Pagi ini Ameera ke kampus. Dia telah masuk kembali, usai ambil cuti. Jicko mengantarnya sampai di depan gedung fakultas. Sedangkan pria itu, dia sendiri langsung pergi ke kantor. Di sana beberapa karyawan menyapanya sopan, di lobi pintu masuk gedung. Beberapa lagi berpapasan, menundukkan pandangan. Mereka menghormati eksekutif muda ini. Orang nomor satu di perusahaan Group. Kebetulan di saat yang sama, ketika Jicko baru sampai di gedung kantor, dia bertemu dengan sekretarisnya, Anda. Rupanya dia juga baru datang. Sebelum mengikuti langkah bos besar, Anda mengambil dahulu voucher makan siangnya, kemudian baru masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan, bersama Jicko. “Kamu rajin mengumpulkan voucher makan siang itu." Jicko bergumam pelan. Anda masih mendengar ucapannya. “Aku jarang menggunakan ini, Pak. Cuma sudah kebiasaan mengambilnya pas masuk, mau enggak mau dibawa aja ke ruang kerja.” Anda menjawab sambil tersenyum malu. Jicko meliriknya sekilas. Tidak salah, Anda memang
“Aku akan menjemput kamu, kalau acaranya sudah selesai,” kata Jicko. Dia mengantar Ameera ke gedung balai lelang negara. Di JCC Senayan. Tepat di depan pintu masuk. Malam ini pukul tujuh. Acara nyaris dimulai. Orang-orang atau tamu undangan sudah datang semua. Tempat itu telah dipenuhi oleh pendatang atau tamu kehormatan. Ameera mengangguk sewaktu Jicko berkata tadi. “Kamu enggak mau nanya sesuatu sebelum masuk ke dalam?" Jicko bertanya. Tangannya menarik tangan Ameera, sebelum gadis itu menarik gagang handle pintu Automobile. “Aku enggak tahu harus tanya apa, Mas.” “Apapun. Mungkin sesuatu yang kamu enggak paham soal lelang. Kamu bisa tanya padaku sekarang.” “Ehm ..., nanti saja, deh. Aku harus masuk."Jicko tidak menahannya kali ini. Ameera benar-benar keluar dari dalam mobil. Jicko masih memerhatikannya. Dia mengenakan gaun hitam sebatas tulang kering kaki. Mengenakan tas kecil juga. Rambut ditata rapi, tergerai, mengenakan anting cukup besar di telinganya. Selepas itu Ameera
“Ameera, mau ikut cari makan?” Tasya berseru dari meja belajarnya. Kelas telah berakhir, siang ini. Ameera menggeleng, “Enggak dulu, deh.” “Yah, enggak asyik ah, kamu.” Tasya mengubah eskpresi wajahnya jadi sendu, “Padahal ada banyak gosip yang mau kami ceritain ke kamu.” Dahi Ameera mengerut, “Cerita apa?" “Banyak, pokoknya. Kalau kamu penasaran, ayo ikut makan. Biar sekalian kita cerita-cerita.” Teman yang lain menyahut. Ameera tersenyum kikuk. Dia ragu, tetapi penasaran. “Aku ikut, tapi aku enggak pesan makan, ya. Aku pesan minum aja.”“Oke, oke. Enggak apa-apa. Yang penting kamu ikut kita.” Tasya menyahut senang. Maka siang itu, sehabis kelas kuliah berakhir, mereka pergi ke kantin sastra, makan di sana. Dibandingkan dengan kantin fakultas lain, enakan masakan di sini. Selain itu, di sini juga kumpulnya mahasiswa kampus yang super ganteng. Tasya jangan ditanya soal ini. Dia paling tahu segalanya. Makanan sudah terhidang, begitu mereka sampai di sini dan memesan sembari maka
“Pak, ada paket datang. Atas nama Ibu Ameera.” Tya datang, membawa bingkisan besar ke dalam ruangan kerja Jicko. Siang ini masih sama, waktu bergeser beberapa menit berikutnya. Jicko mengerutkan dahinya, menatap penasaran ke bingkisan lebar itu. Kalau boleh ambil kesimpulan, benda datar itu seperti lukisan besar. “Alamatnya pakai alamat kantor?" Jicko menarik kalimat pertanyaan. Tya mengangguk, “Iya, Pak. Alamatnya kantor, atas nama istri Bapak.” “Siapa yang ngirim?” Sekretaris perempuan itu menggeleng, “Enggak tahu, Pak. Aku terimanya dari bagian resepsionis. Dibawa sama pihak pengaman.” “Ya sudah, letakkan di sana saja." Dagu Jicko menunjuk sisi samping sofa tempat duduk. Tya mengangguk lagi, diletakkannya di sana benda yang dimaksud. Sesaat berikutnya, dia pamit keluar dari ruangan sang bos. Jicko sendiri duduk di kursi kerjanya. Tengah membaca beberapa artikel terpanas pekan ini. Tangan kemudian meraih telepon genggam. Jicko menghubungi Ameera. Dering pertama belum dijawab
