendukungku, m
“Satu ruangan privat, ada?” Jicko berkata pada resepsionis sauna. Perempuan penjaga meja penerima tamu itu mengangguk. “Ada.” “Aku mau ruangan yang besar, menghadap ke arah pegunungan, suhu ruangan standar, ada kamar ganti sama full perfume.” “Ada, Pak. Presidential lll, tapi harganya mahal. Enggak keberatan?” Resepsionis wanita itu menjelaskan singkat. “Aku akan bayar. Aku mau ruangan itu.” “Aku isi data dulu, Pak. Atas nama ....” “Incognito, bisa?” Jicko cepat menyahut.Pelayan itu mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke wajah Jicko. Lalu berganti menatap wajah menyenangkan perempuan di samping pria tinggi itu. “Bisa, Pak.” Resepsionis mengangguk. Lalu dia mengarahkan Jicko dan Ameera ke ruangan yang akan mereka tempati di sauna ini. “Bapak lurus ke arah lounge timur, lorong kiri, pas sekali itu ruangan privat sauna. Di sana akan ada staf yang membantu Anda.”“Oke.” Jicko menjawab pendek. “Have a nice day, Sir and Mistress.” Resepsionis itu berseru ramah. Senyumannya
Masih di waktu yang sama. “Mas Jicko melakukan itu?” Ameera merespon tegang, “Maksudku, Mas berani melakukan hubungan intim dengan perempuan itu tanpa rasa takut?” Jicko menganggukkan kepalanya, “Namanya remaja, apa saja akan mereka lakukan saat berada di fase itu. Termasuk berhubungan ranjang. Aku tidak takut. Buat apa! Aku punya segalanya yang bisa membuatku tetap aman.” “Bagaimana kalau dia hamil?” Mata Ameera melotot. Jicko mendengus, “Tinggal tanggung jawab.” “Nanti Mama marah!” “Mama tidak akan marah. Karena aku bisa membantahnya.” Jicko berujar santai, “Aku anak tunggal, anak satu-satunya Mama, dia sayang padaku. Apapun yang aku lakukan, Mama tidak akan pernah marah. Jadi aku jamin dia takkan mengomel. Skenario panjang itu sudah aku pikirkan matang-matang.”Ameera giliran yang mendengus. Wajahnya sedikit agak kecewa. Ternyata pria ini tidak benar-benar suci. Dia memiliki masa lalu yang bisa dibilang amat liar. Bisa-bisanya dia meniduri anak gadis orang, dengan dalih menaw
Jicko menyendok makanan masuk ke dalam mulut. Amat santai. Makanan utama sudah dihidangkan. Sesekali dia melirik Ameera yang fokus pada makan malamnya. Masih di waktu yang sama, jam bergeser beberapa menit berikutnya. “Kita tidak akan pulang malam ini.” Jicko membuka percakapan. Ameera menatap pria di depannya. “Kenapa?” “Aku tidak tega melihat kamu kelelahan begini. Kita akan menginap di hotel malam ini.” Ameera mendesah, makan yang disendok terhenti. “Aku enggak apa-apa.” “Anggap saja kita liburan.” Jicko menegaskan. Ameera tidak membantah. Matanya berputar. Dia bosan dengan percakapan ini. Makan kembali dilanjutkan. Keadaan hening. Jicko melakukan hal yang sama. Telepon Jicko yang diletakkan di atas meja, berdering sekali. Ada notifikasi pesan masuk. Pria itu gegas melihatnya. “Sesi lelang pameran besar dimulai lagi, Acara dibuka besok malam, di JCC Senayan.” Pesan ini datang dari petugas pelelangan di gedung itu. Tempat yang dekat stadion besar di kota kami. Jicko sering d
Pagi ini Ameera ke kampus. Dia telah masuk kembali, usai ambil cuti. Jicko mengantarnya sampai di depan gedung fakultas. Sedangkan pria itu, dia sendiri langsung pergi ke kantor. Di sana beberapa karyawan menyapanya sopan, di lobi pintu masuk gedung. Beberapa lagi berpapasan, menundukkan pandangan. Mereka menghormati eksekutif muda ini. Orang nomor satu di perusahaan Group. Kebetulan di saat yang sama, ketika Jicko baru sampai di gedung kantor, dia bertemu dengan sekretarisnya, Anda. Rupanya dia juga baru datang. Sebelum mengikuti langkah bos besar, Anda mengambil dahulu voucher makan siangnya, kemudian baru masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan, bersama Jicko. “Kamu rajin mengumpulkan voucher makan siang itu." Jicko bergumam pelan. Anda masih mendengar ucapannya. “Aku jarang menggunakan ini, Pak. Cuma sudah kebiasaan mengambilnya pas masuk, mau enggak mau dibawa aja ke ruang kerja.” Anda menjawab sambil tersenyum malu. Jicko meliriknya sekilas. Tidak salah, Anda memang
“Aku akan menjemput kamu, kalau acaranya sudah selesai,” kata Jicko. Dia mengantar Ameera ke gedung balai lelang negara. Di JCC Senayan. Tepat di depan pintu masuk. Malam ini pukul tujuh. Acara nyaris dimulai. Orang-orang atau tamu undangan sudah datang semua. Tempat itu telah dipenuhi oleh pendatang atau tamu kehormatan. Ameera mengangguk sewaktu Jicko berkata tadi. “Kamu enggak mau nanya sesuatu sebelum masuk ke dalam?" Jicko bertanya. Tangannya menarik tangan Ameera, sebelum gadis itu menarik gagang handle pintu Automobile. “Aku enggak tahu harus tanya apa, Mas.” “Apapun. Mungkin sesuatu yang kamu enggak paham soal lelang. Kamu bisa tanya padaku sekarang.” “Ehm ..., nanti saja, deh. Aku harus masuk."Jicko tidak menahannya kali ini. Ameera benar-benar keluar dari dalam mobil. Jicko masih memerhatikannya. Dia mengenakan gaun hitam sebatas tulang kering kaki. Mengenakan tas kecil juga. Rambut ditata rapi, tergerai, mengenakan anting cukup besar di telinganya. Selepas itu Ameera
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg