Dari: Tamu nomor 10Untuk: Ny. Nomor 29Hai, Nyonya nomor 29. Aku tahu kamu sangat menyukai dan ingin sekali memiliki lukisan seindah ini. Ketika melihat ekspresi kecewa Anda saat aku menawar barang lelang ini seharga 6 milliar, aku tahu ada perasaan sendu yang cukup berarti. Anda mungkin tidak akan mengungkapkan keberatan hati karena benda ini jatuh ke tangan orang lain. Aku melihat Anda seperti memiliki ikatan khusus terhadap lukisan ini. Aku bisa menilainya. Karena aku tidak tahu apa ikatan itu, aku takkan terlalu mengoreknya. Aku tidak mau tahu untuk urusan itu. Namun yang pasti, lukisan yang sudah kubeli ini lebih baik kuserahkan kepada Anda. Entah kenapa aku merasa Anda sangat cocok memilikinya. Kuharap Anda mau menerimanya. Suatu saat, mungkin Anda harus belajar lagi dalam memahami karakter lukisan indah ini. Omong-omong, aku mendapatkan alamat kantor Anda dari urusan arbitrase lelang. Mereka hanya mengatakan alamat institusi Anda tanpa memberitahu resume. Seharusnya aku tid
Sebelum makan malam, mereka berdoa dulu. Ameera ikut. Ini makan malam pengenangan, sama seperti yang Jicko katakan kemarin malam. Mereka akan mengenang kepergian Papa mertua dan kakek. Setelah itu, barulah mereka makan malam spesial. Masakan hidangan koki pribadi Maria. “Mama jangan murung begitu.” Jicko menegur. Dia tahu bahwa Maria sudah berubah sikap sejak berdoa dalam hati. Jicko memerhatikan. Maria tersenyum kecut sambil memaksa menelan makanan masuk ke dalam mulut. “Mama belum bisa lupain Papa kamu.” “Sudah tujuh belas tahun, Ma. Masa Mama enggak bisa move on?” “Bukan masalah melupakan yang Mama pikirkan. Tapi kenangannya yang Mama dambakan.” Jicko mendecak, “Sekalipun Papa mengkhianati Mama?” “Jicko ....” Maria menatap Ameera. Ucapannya tidak dilanjutkan. Ada menantunya di sana. Jangan sampai dia tahu kisah buruk ini. “Jangan bahas mereka di sini.” Maria melanjutkan makannya. Ameera melihat sang mertua, lalu balik melihat sang suami yang mendadak berwajah tidak menyenang
Satu jam berikutnya. “Silakan dinikmati.” Pelayan berkata ramah, memerintah sopan usai menghidangkan makanan di atas meja. Kemudian dia meninggalkan ruangan tertutup itu untuk Maria, Jicko dan istrinya. Mereka makan siang di tempat tertutup. Tidak mau diekspos. Mereka keluarga taipan yang jarang disorot media. Paling jarang. “Makan yang banyak Nak. Mama lihat kamu makin kurusan sekarang." Maria menegur sopan. Tangannya hendak menyodorkan steak yang sudah dipotong-potong dua bagian untuk Ameera. Sebagai gantinya, milik Ameera akan diambil Maria. Namun Jicko tak kalah cepat. Dia segera menghentikan tangan Mamanya. Jicko menyambar piring steak Mama, diletakkan kembali di tempatnya. “Ameera makan punyaku saja, Ma. Ini sudah dipotong-potong,” kata Jicko. Tangannya mengambil piring Ameera, diganti dengan piring keramik putih miliknya. Mama tidak membantah sama sekali. Bahkan tidak protes. Biarkan Jicko melakukannya. Itu kan haknya sebagai suami. Justeru Maria senang kau Jicko memperla
Hari berikutnya. Pagi, jam sembilan. “Sudah selesai, Bu?” tanya Ameera. Lawan bicara mengangguk. Dia berdiri di depan pintu. “Iya. Beres semua.” “Oh, oke. Ini Bu, ada sedikit buat Ibu.” Ameera menyodorkan amplop cokelat ke tangan perempuan agak tua itu. Dia pembersih di rumah Jicko. Sudah tiga tahun ini bekerja di sini. Dia datang sesuai jadwalnya. Seminggu tiga kali. Begitu pekerjaan selesai, dia lekas pulang. Ameera menunggu pembersih rumah itu menyelesaikan tugasnya, kemudian setelahnya dia akan berangkat ke kampus. Begitu rencana yang akan dilakukan. Jicko menitip pesan tadi. “Apa ini?” Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Buat ibu.” “Uang?" katanya memastikan dan menebak. Ameera mengangguk. “Tapi gajianku masih lama, Mbak. Kok mendadak dikasih uang? Apa aku bakal dipecat karena pekerjaanku kurang bagus?” Muka perempuan itu berubah tegang. Nada suaranya kentara gugup dan takut. Ameera mengulas senyum sopan. “Bukan, Bu. Ini bukan uang gaji atau uang pesangon terakhir. Ak
