Sebelum makan malam, mereka berdoa dulu. Ameera ikut. Ini makan malam pengenangan, sama seperti yang Jicko katakan kemarin malam. Mereka akan mengenang kepergian Papa mertua dan kakek. Setelah itu, barulah mereka makan malam spesial. Masakan hidangan koki pribadi Maria. “Mama jangan murung begitu.” Jicko menegur. Dia tahu bahwa Maria sudah berubah sikap sejak berdoa dalam hati. Jicko memerhatikan. Maria tersenyum kecut sambil memaksa menelan makanan masuk ke dalam mulut. “Mama belum bisa lupain Papa kamu.” “Sudah tujuh belas tahun, Ma. Masa Mama enggak bisa move on?” “Bukan masalah melupakan yang Mama pikirkan. Tapi kenangannya yang Mama dambakan.” Jicko mendecak, “Sekalipun Papa mengkhianati Mama?” “Jicko ....” Maria menatap Ameera. Ucapannya tidak dilanjutkan. Ada menantunya di sana. Jangan sampai dia tahu kisah buruk ini. “Jangan bahas mereka di sini.” Maria melanjutkan makannya. Ameera melihat sang mertua, lalu balik melihat sang suami yang mendadak berwajah tidak menyenang
Satu jam berikutnya. “Silakan dinikmati.” Pelayan berkata ramah, memerintah sopan usai menghidangkan makanan di atas meja. Kemudian dia meninggalkan ruangan tertutup itu untuk Maria, Jicko dan istrinya. Mereka makan siang di tempat tertutup. Tidak mau diekspos. Mereka keluarga taipan yang jarang disorot media. Paling jarang. “Makan yang banyak Nak. Mama lihat kamu makin kurusan sekarang." Maria menegur sopan. Tangannya hendak menyodorkan steak yang sudah dipotong-potong dua bagian untuk Ameera. Sebagai gantinya, milik Ameera akan diambil Maria. Namun Jicko tak kalah cepat. Dia segera menghentikan tangan Mamanya. Jicko menyambar piring steak Mama, diletakkan kembali di tempatnya. “Ameera makan punyaku saja, Ma. Ini sudah dipotong-potong,” kata Jicko. Tangannya mengambil piring Ameera, diganti dengan piring keramik putih miliknya. Mama tidak membantah sama sekali. Bahkan tidak protes. Biarkan Jicko melakukannya. Itu kan haknya sebagai suami. Justeru Maria senang kau Jicko memperla
Hari berikutnya. Pagi, jam sembilan. “Sudah selesai, Bu?” tanya Ameera. Lawan bicara mengangguk. Dia berdiri di depan pintu. “Iya. Beres semua.” “Oh, oke. Ini Bu, ada sedikit buat Ibu.” Ameera menyodorkan amplop cokelat ke tangan perempuan agak tua itu. Dia pembersih di rumah Jicko. Sudah tiga tahun ini bekerja di sini. Dia datang sesuai jadwalnya. Seminggu tiga kali. Begitu pekerjaan selesai, dia lekas pulang. Ameera menunggu pembersih rumah itu menyelesaikan tugasnya, kemudian setelahnya dia akan berangkat ke kampus. Begitu rencana yang akan dilakukan. Jicko menitip pesan tadi. “Apa ini?” Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Buat ibu.” “Uang?" katanya memastikan dan menebak. Ameera mengangguk. “Tapi gajianku masih lama, Mbak. Kok mendadak dikasih uang? Apa aku bakal dipecat karena pekerjaanku kurang bagus?” Muka perempuan itu berubah tegang. Nada suaranya kentara gugup dan takut. Ameera mengulas senyum sopan. “Bukan, Bu. Ini bukan uang gaji atau uang pesangon terakhir. Ak
“Sebenarnya aku ada seminar di kampus kamu. Fakultas ekonomi dan bisnis. Itu kenapa aku bisa sampai cepat di sana, kurang dari sepuluh menit.” Jicko memberitahukan. Ameera menatapnya. Tidak terlalu terkejut. Biasa saja. Cuma, Ameera tidak berpikir kalau suaminya akan di sana. Mereka telah sampai di rumah, lima menit lalu. Jicko melepas suite-nya, lalu menggantung jas hitam itu di ruangan pakaian mereka. “Jadi tamu penting?” Ameera memastikan. Suaminya menoleh ke arah Ameera. “Ya, bisa dibilang begitu.” “Aku tahu dari Tasya. Katanya ada pengusaha muda, kepala group, datang ke kampus, hadir di acara seminar. Aku enggak nyangka kalau itu Mas Jicko." Ameera berkata pelan. Dia duduk di pinggir ranjang. “Aku enggak mau ngasih tahu kamu, biar kamu enggak kepikiran kenapa aku mendadak ada di sana. Aku tahu kamu enggak mau dijemput atau pulang bareng aku, kalau aku ketahuan ada di areal kampus. Makanya aku enggak bilang apa-apa." Jicko menjelaskan. “Kapan lagi ada seminar di kampusku, Ma
