Malam, tiga jam kemudian. “Mama benci kayak gini, Nak. Jicko ini enggak ada perubahan sama sekali. Suka betul pergi dadakan. Enggak bilang di awal. Tahu-tahu bilang pas sudah mau berangkat. Kebiasaan betul.” Maria mengomel sejak tadi. Sejak Ameera datang ke rumah ini, kemudian bilang dia akan tinggal di sini selama Jicko belum pulang. Dan juga bilang soal Jicko yang pergi ke Shanghai, Maria tidak berhenti mendumal kesal. “Mas Jicko bilang dia terburu-buru, Ma. Jadi enggak sempat buat ngabarin. Waktunya mepet sore tadi." Ameera menjelaskan. Meski sebenarnya, penjelasan Ameera tidak terlalu ditanggapi serius oleh Maria. “Mepet, mepet. Tapi dia enggak mikirin apa, sudah punya istri. Suka betul dia kayak gini. Merasa kayak enggak ada tanggung jawab. Mama telepon dia.” Maria meraih telepon genggamnya. Lantas langsung menghubungi anaknya itu. Dia mau protes. Dia ingin marah. Kenapa tabiat seperti ini tidak ada hilangnya. Namun sayang, ketika itu telepon genggam tidak terhubung sama sek
Hujan deras melanda kota. Juna menepikan kendaraannya di pinggir jalan menuju ke arah bandara. Jalan malam itu sepi, sesuatu yang sangat mendukung pikir Juna. Mahasiswa itu membuka kancing baju Ameera. Dia tertawa sebelum memulai aksinya. Bibir Juna hendak mencium dada Ameera, tetapi perempuan yang hendak digapai malah sadar. Padahal itu kesempatan bagus, seharusnya. “Kak Juna ngapain?" Ameera menatap melotot. Spontan dia bertanya. Sebab dia bingung kenapa ada Juna di hadapannya. “Mau nyoba, senikmat apa kamu." Juna berkata santai. Dia melanjutkan aksinya. Tangan ingin meraba Ameera. Namun sekali lagi, Ameera berhasil menyangkal tangan kotor pria itu menyentuh sejengkal pun kulitnya. “Kak, jangan macam-macam. Kakak bisa dipidana kalau berani menyentuhku!" Ameera mengancam. Alih-alih takut, Juna malah tertawa penuh kemenangan. “Dipidana? Kamu punya bukti?" “Berengsek!” Ameera kelepasan. Tangannya tanpa sadar melepaskan satu tamparan keras. Bunyinya nyaring ketika tangan itu berh
Masih malam yang sama. Waktu berputar ke waktu satu setengah jam lalu. Ketika itu Jicko baru saja keluar dari gate ‘Kedatangan Internasional’, bandara ibukota. “Pak, enggak mampir ke suatu tempat dulu?” Anda bertanya. Sesekali matanya melirik Jicko yang duduk tenang di kursi belakang. Melalui pantulan kaca, tentunya. “Tidak. Langsung pulang saja." “Baik, Pak!” Anda mengangguk. Dia tidak bertanya lagi. Malam itu, jam delapan, keduanya baru tiba di kota kami. Sekeluarnya dari bandara. Jicko dan Anda sampai dari Shanghai setelah melalui penerbangan panjang tujuh jam. Malam itu juga hujan deras. Petir menyambar berkilat-kilat. Pun berulang, bertalu-talu. Suaranya menggelegar berisik. Jicko melipat tangan di dada, matanya dipejam. Dia ingin tidur, tetapi jelas bahwa Jicko sedang tidak mengantuk saat itu. Namun sekonyong-kanyongnya, mendadak telepon genggam Jicko bersuara. Membuatnya mengalihkan perhatian ke arah gawai yang diletakkan di samping tempatnya duduk.“Peringatan keadaan d
“Pak, ada rapat para direksi hari ini. Anda mau hadir ke sana?” Tya bertanya. Sekretaris perempuan itu berdiri di depan meja kerja sang bos besar. Jicko sedang duduk sambil membuka layar tablet. Sedangkan tangan menopang kepala. Pria itu tengah melakukan video conference dengan orang yang ada di luar negara sana. Tetapi begitu Tya menyampaikan beritanya, Jicko menutup panggilan tersebut. “Rapat membahas apa?” tanya Jicko. “Sebenarnya, tidak datang juga tidak apa-apa. Ini bukan rapat resmi yang harus Anda datangi. Tetapi rapat ini bisa jadi penting, karena tim pengembang sedang melakukan uji presentasi proyek produk perusahaan yang baru. Mungkin Anda tertarik melihatnya. Ini simulator peluncur kendaraan.” “Produk ....?” “Oh, model kendaraan listrik, Pak. Jenis yang dipamerkan untuk proyek ini adalah kendaraan amfibi. Rapat sebentar lagi akan dimulai. Bapak akan hadir?” Tya memotong ucapan Jicko tadi. Namun jelas, dalam hal ini Jicko agak tertarik mengikuti langkah awal rapat. Dia
