“Ini kram normal, Pak. Bukan masalah serius. Memang sering terjadi pada ibu hamil muda.” Dokter perempuan menjelaskan.
Jicko menggigit bibir bawahnya. Helaan napas terdengar. Begitu dia dapat telepon dari rumah sakit yang menyatakan istrinya itu di sana, dia langsung bergegas. Dia cemas bukan main.Jika di luar sana banyak lelaki tidak peduli dengan istrinya, apalagi tengah mengandung, maka Jicko bukan bagian dari salah satunya. Dia takkan begitu. Dia manusia. Dia punya hati nurani. Sebagai suami, dia sangat bertanggungjawab. Apalagi itu menyangkut nyawa anaknya.Jika di luar sana, orang kaya digambarkan sebagai sosok yang bengis dan kejam, seperti di dalam cerita novel romansa. Maka Jicko akan membantah hal itu. Tidak ada orang kaya sekejam itu.“Cuma itu, dok?” Jicko memastikan.“Iya, Pak. Jadi, enggak perlu khawatir. Kami sudah memberikan obat pencahar dosis rendah. Perut ibu Ameera berisi gas, karena dia memakan sesuatu di saat yKilas balik beberapa jam lalu. Perbincangan Ameera dan Aryana di kafetaria. Sebelum kejadian keram di perut terjadi. “Suami kamu bertemu denganku tadi. Kami membicarakan banyak hal.” Aryana memberitahu, “Dia mencurigaiku sejak kami bertemu di mall waktu itu, dengan ibu kamu dan anakku. Dia menuding kalau Prince anaknya. Jadi dia terus ingin menggangguku jika aku tidak mengatakan tentang kebenaran ini.” Aryana meneguk minumannya sebelum melanjutkan ucapan. Lalu diletakkan kembali di atas meja. Punggungnya kembali disandarkan di sandaran kursi. “Lalu aku bilang kalau itu bukan anaknya. Hubungan kami dua belas tahun lalu tidak menghasilkan apapun. Sekalipun ketika dia memaksa aku hamil waktu itu, aku tidak akan bisa. Karena aku diagnosis tidak bisa punya anak. Rahimku bermasalah.” “Kamu tahu alasan lain kenapa dia ingin menemuiku?” Aryana mendekatkan wajahnya dengan Ameera. Dia berbisik pelan. “Karena dia punya keyakinan kalau Prince itu anaknya,
Hari berikutnya. “Kalian bertengkar?” tanya Maria. Dia melirik anaknya dan sang menantu. Pagi itu mereka sedang sarapan bersama. Jicko duduk di depannya dan Ameera duduk di samping sang suami. Tidak ada keromantisan sama sekali yang terlihat. Tidak seperti biasanya. Maria memahami hal itu. Terutama perubahan sikap yang hangat menjadi dingin. Mereka sedang tidak baik-baik saja. Apalagi keduanya tidak terlibat percakapan bahasa yang cukup panjang. “Enggak.” Jicko menjawab cuek. Sekali makanan disendok ke dalam mulut. “Benar itu, Nak?” Maria bertanya pada Ameera. Ditatapnya tajam sorot wajah sang menantu. “Iya, Ma.” Ameera menganggukkan kepalanya bimbang. Namun jelas, insting seorang ibu takkan bisa dimanipulasi. “Apa masalahnya?” “Eh!” Mata Ameera melotot. Kalau Maria sudah berkata begitu, maka bahasa tubuh Ameera sudah terbaca. Dia takkan mampu membohongi Maria. Dia hafal betul bagaimana ekspresi Ameera k
Jicko meletakkan kaleng susu non-sugar (susu plain yang cocok dengan pencernaan orang sakit) di sampingnya dan Gino. Mereka duduk bersebelahan. Sedangkan sore itu, keduanya duduk di taman rumah sakit. Memerhatikan pasien lain berjalan ke sana-kemari, mencari angin segar. Suster mengizinkan Gino bepergian keluar dari kamar rawat inapnya. Biar dia tidak bosan. Satu jam lalu Ameera dan Jicko baru sampai di tempat ini. “Aku harap kamu jangan terkejut. Aku mau mengatakan sesuatu.” Jicko sempat melirik Gino sesaat. Pria itu menelan ludah. Jicko melanjutkan ucapannya. “Aku bertemu dengan Aryana!” Saat Jicko menyebut nama perempuan itu, Gino sempat tersedak. Dia gugup. Namun dalam sepersekian detik, dia bisa menetralisir segalanya. Dia mampu mengatasi kegugupan itu. “Aryana juga sudah bertemu dengan Ameera. Kami sempat terlibat cekcok.” Jicko lanjut menjelaskan, “Bahkan ketika Aryana bertemu dengan Ameera, ada beberapa konflik yang kami hadapi. Tapi s