Siang, pukul dua belas. “Kenapa kamu ke sini!” Gino bertanya. Tatapannya sinis ketika melihat Jicko datang ke ruangan rawatnya, menggeser pintu untuk ditutup. Pandangan mata Jicko agaknya damai. Tidak menggebu-gebu. “Hanya mau menjenguk kamu,” kata Jicko santai. Dia berjalan melangkah mendekati ranjang tidur Gino. Pria itu mendengus tak suka, “Untuk apa? Kamu datang ke sini hanya untuk mentertawakan aku, kan? Mentertawakan betapa malangnya kehidupanku. Itu kan yang kamu mau!” Jicko menggeleng. “Enggak. Aku enggak ada niatan seperti itu!" “Halah, bullshit! Orang seperti kamu mana bisa dipercaya.” Gino mengalihkan perhatiannya. Jicko masih bersikap sabar. Sejak dia tahu Gino sakit seperti ini, badannya kurus kering, Jicko berusaha menahan amarahnya. Sebab, kalau diajak berdebat pun, rasanya takkan etis. Secara fisik, Jicko menang jika berkelahi dengan Gino. Namun alangkah baiknya kalau Jicko tidak memukul kakak iparnya yang juga temannya sekolahnya dulu. Meski tidak dekat-dekat am
Berjam-jam berikutnya, di kediaman Jicko. Pukul sepuluh malam. “Bisa ceritakan aku satu cerita menghibur, nggak? Aku mau dengar.” “Oke, cerita khusus untuk kamu." Jicko menjawab mantap. Dia mencium puncak kepala Ameera, sebelumnya. Perempuan itu tidur di ada dada Jicko. Mereka tidur di atas ranjang sembari berpelukan. Istilah katanya, memadu kasih. “Cerita ini khusus aku ceritakan ke kamu, karena kamu kasih aku hadiah spesial buat ulang tahunku. So, siap dengerinnya?" Jicko bicara dengan suara dalam. Ameera mengangguk. Maka Jicko mulai menceritakan kisahnya yang paling konyol seumur hidup. “Dulu, pas kelas satu SMA, aku pernah bilang ke Mama. Aku mau minta izin buat pelihara anjing. Kamu tahu apa jawaban Mama pas aku bilang begitu?" Jicko melirik istrinya. Dia mendongak, menatap sang suami. Kemudian menggeleng. “Mama bilang, ‘Mama sudah cukup capek ngurusin satu ekor anjing di rumah ini. Jangan nambah-nambah anjing lagi. Mama enggak sanggup ngurusin dua anjing.’ Terus Mama miji
Malam, tiga jam kemudian. “Mama benci kayak gini, Nak. Jicko ini enggak ada perubahan sama sekali. Suka betul pergi dadakan. Enggak bilang di awal. Tahu-tahu bilang pas sudah mau berangkat. Kebiasaan betul.” Maria mengomel sejak tadi. Sejak Ameera datang ke rumah ini, kemudian bilang dia akan tinggal di sini selama Jicko belum pulang. Dan juga bilang soal Jicko yang pergi ke Shanghai, Maria tidak berhenti mendumal kesal. “Mas Jicko bilang dia terburu-buru, Ma. Jadi enggak sempat buat ngabarin. Waktunya mepet sore tadi." Ameera menjelaskan. Meski sebenarnya, penjelasan Ameera tidak terlalu ditanggapi serius oleh Maria. “Mepet, mepet. Tapi dia enggak mikirin apa, sudah punya istri. Suka betul dia kayak gini. Merasa kayak enggak ada tanggung jawab. Mama telepon dia.” Maria meraih telepon genggamnya. Lantas langsung menghubungi anaknya itu. Dia mau protes. Dia ingin marah. Kenapa tabiat seperti ini tidak ada hilangnya. Namun sayang, ketika itu telepon genggam tidak terhubung sama sek
Hujan deras melanda kota. Juna menepikan kendaraannya di pinggir jalan menuju ke arah bandara. Jalan malam itu sepi, sesuatu yang sangat mendukung pikir Juna. Mahasiswa itu membuka kancing baju Ameera. Dia tertawa sebelum memulai aksinya. Bibir Juna hendak mencium dada Ameera, tetapi perempuan yang hendak digapai malah sadar. Padahal itu kesempatan bagus, seharusnya. “Kak Juna ngapain?" Ameera menatap melotot. Spontan dia bertanya. Sebab dia bingung kenapa ada Juna di hadapannya. “Mau nyoba, senikmat apa kamu." Juna berkata santai. Dia melanjutkan aksinya. Tangan ingin meraba Ameera. Namun sekali lagi, Ameera berhasil menyangkal tangan kotor pria itu menyentuh sejengkal pun kulitnya. “Kak, jangan macam-macam. Kakak bisa dipidana kalau berani menyentuhku!" Ameera mengancam. Alih-alih takut, Juna malah tertawa penuh kemenangan. “Dipidana? Kamu punya bukti?" “Berengsek!” Ameera kelepasan. Tangannya tanpa sadar melepaskan satu tamparan keras. Bunyinya nyaring ketika tangan itu berh