Jicko mengencangkan sabuk pengaman di badan Ameera. Mereka akan bersiap mengudara. Test drive pertama penerbangan helimob seri terbaru. Ameera menelan ludah gugup. Dia ketakutan, aslinya. Sebab kalau melirik ke samping kiri, dia berada jauh di atas puncak menara gedung. Dia takut ketinggian. Mereka telah berada di dalam helikopter. Kendaraan itu siap terbang. “Kita akan ke mana?” tanya Ameera. “Cuma uji coba di langit kota.” Jicko menjawab pendek. “Memangnya Mas Jicko bisa bawa helikopter? Aku baru tahu.” Jicko mendengus diikuti tawa remeh. “Aku punya lisensi penerbangan. Aku masuk kategori profesional, meski jarang menerbangkan helikopter.”“Belajar di mana?” “Di angkatan militer, sama petinggi panglima.” Jicko menjelaskan. Tangannya menarik tuas transmisi otomatis helikopter. Baling-baling moda transportasi itu berputar kencang. Dua detik berikutnya, kendaraan itu terangkat ke udara. Pengatur penerbangan dari bawah membuat kode kalau penerbangan berhasil. Jicko mengangguk, m
Hari berikutnya. “Ra, ke mana coat yang aku minta siapin!" Jicko berteriak heboh pagi ini. Dia berada di ruang wardrobe. Badan pria itu basah, selepas mandi. Rambutnya juga. Sementara Jicko berteriak lantang, Ameera sedang menyiapkan keperluan mereka untuk pergi beberapa hari kedepan. Jicko mengajaknya pergi ke hutan, kemah berdua. Perusahaan sedang mengadakan family gathering di Jawa barat. Jicko seharusnya ikut dalam rangka acara tahunan itu. Namun dia selalu menolak hadir. Tetapi kali ini dia ikut, walau tidak ikut dalam rombongan karyawan. Jicko ingin pergi berdua dengan sang istri, menggunakan off-road keluaran seri terbaru, yang kemarin sempat dipamerkan di kantor. Kendaraan baru produksi perusahaan Linux miliknya. “Sudah aku siapin, Mas. Di atas kasur.” Ameera balas berteriak. Jicko keluar dari ruangan tata busana, berdiri di depan dinding kaca luas dan lebar. Dia mengenakan setelan kasual. Amat-amat kasual, sudah seperti seorang atlit penunggang kuda. Memakai celana putih
“Kamu takut hutan?" Jicko bertanya. Sesekali dia menyeletuk. Sebab jika dilirik berkali-kali, Ameera ini orangnya banyak diam. Sedangkan mereka sudah di dalam hutan. Sore menjelang. Di pinggir danau dengan air yang sangat jernih bak kaca. Ameera duduk melamun dekat dengan sumber perapian, sedangkan suaminya memasang tenda yang menyatu dengan kendaraan off-road. Untuk perlengkapan memasak, semuanya tersedia. Mobil baru ini memiliki segalanya buat perlengkapan kemah. Termasuk tenda dan semua yang dibutuhkan untuk kemping di hutan itu. Tenda yang terpasang juga amat luas. Setara luas kamar mereka di rumah. Tenda putih itu sempurna sudah berdiri. Meski sekali-kali berkibar dihembus angin kencang. Sementara itu, air hangat yang sedang dipanaskan di kompor induksi listrik mulai beruap. “Aku enggak kepikiran hantu. Mana ada aku takut.” Ameera mendelik. Jicko mendekatinya. “Terus kenapa diam?” “Aku enggak tahu mau bilang apa deh. Soalnya ya, aku kehilangan kata-kata buat diucapkan.” Ji
Hujan telah reda. Tiga jam berikutnya. “Itu planet Mars.” Jicko memberitahu. Tangannya menunjuk ke langit. Mereka sedang meneropong luar angkasa di atas atap mobil. Menggunakan lensa teropong jelajah luar angkasa paling canggih. Ada dua kursi di atas atas off-road itu. Sementara sembari mengamati luar angkasa, tangan mereka saling berpegangan. Ameera memasukkan tangannya ke dalam saku coat sang suami. Benar sekali, malam ini amat dingin pasca hujan. “Kalau yang itu?” tanya Ameera. Dia menunjuk bintang paling bersinar terang di sisi timur langit. Jicko mengarahkan teleskopnya ke arah yang sang istri maksud. “Itu .., bintang timur mungkin.” Jicko kemudian melirik istrinya. Pasal soal perbintangan, planet dan luar angkasa, Jicko kurang paham sama sekali. Tetapi dia paling suka mengamati malam. Cukup indah untuk disaksikan. “Pake ini. Nanti kamu kedinginan." Jicko mengikatkan syal di leher sang istri. Ada bercak merah di sana. Dia malah tertawa. Itu hasil ciptaannya. “Makasih, Mas.
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg