Masih malam yang sama. Waktu berputar ke waktu satu setengah jam lalu. Ketika itu Jicko baru saja keluar dari gate ‘Kedatangan Internasional’, bandara ibukota. “Pak, enggak mampir ke suatu tempat dulu?” Anda bertanya. Sesekali matanya melirik Jicko yang duduk tenang di kursi belakang. Melalui pantulan kaca, tentunya. “Tidak. Langsung pulang saja." “Baik, Pak!” Anda mengangguk. Dia tidak bertanya lagi. Malam itu, jam delapan, keduanya baru tiba di kota kami. Sekeluarnya dari bandara. Jicko dan Anda sampai dari Shanghai setelah melalui penerbangan panjang tujuh jam. Malam itu juga hujan deras. Petir menyambar berkilat-kilat. Pun berulang, bertalu-talu. Suaranya menggelegar berisik. Jicko melipat tangan di dada, matanya dipejam. Dia ingin tidur, tetapi jelas bahwa Jicko sedang tidak mengantuk saat itu. Namun sekonyong-kanyongnya, mendadak telepon genggam Jicko bersuara. Membuatnya mengalihkan perhatian ke arah gawai yang diletakkan di samping tempatnya duduk.“Peringatan keadaan d
“Pak, ada rapat para direksi hari ini. Anda mau hadir ke sana?” Tya bertanya. Sekretaris perempuan itu berdiri di depan meja kerja sang bos besar. Jicko sedang duduk sambil membuka layar tablet. Sedangkan tangan menopang kepala. Pria itu tengah melakukan video conference dengan orang yang ada di luar negara sana. Tetapi begitu Tya menyampaikan beritanya, Jicko menutup panggilan tersebut. “Rapat membahas apa?” tanya Jicko. “Sebenarnya, tidak datang juga tidak apa-apa. Ini bukan rapat resmi yang harus Anda datangi. Tetapi rapat ini bisa jadi penting, karena tim pengembang sedang melakukan uji presentasi proyek produk perusahaan yang baru. Mungkin Anda tertarik melihatnya. Ini simulator peluncur kendaraan.” “Produk ....?” “Oh, model kendaraan listrik, Pak. Jenis yang dipamerkan untuk proyek ini adalah kendaraan amfibi. Rapat sebentar lagi akan dimulai. Bapak akan hadir?” Tya memotong ucapan Jicko tadi. Namun jelas, dalam hal ini Jicko agak tertarik mengikuti langkah awal rapat. Dia
Jicko mengencangkan sabuk pengaman di badan Ameera. Mereka akan bersiap mengudara. Test drive pertama penerbangan helimob seri terbaru. Ameera menelan ludah gugup. Dia ketakutan, aslinya. Sebab kalau melirik ke samping kiri, dia berada jauh di atas puncak menara gedung. Dia takut ketinggian. Mereka telah berada di dalam helikopter. Kendaraan itu siap terbang. “Kita akan ke mana?” tanya Ameera. “Cuma uji coba di langit kota.” Jicko menjawab pendek. “Memangnya Mas Jicko bisa bawa helikopter? Aku baru tahu.” Jicko mendengus diikuti tawa remeh. “Aku punya lisensi penerbangan. Aku masuk kategori profesional, meski jarang menerbangkan helikopter.”“Belajar di mana?” “Di angkatan militer, sama petinggi panglima.” Jicko menjelaskan. Tangannya menarik tuas transmisi otomatis helikopter. Baling-baling moda transportasi itu berputar kencang. Dua detik berikutnya, kendaraan itu terangkat ke udara. Pengatur penerbangan dari bawah membuat kode kalau penerbangan berhasil. Jicko mengangguk, m
Hari berikutnya. “Ra, ke mana coat yang aku minta siapin!" Jicko berteriak heboh pagi ini. Dia berada di ruang wardrobe. Badan pria itu basah, selepas mandi. Rambutnya juga. Sementara Jicko berteriak lantang, Ameera sedang menyiapkan keperluan mereka untuk pergi beberapa hari kedepan. Jicko mengajaknya pergi ke hutan, kemah berdua. Perusahaan sedang mengadakan family gathering di Jawa barat. Jicko seharusnya ikut dalam rangka acara tahunan itu. Namun dia selalu menolak hadir. Tetapi kali ini dia ikut, walau tidak ikut dalam rombongan karyawan. Jicko ingin pergi berdua dengan sang istri, menggunakan off-road keluaran seri terbaru, yang kemarin sempat dipamerkan di kantor. Kendaraan baru produksi perusahaan Linux miliknya. “Sudah aku siapin, Mas. Di atas kasur.” Ameera balas berteriak. Jicko keluar dari ruangan tata busana, berdiri di depan dinding kaca luas dan lebar. Dia mengenakan setelan kasual. Amat-amat kasual, sudah seperti seorang atlit penunggang kuda. Memakai celana putih
