Satu setengah jam, penerbangan menuju ke Singapura. Pukul enam sore. Saat itu Jicko dan Ameera ikut dalam penerbangan singkat kelas business executive. Begitu sampai, taksi bandara yang parkir di depan pintu kedatangan internasional (international arrive) sudah tersedia. Mereka menaiki itu, minta diantarkan ke gedung hotel plaza. Tempat pertemuan yang akan mereka hadiri. “Kita enggak lama di sini. Jam sepuluh malam kita pulang.” Jicko melirik arloji di tangannya. Dia memberitahu. Ameera mengulum bibirnya. Kepala mengangguk. Lima belas menit, sampailah mereka di lobi hotel plaza. Beberapa petugas di sana menyambut ramah, menunjuk jalan ke mana mereka harus lewat untuk sampai di tempat acara. “Mr. Jicko, thanks for coming.” Pria tua menyapa. Dia menyalami tangan Jicko. Diikuti dengan senyum sopan. Pria itu anak dari mantan perdana menteri Singapura. Mukanya oriental Chinese. Mata sipit. (Tuan Jicko, terima kasih sudah datang.)“Of course.” Jicko mengangguk, “This is my wife. Her na
Jam setengah satu malam. Jicko dan Ameera baru saja pulang dari Singapura. Dijemput menggunakan helikopter pribadi. Pesawat ulang-alik sederhana itu mendarat di helipad puncak menara gedung hotel, pinggiran pantai kota Jakarta. Sopir pribadi Maria menjemput mereka di lobi gedung. Sesampainya di rumah, Jicko menggantungkan coat tebal hitamnya di tree hanger. Sedangkan Ameera, dia duduk di pinggir ranjang. Sejak tadi dia memerhatikan suaminya. Dia kenapa lagi? Kenapa Jicko mendadak jadi menghindari Ameera—baik itu dalam percakapan atau tatapan mata. Ada sesuatu yang dipikirkan si pria jangkung itu. “Kamu enggak mandi dulu?” Jicko bertanya. Dia melepaskan semua pakaian yang melekat di badan. Ameera menggeleng, “Enggak. Aku cuma bersihin makeup aja.” “Oke kalau gitu. Aku mandi dulu.” Jicko mengikat handuk di pinggang. Sesaat kemudian, dia melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi. Ameera menatap jengah. Dalam hati bertanya-tanya. Apa yang sedang Jicko pikirkan. Aneh sekali. Tidak bi
Ada begitu banyak mainan lama Jicko, sewaktu kecil. Rupanya barang-barang itu tidak mau dibuangnya atau didonasikan ke rumah panti asuhan. Dia cukup pelit. Namun ketika bibi bercerita, di sela-sela mereka membereskan ruangan besar yang menumpuk barang tidak terpakai itu, Ameera jadi tahu satu hal. Bukan Jicko tidak mau membuang semuanya. Tetapi dia hanya tidak mau. Kata bibi, dia punya alasan khusus. “Den Jicko itu orangnya waktu kecil banyak diem, Mbak. Dia itu lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, main sendiri di kamarnya. Makanya semua barang-barang enggak mau dikasih ke orang lain.” Bibi menjelaskan kembali. Ameera sesekali melirik bibi pelayan. Tangan mereka cekatan memasukkan semuanya ke dalam box besar. “Eh, Mbak. Jangan angkat yang itu. Mbak Ameera kan lagi hamil, enggak boleh angkat yang berat-berat. Nanti Den Jicko marah kalau tahu ini. Biar bibi aja.” Perempuan berusia uzur itu meraih box dari tangan Ameera. Perempuan muda mengangguk. Dia takkan membantah. Giliran
“Enggak ada hal yang perlu kita bicarakan. Berhenti mengganggu kehidupanku!” Aryana menegaskan. Mukanya tidak bersahabat. Dia acuh. Perempuan itu berdiri di samping Jicko. Tangan melipat di dada. Siang itu matahari terik. Aryana menggunakan kerudung yang diikat di bawah leher. Itu mode pakaian terbaru, pernah diperagakan model luar negeri. Lengkap dengan kaca mata besar dan tas kulit hewan paling mahal. Dia mengenakan dress sampai di tulang kering kaki. Angin kencang berhembus, mengibarkan pakaian keduanya. Mereka berdiri di rooftop paling atas bangunan di samping restoran. Memandang jauh nun di depan sana. “Aku hanya memastikan kalau anak yang beberapa waktu lalu itu bukan anakku!” Jicko berkata tegas. Dia menghela napas. Di depan mereka pagar pembatas rooftop beton setinggi pinggang. “Aku sudah katakan malam itu. Tidak ada hal yang perlu kamu tahu dari anakku, aku bahkan keluargaku!” “Aku tidak peduli tentang yang lain. Aku hanya memastikan kalau anak itu bukan anakku!” Jicko s
