“Kamu takut hutan?" Jicko bertanya. Sesekali dia menyeletuk. Sebab jika dilirik berkali-kali, Ameera ini orangnya banyak diam. Sedangkan mereka sudah di dalam hutan. Sore menjelang. Di pinggir danau dengan air yang sangat jernih bak kaca. Ameera duduk melamun dekat dengan sumber perapian, sedangkan suaminya memasang tenda yang menyatu dengan kendaraan off-road. Untuk perlengkapan memasak, semuanya tersedia. Mobil baru ini memiliki segalanya buat perlengkapan kemah. Termasuk tenda dan semua yang dibutuhkan untuk kemping di hutan itu. Tenda yang terpasang juga amat luas. Setara luas kamar mereka di rumah. Tenda putih itu sempurna sudah berdiri. Meski sekali-kali berkibar dihembus angin kencang. Sementara itu, air hangat yang sedang dipanaskan di kompor induksi listrik mulai beruap. “Aku enggak kepikiran hantu. Mana ada aku takut.” Ameera mendelik. Jicko mendekatinya. “Terus kenapa diam?” “Aku enggak tahu mau bilang apa deh. Soalnya ya, aku kehilangan kata-kata buat diucapkan.” Ji
Hujan telah reda. Tiga jam berikutnya. “Itu planet Mars.” Jicko memberitahu. Tangannya menunjuk ke langit. Mereka sedang meneropong luar angkasa di atas atap mobil. Menggunakan lensa teropong jelajah luar angkasa paling canggih. Ada dua kursi di atas atas off-road itu. Sementara sembari mengamati luar angkasa, tangan mereka saling berpegangan. Ameera memasukkan tangannya ke dalam saku coat sang suami. Benar sekali, malam ini amat dingin pasca hujan. “Kalau yang itu?” tanya Ameera. Dia menunjuk bintang paling bersinar terang di sisi timur langit. Jicko mengarahkan teleskopnya ke arah yang sang istri maksud. “Itu .., bintang timur mungkin.” Jicko kemudian melirik istrinya. Pasal soal perbintangan, planet dan luar angkasa, Jicko kurang paham sama sekali. Tetapi dia paling suka mengamati malam. Cukup indah untuk disaksikan. “Pake ini. Nanti kamu kedinginan." Jicko mengikatkan syal di leher sang istri. Ada bercak merah di sana. Dia malah tertawa. Itu hasil ciptaannya. “Makasih, Mas.
“Langsung bawa ke kamar!" Maria memerintah. “Keluhannya apa?” Dokter menyahut.“Nanti dijelaskan, Dok. Istriku sedang menahan sakit dari tadi.” Jicko mengabaikan pertanyaan sang dokter. Dia dan Ameera baru saja sampai di rumah Maria. Begitu tiba di depan pintu, mereka sudah disambut oleh Maria, dokter perempuan dan asistennya. Juga bibi pelayan dan beberapa yang bertugas di sana. Jicko menggendong Ameera menuju ke kamarnya di rumah utama keluarga. Dokter dan Maria mengekori langkahnya. Jicko suami yang sangat berhati-hati. Dia begitu memperhatikan keadaan sang istri. “Silakan diperiksa, Dok. Perutnya mendadak kram sama agak nyeri sedikit, terus keras dari biasanya. Sama dia mulai mual tadi pagi.” Jicko menjelaskan. Ameera sudah dibaringkan di atas kasur. Dokter segera ambil tindakan begitu mendapatkan laporan dari suami pasien. Suster yang dibawa ikut membantu. Mereka mengecek kesehatan tegangan darah Ameera dahulu. Kemudian barulah melakukan pemeriksaan lain, terutama detak jant
Waktu libur masih ada. Jicko sedang berada di rumah Maria. Ibunya meminta dia dan istrinya tinggal di sini. Maria akan menjaga Ameera selama perempuan itu hamil. Pagi ini Maria telah bersiap-siap akan pergi. Dia melangkah terburu-buru menemui anaknya yang duduk membaca majalah di ruang tengah. Masih mengenakan baju santai, sweater Cardigan rajut dan baju kaos putih polos. “Anterin Mama sama Ameera ke Supermarket!” kata Maria sembari memasang anting-anting. Dahi Jicko mengerut sambil menatap muka sang ibu. “Hah! Tumben! Biasanya Mama enggak pernah pergi ke sana.” “Mama mau belanja keperluan nutrisi Ameera. Mau beli susu, penambah gizi ibu hamil dan lainnya.” “Biasanya bibi yang beli?” Jicko menyangkal. Namun dia harus ingat, Maria yang diajaknya berdebat pagi ini. Dia counter Jicko. “Jangan banyak cincong. Cepetan ganti baju. Siap-siap. Mama tunggu di luar sekarang!” Maria memerintah tegas. Jicko tidak segera menjawab atau membantah lagi. Tatapan matanya memicing tidak senang. H