“Kamu takut hutan?" Jicko bertanya. Sesekali dia menyeletuk. Sebab jika dilirik berkali-kali, Ameera ini orangnya banyak diam. Sedangkan mereka sudah di dalam hutan. Sore menjelang. Di pinggir danau dengan air yang sangat jernih bak kaca. Ameera duduk melamun dekat dengan sumber perapian, sedangkan suaminya memasang tenda yang menyatu dengan kendaraan off-road. Untuk perlengkapan memasak, semuanya tersedia. Mobil baru ini memiliki segalanya buat perlengkapan kemah. Termasuk tenda dan semua yang dibutuhkan untuk kemping di hutan itu. Tenda yang terpasang juga amat luas. Setara luas kamar mereka di rumah. Tenda putih itu sempurna sudah berdiri. Meski sekali-kali berkibar dihembus angin kencang. Sementara itu, air hangat yang sedang dipanaskan di kompor induksi listrik mulai beruap. “Aku enggak kepikiran hantu. Mana ada aku takut.” Ameera mendelik. Jicko mendekatinya. “Terus kenapa diam?” “Aku enggak tahu mau bilang apa deh. Soalnya ya, aku kehilangan kata-kata buat diucapkan.” Ji
Hujan telah reda. Tiga jam berikutnya. “Itu planet Mars.” Jicko memberitahu. Tangannya menunjuk ke langit. Mereka sedang meneropong luar angkasa di atas atap mobil. Menggunakan lensa teropong jelajah luar angkasa paling canggih. Ada dua kursi di atas atas off-road itu. Sementara sembari mengamati luar angkasa, tangan mereka saling berpegangan. Ameera memasukkan tangannya ke dalam saku coat sang suami. Benar sekali, malam ini amat dingin pasca hujan. “Kalau yang itu?” tanya Ameera. Dia menunjuk bintang paling bersinar terang di sisi timur langit. Jicko mengarahkan teleskopnya ke arah yang sang istri maksud. “Itu .., bintang timur mungkin.” Jicko kemudian melirik istrinya. Pasal soal perbintangan, planet dan luar angkasa, Jicko kurang paham sama sekali. Tetapi dia paling suka mengamati malam. Cukup indah untuk disaksikan. “Pake ini. Nanti kamu kedinginan." Jicko mengikatkan syal di leher sang istri. Ada bercak merah di sana. Dia malah tertawa. Itu hasil ciptaannya. “Makasih, Mas.
“Langsung bawa ke kamar!" Maria memerintah. “Keluhannya apa?” Dokter menyahut.“Nanti dijelaskan, Dok. Istriku sedang menahan sakit dari tadi.” Jicko mengabaikan pertanyaan sang dokter. Dia dan Ameera baru saja sampai di rumah Maria. Begitu tiba di depan pintu, mereka sudah disambut oleh Maria, dokter perempuan dan asistennya. Juga bibi pelayan dan beberapa yang bertugas di sana. Jicko menggendong Ameera menuju ke kamarnya di rumah utama keluarga. Dokter dan Maria mengekori langkahnya. Jicko suami yang sangat berhati-hati. Dia begitu memperhatikan keadaan sang istri. “Silakan diperiksa, Dok. Perutnya mendadak kram sama agak nyeri sedikit, terus keras dari biasanya. Sama dia mulai mual tadi pagi.” Jicko menjelaskan. Ameera sudah dibaringkan di atas kasur. Dokter segera ambil tindakan begitu mendapatkan laporan dari suami pasien. Suster yang dibawa ikut membantu. Mereka mengecek kesehatan tegangan darah Ameera dahulu. Kemudian barulah melakukan pemeriksaan lain, terutama detak jant
Waktu libur masih ada. Jicko sedang berada di rumah Maria. Ibunya meminta dia dan istrinya tinggal di sini. Maria akan menjaga Ameera selama perempuan itu hamil. Pagi ini Maria telah bersiap-siap akan pergi. Dia melangkah terburu-buru menemui anaknya yang duduk membaca majalah di ruang tengah. Masih mengenakan baju santai, sweater Cardigan rajut dan baju kaos putih polos. “Anterin Mama sama Ameera ke Supermarket!” kata Maria sembari memasang anting-anting. Dahi Jicko mengerut sambil menatap muka sang ibu. “Hah! Tumben! Biasanya Mama enggak pernah pergi ke sana.” “Mama mau belanja keperluan nutrisi Ameera. Mau beli susu, penambah gizi ibu hamil dan lainnya.” “Biasanya bibi yang beli?” Jicko menyangkal. Namun dia harus ingat, Maria yang diajaknya berdebat pagi ini. Dia counter Jicko. “Jangan banyak cincong. Cepetan ganti baju. Siap-siap. Mama tunggu di luar sekarang!” Maria memerintah tegas. Jicko tidak segera menjawab atau membantah lagi. Tatapan matanya memicing tidak senang. H