Sore sekali, jam empat. Ameera telah berada di rumah sakit, menjenguk Gino, seusai kelas kuliah berakhir. Begitu Ameera mengetuk pintu kamar, pandangan pertama yang dilihatnya, Gino sedang duduk di sudut ruangan. Menghadap ke dinding kaca, di antara sekumpulan gedung tinggi di seberang bangunan ini. Gino sedang melukis. Hal baru yang dilakukanya. Sesuai saran suster perawat khususnya. Ini bisa membunuh waktu sepi Gino. Itu kata suster baik hati itu dalam menyuarakan petuahnya. “Kak ....” “Lama kamu enggak ke sini, Ra." Gino berkata lebih cepat daripada ucapan Ameera. Perempuan itu meletakkan tasnya di atas sofa ruangan. Langkah kaki mendekati pria pesakitan itu. “Kakak apa kabar?" “Apa Jicko tahu kamu pergi ke sini?” Gino melontarkan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan sang adik. Ameera persis berdiri di samping Gino. “Aku sudah izin." “Kamu harus baik-baik sama suami kamu. Jangan membantah dia." “Kak!” Ameera berseru pelan, “Maaf." Gino meliriknya selintas. “Buat apa?" “A
Dari: Tamu nomor 10Untuk: Ny. Nomor 29Hai, Nyonya nomor 29. Aku tahu kamu sangat menyukai dan ingin sekali memiliki lukisan seindah ini. Ketika melihat ekspresi kecewa Anda saat aku menawar barang lelang ini seharga 6 milliar, aku tahu ada perasaan sendu yang cukup berarti. Anda mungkin tidak akan mengungkapkan keberatan hati karena benda ini jatuh ke tangan orang lain. Aku melihat Anda seperti memiliki ikatan khusus terhadap lukisan ini. Aku bisa menilainya. Karena aku tidak tahu apa ikatan itu, aku takkan terlalu mengoreknya. Aku tidak mau tahu untuk urusan itu. Namun yang pasti, lukisan yang sudah kubeli ini lebih baik kuserahkan kepada Anda. Entah kenapa aku merasa Anda sangat cocok memilikinya. Kuharap Anda mau menerimanya. Suatu saat, mungkin Anda harus belajar lagi dalam memahami karakter lukisan indah ini. Omong-omong, aku mendapatkan alamat kantor Anda dari urusan arbitrase lelang. Mereka hanya mengatakan alamat institusi Anda tanpa memberitahu resume. Seharusnya aku tid
Sebelum makan malam, mereka berdoa dulu. Ameera ikut. Ini makan malam pengenangan, sama seperti yang Jicko katakan kemarin malam. Mereka akan mengenang kepergian Papa mertua dan kakek. Setelah itu, barulah mereka makan malam spesial. Masakan hidangan koki pribadi Maria. “Mama jangan murung begitu.” Jicko menegur. Dia tahu bahwa Maria sudah berubah sikap sejak berdoa dalam hati. Jicko memerhatikan. Maria tersenyum kecut sambil memaksa menelan makanan masuk ke dalam mulut. “Mama belum bisa lupain Papa kamu.” “Sudah tujuh belas tahun, Ma. Masa Mama enggak bisa move on?” “Bukan masalah melupakan yang Mama pikirkan. Tapi kenangannya yang Mama dambakan.” Jicko mendecak, “Sekalipun Papa mengkhianati Mama?” “Jicko ....” Maria menatap Ameera. Ucapannya tidak dilanjutkan. Ada menantunya di sana. Jangan sampai dia tahu kisah buruk ini. “Jangan bahas mereka di sini.” Maria melanjutkan makannya. Ameera melihat sang mertua, lalu balik melihat sang suami yang mendadak berwajah tidak menyenang
Satu jam berikutnya. “Silakan dinikmati.” Pelayan berkata ramah, memerintah sopan usai menghidangkan makanan di atas meja. Kemudian dia meninggalkan ruangan tertutup itu untuk Maria, Jicko dan istrinya. Mereka makan siang di tempat tertutup. Tidak mau diekspos. Mereka keluarga taipan yang jarang disorot media. Paling jarang. “Makan yang banyak Nak. Mama lihat kamu makin kurusan sekarang." Maria menegur sopan. Tangannya hendak menyodorkan steak yang sudah dipotong-potong dua bagian untuk Ameera. Sebagai gantinya, milik Ameera akan diambil Maria. Namun Jicko tak kalah cepat. Dia segera menghentikan tangan Mamanya. Jicko menyambar piring steak Mama, diletakkan kembali di tempatnya. “Ameera makan punyaku saja, Ma. Ini sudah dipotong-potong,” kata Jicko. Tangannya mengambil piring Ameera, diganti dengan piring keramik putih miliknya. Mama tidak membantah sama sekali. Bahkan tidak protes. Biarkan Jicko melakukannya. Itu kan haknya sebagai suami. Justeru Maria senang kau Jicko memperla