“Mau pesan minum dulu?” “Enggak. Aku belum haus.” Ameera menjawab ramah. Dia menarik belakang kursi, lalu duduk di tempatnya. Sesuai janji, dia akan memenuhi ucapan Aryana buat bertemu. Tentu saja di kafe itu. Di salah satu kursi yang jauh dari ruangan utama kafe. Mereka ada di lantai dua. Di rooftop. Sembari menyaksikan kendaraan lewat di bawahnya. Suasana di kafe itu persis ketika berada di Eropa. Mulai dari bangunannya sampai bentuk persegi tempat. Ini adalah distrik bisnis terkenal seantero kota. Mirip di Yunani. “By the way, aku suka dengan riasan kamu. Bagus.” “Terima kasih.” Ameera mengulum senyum. Aryana juga. Kemudian perempuan yang lima tahun lebih tua daripada Ameera itu menyandarkan punggung di sandaran kursi. Tangan melipat di dada. Dia memerhatikan lamat-lamat wajah sang lawan bicara. “Gimana kabarnya?” Aryana membuka percakapan lain.“Aku selalu sehat.” “Oh, ya? Bagus deh. Aku cuk
“Ini kram normal, Pak. Bukan masalah serius. Memang sering terjadi pada ibu hamil muda.” Dokter perempuan menjelaskan. Jicko menggigit bibir bawahnya. Helaan napas terdengar. Begitu dia dapat telepon dari rumah sakit yang menyatakan istrinya itu di sana, dia langsung bergegas. Dia cemas bukan main. Jika di luar sana banyak lelaki tidak peduli dengan istrinya, apalagi tengah mengandung, maka Jicko bukan bagian dari salah satunya. Dia takkan begitu. Dia manusia. Dia punya hati nurani. Sebagai suami, dia sangat bertanggungjawab. Apalagi itu menyangkut nyawa anaknya. Jika di luar sana, orang kaya digambarkan sebagai sosok yang bengis dan kejam, seperti di dalam cerita novel romansa. Maka Jicko akan membantah hal itu. Tidak ada orang kaya sekejam itu. “Cuma itu, dok?” Jicko memastikan. “Iya, Pak. Jadi, enggak perlu khawatir. Kami sudah memberikan obat pencahar dosis rendah. Perut ibu Ameera berisi gas, karena dia memakan sesuatu di saat y
Kilas balik beberapa jam lalu. Perbincangan Ameera dan Aryana di kafetaria. Sebelum kejadian keram di perut terjadi. “Suami kamu bertemu denganku tadi. Kami membicarakan banyak hal.” Aryana memberitahu, “Dia mencurigaiku sejak kami bertemu di mall waktu itu, dengan ibu kamu dan anakku. Dia menuding kalau Prince anaknya. Jadi dia terus ingin menggangguku jika aku tidak mengatakan tentang kebenaran ini.” Aryana meneguk minumannya sebelum melanjutkan ucapan. Lalu diletakkan kembali di atas meja. Punggungnya kembali disandarkan di sandaran kursi. “Lalu aku bilang kalau itu bukan anaknya. Hubungan kami dua belas tahun lalu tidak menghasilkan apapun. Sekalipun ketika dia memaksa aku hamil waktu itu, aku tidak akan bisa. Karena aku diagnosis tidak bisa punya anak. Rahimku bermasalah.” “Kamu tahu alasan lain kenapa dia ingin menemuiku?” Aryana mendekatkan wajahnya dengan Ameera. Dia berbisik pelan. “Karena dia punya keyakinan kalau Prince itu anaknya,
Hari berikutnya. “Kalian bertengkar?” tanya Maria. Dia melirik anaknya dan sang menantu. Pagi itu mereka sedang sarapan bersama. Jicko duduk di depannya dan Ameera duduk di samping sang suami. Tidak ada keromantisan sama sekali yang terlihat. Tidak seperti biasanya. Maria memahami hal itu. Terutama perubahan sikap yang hangat menjadi dingin. Mereka sedang tidak baik-baik saja. Apalagi keduanya tidak terlibat percakapan bahasa yang cukup panjang. “Enggak.” Jicko menjawab cuek. Sekali makanan disendok ke dalam mulut. “Benar itu, Nak?” Maria bertanya pada Ameera. Ditatapnya tajam sorot wajah sang menantu. “Iya, Ma.” Ameera menganggukkan kepalanya bimbang. Namun jelas, insting seorang ibu takkan bisa dimanipulasi. “Apa masalahnya?” “Eh!” Mata Ameera melotot. Kalau Maria sudah berkata begitu, maka bahasa tubuh Ameera sudah terbaca. Dia takkan mampu membohongi Maria. Dia hafal betul bagaimana ekspresi Ameera k