Siang, pukul dua belas. “Kenapa kamu ke sini!” Gino bertanya. Tatapannya sinis ketika melihat Jicko datang ke ruangan rawatnya, menggeser pintu untuk ditutup. Pandangan mata Jicko agaknya damai. Tidak menggebu-gebu. “Hanya mau menjenguk kamu,” kata Jicko santai. Dia berjalan melangkah mendekati ranjang tidur Gino. Pria itu mendengus tak suka, “Untuk apa? Kamu datang ke sini hanya untuk mentertawakan aku, kan? Mentertawakan betapa malangnya kehidupanku. Itu kan yang kamu mau!” Jicko menggeleng. “Enggak. Aku enggak ada niatan seperti itu!" “Halah, bullshit! Orang seperti kamu mana bisa dipercaya.” Gino mengalihkan perhatiannya. Jicko masih bersikap sabar. Sejak dia tahu Gino sakit seperti ini, badannya kurus kering, Jicko berusaha menahan amarahnya. Sebab, kalau diajak berdebat pun, rasanya takkan etis. Secara fisik, Jicko menang jika berkelahi dengan Gino. Namun alangkah baiknya kalau Jicko tidak memukul kakak iparnya yang juga temannya sekolahnya dulu. Meski tidak dekat-dekat am
Berjam-jam berikutnya, di kediaman Jicko. Pukul sepuluh malam. “Bisa ceritakan aku satu cerita menghibur, nggak? Aku mau dengar.” “Oke, cerita khusus untuk kamu." Jicko menjawab mantap. Dia mencium puncak kepala Ameera, sebelumnya. Perempuan itu tidur di ada dada Jicko. Mereka tidur di atas ranjang sembari berpelukan. Istilah katanya, memadu kasih. “Cerita ini khusus aku ceritakan ke kamu, karena kamu kasih aku hadiah spesial buat ulang tahunku. So, siap dengerinnya?" Jicko bicara dengan suara dalam. Ameera mengangguk. Maka Jicko mulai menceritakan kisahnya yang paling konyol seumur hidup. “Dulu, pas kelas satu SMA, aku pernah bilang ke Mama. Aku mau minta izin buat pelihara anjing. Kamu tahu apa jawaban Mama pas aku bilang begitu?" Jicko melirik istrinya. Dia mendongak, menatap sang suami. Kemudian menggeleng. “Mama bilang, ‘Mama sudah cukup capek ngurusin satu ekor anjing di rumah ini. Jangan nambah-nambah anjing lagi. Mama enggak sanggup ngurusin dua anjing.’ Terus Mama miji
Malam, tiga jam kemudian. “Mama benci kayak gini, Nak. Jicko ini enggak ada perubahan sama sekali. Suka betul pergi dadakan. Enggak bilang di awal. Tahu-tahu bilang pas sudah mau berangkat. Kebiasaan betul.” Maria mengomel sejak tadi. Sejak Ameera datang ke rumah ini, kemudian bilang dia akan tinggal di sini selama Jicko belum pulang. Dan juga bilang soal Jicko yang pergi ke Shanghai, Maria tidak berhenti mendumal kesal. “Mas Jicko bilang dia terburu-buru, Ma. Jadi enggak sempat buat ngabarin. Waktunya mepet sore tadi." Ameera menjelaskan. Meski sebenarnya, penjelasan Ameera tidak terlalu ditanggapi serius oleh Maria. “Mepet, mepet. Tapi dia enggak mikirin apa, sudah punya istri. Suka betul dia kayak gini. Merasa kayak enggak ada tanggung jawab. Mama telepon dia.” Maria meraih telepon genggamnya. Lantas langsung menghubungi anaknya itu. Dia mau protes. Dia ingin marah. Kenapa tabiat seperti ini tidak ada hilangnya. Namun sayang, ketika itu telepon genggam tidak terhubung sama sek
Hujan deras melanda kota. Juna menepikan kendaraannya di pinggir jalan menuju ke arah bandara. Jalan malam itu sepi, sesuatu yang sangat mendukung pikir Juna. Mahasiswa itu membuka kancing baju Ameera. Dia tertawa sebelum memulai aksinya. Bibir Juna hendak mencium dada Ameera, tetapi perempuan yang hendak digapai malah sadar. Padahal itu kesempatan bagus, seharusnya. “Kak Juna ngapain?" Ameera menatap melotot. Spontan dia bertanya. Sebab dia bingung kenapa ada Juna di hadapannya. “Mau nyoba, senikmat apa kamu." Juna berkata santai. Dia melanjutkan aksinya. Tangan ingin meraba Ameera. Namun sekali lagi, Ameera berhasil menyangkal tangan kotor pria itu menyentuh sejengkal pun kulitnya. “Kak, jangan macam-macam. Kakak bisa dipidana kalau berani menyentuhku!" Ameera mengancam. Alih-alih takut, Juna malah tertawa penuh kemenangan. “Dipidana? Kamu punya bukti?" “Berengsek!” Ameera kelepasan. Tangannya tanpa sadar melepaskan satu tamparan keras. Bunyinya nyaring ketika tangan itu berh