“Sebenarnya aku ada seminar di kampus kamu. Fakultas ekonomi dan bisnis. Itu kenapa aku bisa sampai cepat di sana, kurang dari sepuluh menit.” Jicko memberitahukan. Ameera menatapnya. Tidak terlalu terkejut. Biasa saja. Cuma, Ameera tidak berpikir kalau suaminya akan di sana. Mereka telah sampai di rumah, lima menit lalu. Jicko melepas suite-nya, lalu menggantung jas hitam itu di ruangan pakaian mereka. “Jadi tamu penting?” Ameera memastikan. Suaminya menoleh ke arah Ameera. “Ya, bisa dibilang begitu.” “Aku tahu dari Tasya. Katanya ada pengusaha muda, kepala group, datang ke kampus, hadir di acara seminar. Aku enggak nyangka kalau itu Mas Jicko." Ameera berkata pelan. Dia duduk di pinggir ranjang. “Aku enggak mau ngasih tahu kamu, biar kamu enggak kepikiran kenapa aku mendadak ada di sana. Aku tahu kamu enggak mau dijemput atau pulang bareng aku, kalau aku ketahuan ada di areal kampus. Makanya aku enggak bilang apa-apa." Jicko menjelaskan. “Kapan lagi ada seminar di kampusku, Ma
Siang, pukul dua belas. “Kenapa kamu ke sini!” Gino bertanya. Tatapannya sinis ketika melihat Jicko datang ke ruangan rawatnya, menggeser pintu untuk ditutup. Pandangan mata Jicko agaknya damai. Tidak menggebu-gebu. “Hanya mau menjenguk kamu,” kata Jicko santai. Dia berjalan melangkah mendekati ranjang tidur Gino. Pria itu mendengus tak suka, “Untuk apa? Kamu datang ke sini hanya untuk mentertawakan aku, kan? Mentertawakan betapa malangnya kehidupanku. Itu kan yang kamu mau!” Jicko menggeleng. “Enggak. Aku enggak ada niatan seperti itu!" “Halah, bullshit! Orang seperti kamu mana bisa dipercaya.” Gino mengalihkan perhatiannya. Jicko masih bersikap sabar. Sejak dia tahu Gino sakit seperti ini, badannya kurus kering, Jicko berusaha menahan amarahnya. Sebab, kalau diajak berdebat pun, rasanya takkan etis. Secara fisik, Jicko menang jika berkelahi dengan Gino. Namun alangkah baiknya kalau Jicko tidak memukul kakak iparnya yang juga temannya sekolahnya dulu. Meski tidak dekat-dekat am
Berjam-jam berikutnya, di kediaman Jicko. Pukul sepuluh malam. “Bisa ceritakan aku satu cerita menghibur, nggak? Aku mau dengar.” “Oke, cerita khusus untuk kamu." Jicko menjawab mantap. Dia mencium puncak kepala Ameera, sebelumnya. Perempuan itu tidur di ada dada Jicko. Mereka tidur di atas ranjang sembari berpelukan. Istilah katanya, memadu kasih. “Cerita ini khusus aku ceritakan ke kamu, karena kamu kasih aku hadiah spesial buat ulang tahunku. So, siap dengerinnya?" Jicko bicara dengan suara dalam. Ameera mengangguk. Maka Jicko mulai menceritakan kisahnya yang paling konyol seumur hidup. “Dulu, pas kelas satu SMA, aku pernah bilang ke Mama. Aku mau minta izin buat pelihara anjing. Kamu tahu apa jawaban Mama pas aku bilang begitu?" Jicko melirik istrinya. Dia mendongak, menatap sang suami. Kemudian menggeleng. “Mama bilang, ‘Mama sudah cukup capek ngurusin satu ekor anjing di rumah ini. Jangan nambah-nambah anjing lagi. Mama enggak sanggup ngurusin dua anjing.’ Terus Mama miji
Malam, tiga jam kemudian. “Mama benci kayak gini, Nak. Jicko ini enggak ada perubahan sama sekali. Suka betul pergi dadakan. Enggak bilang di awal. Tahu-tahu bilang pas sudah mau berangkat. Kebiasaan betul.” Maria mengomel sejak tadi. Sejak Ameera datang ke rumah ini, kemudian bilang dia akan tinggal di sini selama Jicko belum pulang. Dan juga bilang soal Jicko yang pergi ke Shanghai, Maria tidak berhenti mendumal kesal. “Mas Jicko bilang dia terburu-buru, Ma. Jadi enggak sempat buat ngabarin. Waktunya mepet sore tadi." Ameera menjelaskan. Meski sebenarnya, penjelasan Ameera tidak terlalu ditanggapi serius oleh Maria. “Mepet, mepet. Tapi dia enggak mikirin apa, sudah punya istri. Suka betul dia kayak gini. Merasa kayak enggak ada tanggung jawab. Mama telepon dia.” Maria meraih telepon genggamnya. Lantas langsung menghubungi anaknya itu. Dia mau protes. Dia ingin marah. Kenapa tabiat seperti ini tidak ada hilangnya. Namun sayang, ketika itu telepon genggam tidak terhubung sama sek
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg