Beberapa saat berikutnya. Jam dua siang. “Kamu ada di kantor sekarang?” Maria bertanya via panggilan telepon. Untungnya, panggilan masuk itu langsung dijawab Jicko. “Iya, Ma. Kenapa?” Jicko balik bertanya. “Mama sudah pulang? Kapan?” “Jangan tanyain hal lain dulu. Ada hal penting yang mau Mama sampaikan ke kamu. Mama sebentar lagi sampai di sana.” “Mama di mana sekarang?” Jicko menarik pertanyaan lagi. Dia penasaran. “Ma, halo. Mama masih dengar suara aku?” Sayangnya, panggilan suara itu terputus. Jicko mendesah gusar. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka. Jicko membalikkan badan, melihat ke arah pintu yang terbuka. Maria datang, menjinjing tas kulitnya. Diikuti satu pengawal berbadan tegap di belakangnya. “Tinggalkan kami berdua.” Maria memerintah. Pengawal menganggukkan kepala. Sesaat setelahnya, dia keluar sambil menutup kembali pintu ruangan sang presiden direktur. “Kenapa Mama ke sini. Tumben.” Jicko berkata lagi. Maria langsung ambil tempat, duduk di sofa ruangan
Pagi ini jam sembilan. Jadwal untuk Gino melakukan operasi. Jicko mengosongkan semua pekerjaan kantornya. Dia ingin meluangkan waktu untuk menemani sang istri di tempat pengobatan. Maka pagi ini dia sudah berada di rumah sakit. Sesuai janjinya pada Ameera, mereka akan menemani Gino operasi pengangkatan penyakit sel kanker otaknya. Bahkan Maria juga sudah di sana. Dia tidak mau ketinggalan. Bukankah semua ini tanggung jawab perempuan tua itu? “Tolong lakukan yang terbaik, Dok. Selamatkan dia.” Jicko berbicara pada dokter ahli bedah di depannya. Mereka berbincang di depan ruangan kerja sang dokter, sebelum perempuan itu melangkah menuju ke ruang operasi. “Aku akan berusaha maksimal melakukannya, Pak. Anda doakan saja semuanya lancar, tidak ada kendala. Karena ini satu-satunya cara yang kita punya.” Dokter meyakinkan. Jicko mengangguk patuh. Dia berharap demikian. Ini semua demi Ameera. Hanya ini yang bisa membuatnya bahagia. Yaitu melihat kakak satu-satunya berhasil melewati masa-ma
“Dokter, pasien sudah sadar.” Suster melaporkan. Dokter yang dimaksud mengangguk. Dia mengerti. Maka lekas bergegas meninggalkan ruangan kerjanya, menuju ke ruangan perawatan Gino. Di sana, Ameera yang dipeluk Jicko sudah menunggu sejak tadi. Ditemani oleh Maria. Mereka menatap sang dokter sesaat, sebelum akhirnya ambil tindakan, memeriksa tanda-tanda vital (ttv) si pasien penting. “Kondisinya normal,” dokter bergumam sembari memeriksa. Alat stetoskop telah ditempelkan di dada Gino. Sementara perban masih menutupi seluruh kepala sang pasien. Tak lupa mengecek matanya dengan lampu sorot kecil. “Bagaimana keadaan lainnya?” Maria bertanya. Dia cepat menarik pertanyaan karena khawatir berlebihan. “Sejauh ini kondisinya membaik.” Dokter menjelaskan, “Suster, infusnya dipastikan stabil. Perhatikan juga kebersihan pasien. Perban di kepala hatus diganti sesegera mungkin jika sudah tidak layak.”“Oke, Dok.” Suster mengangguk takzim. Dokter lalu melirik Maria, anaknya dan sang menantu. “S
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k