Jicko terdiam sejak meninggalkan mall. Dia tidak banyak bicara. Tidak membahas apapun lagi. Ameera menyadari satu hal. Suaminya sudah berubah. Padahal sebelum meninggalkan mall, dia baik-baik saja. Dalam mobil yang dikendarainya, hanya ada Ameera dan Jicko. Sang Mama diantar pulang oleh sopir pribadinya. “Mas kenapa? Ada yang terjadi?" Ameera menyentuh bahu suaminya. Jicko cepat menggeleng. “Enggak ada, Ra.” “Beneran?" “Ya. Enggak ada yang terjadi.” “Oh, oke deh. Aku kira kenapa. Soalnya Mas diem aja dari tadi.” Ameera menatap ke depan lagi. Tidak melirik suaminya kembali. Sementara itu, Jicko sedang kepikiran soal ibunya anak kecil tadi. Dia adalah perempuan itu. Perempuan di masa lalu Jicko. Orang yang pernah bercinta dengannya. Dia adalah Aryana. Perempuan itu sudah punya anak.Satu hal yang membuat Jicko kepikiran. Lama tidak berjumpa, dua belas tahun lamanya, kini ketika mereka bertemu, dia sudah memiliki anak. Apakah mungkin itu anak ....Jicko mendengus! Kepalanya menggel
Jicko berjalan pelan mendekati ranjang tidur. Dia baru saja pulang ke rumah. Begitu masuk kamar, lampu di sana sudah dimatikan. Dan Ameera telah terlelap tidur dengan selimut membungkus badan. Jicko menghela napas sengal. Dia langsung ambil posisi, masuk ke dalam selimut. Berbaring di samping istrinya. Sesekali dia memerhatikan wajah Ameera yang tidur damai. Namun jelas, wajah Jicko saat itu terlihat tegang. “Aku minta maaf!" kata Jicko pelan sambil tangannya meraba perut sang istri. “Aku minta maaf kalau besok-besok kamu bakal tahu kenyataan pahit lainnya. Aku enggak bermaksud begitu, bikin kamu terluka. Tetapi kadang-kadang memang badai bencana itu datang di saat laut sedang tenang.” “Eh, Mas!” Ameera terbangun dari tidurnya. Jicko cepat-cepat menjauhi tangannya dari pipi sang istri. “Maaf, Ra. Kamu jadi kebangunan." “Aku yang harus minta maaf. Aku ketiduran. Padahal dari tadi nungguin Mas pulang. Mau dibuatin teh?” Ameera menyibak selimut, cepat tanggap ingin melompat dari kas
Satu setengah jam, penerbangan menuju ke Singapura. Pukul enam sore. Saat itu Jicko dan Ameera ikut dalam penerbangan singkat kelas business executive. Begitu sampai, taksi bandara yang parkir di depan pintu kedatangan internasional (international arrive) sudah tersedia. Mereka menaiki itu, minta diantarkan ke gedung hotel plaza. Tempat pertemuan yang akan mereka hadiri. “Kita enggak lama di sini. Jam sepuluh malam kita pulang.” Jicko melirik arloji di tangannya. Dia memberitahu. Ameera mengulum bibirnya. Kepala mengangguk. Lima belas menit, sampailah mereka di lobi hotel plaza. Beberapa petugas di sana menyambut ramah, menunjuk jalan ke mana mereka harus lewat untuk sampai di tempat acara. “Mr. Jicko, thanks for coming.” Pria tua menyapa. Dia menyalami tangan Jicko. Diikuti dengan senyum sopan. Pria itu anak dari mantan perdana menteri Singapura. Mukanya oriental Chinese. Mata sipit. (Tuan Jicko, terima kasih sudah datang.)“Of course.” Jicko mengangguk, “This is my wife. Her na
Jam setengah satu malam. Jicko dan Ameera baru saja pulang dari Singapura. Dijemput menggunakan helikopter pribadi. Pesawat ulang-alik sederhana itu mendarat di helipad puncak menara gedung hotel, pinggiran pantai kota Jakarta. Sopir pribadi Maria menjemput mereka di lobi gedung. Sesampainya di rumah, Jicko menggantungkan coat tebal hitamnya di tree hanger. Sedangkan Ameera, dia duduk di pinggir ranjang. Sejak tadi dia memerhatikan suaminya. Dia kenapa lagi? Kenapa Jicko mendadak jadi menghindari Ameera—baik itu dalam percakapan atau tatapan mata. Ada sesuatu yang dipikirkan si pria jangkung itu. “Kamu enggak mandi dulu?” Jicko bertanya. Dia melepaskan semua pakaian yang melekat di badan. Ameera menggeleng, “Enggak. Aku cuma bersihin makeup aja.” “Oke kalau gitu. Aku mandi dulu.” Jicko mengikat handuk di pinggang. Sesaat kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi. Ameera menatap jengah. Dalam hati bertanya-tanya. Apa yang sedang Jicko pikirkan. Aneh sekali. Tidak bi