Masih malam yang sama. Waktu berputar ke waktu satu setengah jam lalu. Ketika itu Jicko baru saja keluar dari gate ‘Kedatangan Internasional’, bandara ibukota. “Pak, enggak mampir ke suatu tempat dulu?” Anda bertanya. Sesekali matanya melirik Jicko yang duduk tenang di kursi belakang. Melalui pantulan kaca, tentunya. “Tidak. Langsung pulang saja." “Baik, Pak!” Anda mengangguk. Dia tidak bertanya lagi. Malam itu, jam delapan, keduanya baru tiba di kota kami. Sekeluarnya dari bandara. Jicko dan Anda sampai dari Shanghai setelah melalui penerbangan panjang tujuh jam. Malam itu juga hujan deras. Petir menyambar berkilat-kilat. Pun berulang, bertalu-talu. Suaranya menggelegar berisik. Jicko melipat tangan di dada, matanya dipejam. Dia ingin tidur, tetapi jelas bahwa Jicko sedang tidak mengantuk saat itu. Namun sekonyong-kanyongnya, mendadak telepon genggam Jicko bersuara. Membuatnya mengalihkan perhatian ke arah gawai yang diletakkan di samping tempatnya duduk.“Peringatan keadaan d
“Pak, ada rapat para direksi hari ini. Anda mau hadir ke sana?” Tya bertanya. Sekretaris perempuan itu berdiri di depan meja kerja sang bos besar. Jicko sedang duduk sambil membuka layar tablet. Sedangkan tangan menopang kepala. Pria itu tengah melakukan video conference dengan orang yang ada di luar negara sana. Tetapi begitu Tya menyampaikan beritanya, Jicko menutup panggilan tersebut. “Rapat membahas apa?” tanya Jicko. “Sebenarnya, tidak datang juga tidak apa-apa. Ini bukan rapat resmi yang harus Anda datangi. Tetapi rapat ini bisa jadi penting, karena tim pengembang sedang melakukan uji presentasi proyek produk perusahaan yang baru. Mungkin Anda tertarik melihatnya. Ini simulator peluncur kendaraan.” “Produk ....?” “Oh, model kendaraan listrik, Pak. Jenis yang dipamerkan untuk proyek ini adalah kendaraan amfibi. Rapat sebentar lagi akan dimulai. Bapak akan hadir?” Tya memotong ucapan Jicko tadi. Namun jelas, dalam hal ini Jicko agak tertarik mengikuti langkah awal rapat. Dia
Jicko mengencangkan sabuk pengaman di badan Ameera. Mereka akan bersiap mengudara. Test drive pertama penerbangan helimob seri terbaru. Ameera menelan ludah gugup. Dia ketakutan, aslinya. Sebab kalau melirik ke samping kiri, dia berada jauh di atas puncak menara gedung. Dia takut ketinggian. Mereka telah berada di dalam helikopter. Kendaraan itu siap terbang. “Kita akan ke mana?” tanya Ameera. “Cuma uji coba di langit kota.” Jicko menjawab pendek. “Memangnya Mas Jicko bisa bawa helikopter? Aku baru tahu.” Jicko mendengus diikuti tawa remeh. “Aku punya lisensi penerbangan. Aku masuk kategori profesional, meski jarang menerbangkan helikopter.”“Belajar di mana?” “Di angkatan militer, sama petinggi panglima.” Jicko menjelaskan. Tangannya menarik tuas transmisi otomatis helikopter. Baling-baling moda transportasi itu berputar kencang. Dua detik berikutnya, kendaraan itu terangkat ke udara. Pengatur penerbangan dari bawah membuat kode kalau penerbangan berhasil. Jicko mengangguk, m
Hari berikutnya. “Ra, ke mana coat yang aku minta siapin!" Jicko berteriak heboh pagi ini. Dia berada di ruang wardrobe. Badan pria itu basah, selepas mandi. Rambutnya juga. Sementara Jicko berteriak lantang, Ameera sedang menyiapkan keperluan mereka untuk pergi beberapa hari kedepan. Jicko mengajaknya pergi ke hutan, kemah berdua. Perusahaan sedang mengadakan family gathering di Jawa barat. Jicko seharusnya ikut dalam rangka acara tahunan itu. Namun dia selalu menolak hadir. Tetapi kali ini dia ikut, walau tidak ikut dalam rombongan karyawan. Jicko ingin pergi berdua dengan sang istri, menggunakan off-road keluaran seri terbaru, yang kemarin sempat dipamerkan di kantor. Kendaraan baru produksi perusahaan Linux miliknya. “Sudah aku siapin, Mas. Di atas kasur.” Ameera balas berteriak. Jicko keluar dari ruangan tata busana, berdiri di depan dinding kaca luas dan lebar. Dia mengenakan setelan kasual. Amat-amat kasual, sudah seperti seorang atlit penunggang kuda. Memakai celana putih