Ameera mencicipi kue puding yang baru saja dibuatnya. Pagi sekali dia telah bangun. Jauh lebih pagi daripada penghuni rumah lainnya. Di atas meja sudah ada tiga macam hidangan pagi yang dibuatnya. Satu di antaranya rasanya sangat enak. Ameera sangat setuju. Sampai dua kali dia mencicipinya. Dia menoleh ke arah kanan dapur. Kepala pelayan rupanya baru selesai mandi, begitu dia langsung bangun tidur. Ketika melihat Nyonya rumah sedang sibuk, kepala pelayan langsung cepat-cepat menghampirinya. “Aduh, jangan repot-repot, Mbak. Nanti kelelahan. Ingat apa kata Den Jicko. Mbak jangan begini.” Bibi itu mengomel. Maksudnya mengomel baik. Dia tidak mau gara-gara Ameera, semua orang dimarahi. Sementara itu, melihat jam di dinding dapur, sekarang sudah pukul setengah delapan. Ameera tertawa melihat tingkah polah sang kepala pelayan. “Santai aja, Bi. Aku sudah biasa begini.” “Aduh, jangan begitu. Tetap saja nanti Den Jicko marah.” Bibi menyanggah. Ameera mana peduli. Dia tetap melanjutkan t
Beberapa saat berikutnya. Jam dua siang. “Kamu ada di kantor sekarang?” Maria bertanya via panggilan telepon. Untungnya, panggilan masuk itu langsung dijawab Jicko. “Iya, Ma. Kenapa?” Jicko balik bertanya. “Mama sudah pulang? Kapan?” “Jangan tanyain hal lain dulu. Ada hal penting yang mau Mama sampaikan ke kamu. Mama sebentar lagi sampai di sana.” “Mama di mana sekarang?” Jicko menarik pertanyaan lagi. Dia penasaran. “Ma, halo. Mama masih dengar suara aku?” Sayangnya, panggilan suara itu terputus. Jicko mendesah gusar. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka. Jicko membalikkan badan, melihat ke arah pintu yang terbuka. Maria datang, menjinjing tas kulitnya. Diikuti satu pengawal berbadan tegap di belakangnya. “Tinggalkan kami berdua.” Maria memerintah. Pengawal menganggukkan kepala. Sesaat setelahnya, dia keluar sambil menutup kembali pintu ruangan sang presiden direktur. “Kenapa Mama ke sini. Tumben.” Jicko berkata lagi. Maria langsung ambil tempat, duduk di sofa ruangan
Pagi ini jam sembilan. Jadwal untuk Gino melakukan operasi. Jicko mengosongkan semua pekerjaan kantornya. Dia ingin meluangkan waktu untuk menemani sang istri di tempat pengobatan. Maka pagi ini dia sudah berada di rumah sakit. Sesuai janjinya pada Ameera, mereka akan menemani Gino operasi pengangkatan penyakit sel kanker otaknya. Bahkan Maria juga sudah di sana. Dia tidak mau ketinggalan. Bukankah semua ini tanggung jawab perempuan tua itu? “Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Selamatkan dia.” Jicko berbicara pada dokter ahli bedah di depannya. Mereka berbincang di depan ruangan kerja sang dokter, sebelum perempuan itu melangkah menuju ke ruang operasi. “Aku akan berusaha maksimal melakukannya, Pak. Anda doakan saja semuanya lancar, tidak ada kendala. Karena ini satu-satunya cara yang kita punya.” Dokter meyakinkan. Jicko mengangguk patuh. Dia berharap demikian. Ini semua demi Ameera. Hanya ini yang bisa membuatnya bahagia. Yaitu melihat kakak satu-satunya berhasil melewati masa-ma
“Dokter, pasien sudah sadar.” Suster melaporkan. Dokter yang dimaksud mengangguk. Dia mengerti. Maka lekas bergegas meninggalkan ruangan kerjanya, menuju ke ruangan perawatan Gino. Di sana, Ameera yang dipeluk Jicko sudah menunggu sejak tadi. Ditemani oleh Maria. Mereka menatap sang dokter sesaat, sebelum akhirnya ambil tindakan, memeriksa tanda-tanda vital (ttv) si pasien penting. “Kondisinya normal,” dokter bergumam sembari memeriksa. Alat stetoskop telah ditempelkan di dada Gino. Sementara perban masih menutupi seluruh kepala sang pasien. Tak lupa mengecek matanya dengan lampu sorot kecil. “Bagaimana keadaan lainnya?” Maria bertanya. Dia cepat menarik pertanyaan karena khawatir berlebihan. “Sejauh ini kondisinya membaik.” Dokter menjelaskan, “Suster, infusnya dipastikan stabil. Perhatikan juga kebersihan pasien. Perban di kepala hatus diganti sesegera mungkin jika sudah tidak layak.”“Oke, Dok.” Suster mengangguk takzim. Dokter lalu melirik Maria, anaknya dan sang menantu. “S
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg