“Pak, ada paket datang. Atas nama Ibu Ameera.” Tya datang, membawa bingkisan besar ke dalam ruangan kerja Jicko. Siang ini masih sama, waktu bergeser beberapa menit berikutnya. Jicko mengerutkan dahinya, menatap penasaran ke bingkisan lebar itu. Kalau boleh ambil kesimpulan, benda datar itu seperti lukisan besar. “Alamatnya pakai alamat kantor?" Jicko menarik kalimat pertanyaan. Tya mengangguk, “Iya, Pak. Alamatnya kantor, atas nama istri Bapak.” “Siapa yang ngirim?” Sekretaris perempuan itu menggeleng, “Enggak tahu, Pak. Aku terimanya dari bagian resepsionis. Dibawa sama pihak pengaman.” “Ya sudah, letakkan di sana saja." Dagu Jicko menunjuk sisi samping sofa tempat duduk. Tya mengangguk lagi, diletakkannya di sana benda yang dimaksud. Sesaat berikutnya, dia pamit keluar dari ruangan sang bos. Jicko sendiri duduk di kursi kerjanya. Tengah membaca beberapa artikel terpanas pekan ini. Tangan kemudian meraih telepon genggam. Jicko menghubungi Ameera. Dering pertama belum dijawab
Sore sekali, jam empat. Ameera telah berada di rumah sakit, menjenguk Gino, seusai kelas kuliah berakhir. Begitu Ameera mengetuk pintu kamar, pandangan pertama yang dilihatnya, Gino sedang duduk di sudut ruangan. Menghadap ke dinding kaca, di antara sekumpulan gedung tinggi di seberang bangunan ini. Gino sedang melukis. Hal baru yang dilakukanya. Sesuai saran suster perawat khususnya. Ini bisa membunuh waktu sepi Gino. Itu kata suster baik hati itu dalam menyuarakan petuahnya. “Kak ....” “Lama kamu enggak ke sini, Ra." Gino berkata lebih cepat daripada ucapan Ameera. Perempuan itu meletakkan tasnya di atas sofa ruangan. Langkah kaki mendekati pria pesakitan itu. “Kakak apa kabar?" “Apa Jicko tahu kamu pergi ke sini?” Gino melontarkan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan sang adik. Ameera persis berdiri di samping Gino. “Aku sudah izin." “Kamu harus baik-baik sama suami kamu. Jangan membantah dia." “Kak!” Ameera berseru pelan, “Maaf." Gino meliriknya selintas. “Buat apa?" “A
Dari: Tamu nomor 10Untuk: Ny. Nomor 29Hai, Nyonya nomor 29. Aku tahu kamu sangat menyukai dan ingin sekali memiliki lukisan seindah ini. Ketika melihat ekspresi kecewa Anda saat aku menawar barang lelang ini seharga 6 milliar, aku tahu ada perasaan sendu yang cukup berarti. Anda mungkin tidak akan mengungkapkan keberatan hati karena benda ini jatuh ke tangan orang lain. Aku melihat Anda seperti memiliki ikatan khusus terhadap lukisan ini. Aku bisa menilainya. Karena aku tidak tahu apa ikatan itu, aku takkan terlalu mengoreknya. Aku tidak mau tahu untuk urusan itu. Namun yang pasti, lukisan yang sudah kubeli ini lebih baik kuserahkan kepada Anda. Entah kenapa aku merasa Anda sangat cocok memilikinya. Kuharap Anda mau menerimanya. Suatu saat, mungkin Anda harus belajar lagi dalam memahami karakter lukisan indah ini. Omong-omong, aku mendapatkan alamat kantor Anda dari urusan arbitrase lelang. Mereka hanya mengatakan alamat institusi Anda tanpa memberitahu resume. Seharusnya aku tid
Sebelum makan malam, mereka berdoa dulu. Ameera ikut. Ini makan malam pengenangan, sama seperti yang Jicko katakan kemarin malam. Mereka akan mengenang kepergian Papa mertua dan kakek. Setelah itu, barulah mereka makan malam spesial. Masakan hidangan koki pribadi Maria. “Mama jangan murung begitu.” Jicko menegur. Dia tahu bahwa Maria sudah berubah sikap sejak berdoa dalam hati. Jicko memerhatikan. Maria tersenyum kecut sambil memaksa menelan makanan masuk ke dalam mulut. “Mama belum bisa lupain Papa kamu.” “Sudah tujuh belas tahun, Ma. Masa Mama enggak bisa move on?” “Bukan masalah melupakan yang Mama pikirkan. Tapi kenangannya yang Mama dambakan.” Jicko mendecak, “Sekalipun Papa mengkhianati Mama?” “Jicko ....” Maria menatap Ameera. Ucapannya tidak dilanjutkan. Ada menantunya di sana. Jangan sampai dia tahu kisah buruk ini. “Jangan bahas mereka di sini.” Maria melanjutkan makannya. Ameera melihat sang mertua, lalu balik melihat sang suami yang mendadak berwajah tidak menyenang
Satu jam berikutnya. “Silakan dinikmati.” Pelayan berkata ramah, memerintah sopan usai menghidangkan makanan di atas meja. Kemudian dia meninggalkan ruangan tertutup itu untuk Maria, Jicko dan istrinya. Mereka makan siang di tempat tertutup. Tidak mau diekspos. Mereka keluarga taipan yang jarang disorot media. Paling jarang. “Makan yang banyak Nak. Mama lihat kamu makin kurusan sekarang." Maria menegur sopan. Tangannya hendak menyodorkan steak yang sudah dipotong-potong dua bagian untuk Ameera. Sebagai gantinya, milik Ameera akan diambil Maria. Namun Jicko tak kalah cepat. Dia segera menghentikan tangan Mamanya. Jicko menyambar piring steak Mama, diletakkan kembali di tempatnya. “Ameera makan punyaku saja, Ma. Ini sudah dipotong-potong,” kata Jicko. Tangannya mengambil piring Ameera, diganti dengan piring keramik putih miliknya. Mama tidak membantah sama sekali. Bahkan tidak protes. Biarkan Jicko melakukannya. Itu kan haknya sebagai suami. Justeru Maria senang kau Jicko memperla
Hari berikutnya. Pagi, jam sembilan. “Sudah selesai, Bu?” tanya Ameera. Lawan bicara mengangguk. Dia berdiri di depan pintu. “Iya. Beres semua.” “Oh, oke. Ini Bu, ada sedikit buat Ibu.” Ameera menyodorkan amplop cokelat ke tangan perempuan agak tua itu. Dia pembersih di rumah Jicko. Sudah tiga tahun ini bekerja di sini. Dia datang sesuai jadwalnya. Seminggu tiga kali. Begitu pekerjaan selesai, dia lekas pulang. Ameera menunggu pembersih rumah itu menyelesaikan tugasnya, kemudian setelahnya dia akan berangkat ke kampus. Begitu rencana yang akan dilakukan. Jicko menitip pesan tadi. “Apa ini?” Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Buat ibu.” “Uang?" katanya memastikan dan menebak. Ameera mengangguk. “Tapi gajianku masih lama, Mbak. Kok mendadak dikasih uang? Apa aku bakal dipecat karena pekerjaanku kurang bagus?” Muka perempuan itu berubah tegang. Nada suaranya kentara gugup dan takut. Ameera mengulas senyum sopan. “Bukan, Bu. Ini bukan uang gaji atau uang pesangon terakhir. Ak
“Sebenarnya aku ada seminar di kampus kamu. Fakultas ekonomi dan bisnis. Itu kenapa aku bisa sampai cepat di sana, kurang dari sepuluh menit.” Jicko memberitahukan. Ameera menatapnya. Tidak terlalu terkejut. Biasa saja. Cuma, Ameera tidak berpikir kalau suaminya akan di sana. Mereka telah sampai di rumah, lima menit lalu. Jicko melepas suite-nya, lalu menggantung jas hitam itu di ruangan pakaian mereka. “Jadi tamu penting?” Ameera memastikan. Suaminya menoleh ke arah Ameera. “Ya, bisa dibilang begitu.” “Aku tahu dari Tasya. Katanya ada pengusaha muda, kepala group, datang ke kampus, hadir di acara seminar. Aku enggak nyangka kalau itu Mas Jicko." Ameera berkata pelan. Dia duduk di pinggir ranjang. “Aku enggak mau ngasih tahu kamu, biar kamu enggak kepikiran kenapa aku mendadak ada di sana. Aku tahu kamu enggak mau dijemput atau pulang bareng aku, kalau aku ketahuan ada di areal kampus. Makanya aku enggak bilang apa-apa." Jicko menjelaskan. “Kapan lagi ada seminar di kampusku, Ma
Siang, pukul dua belas. “Kenapa kamu ke sini!” Gino bertanya. Tatapannya sinis ketika melihat Jicko datang ke ruangan rawatnya, menggeser pintu untuk ditutup. Pandangan mata Jicko agaknya damai. Tidak menggebu-gebu. “Hanya mau menjenguk kamu,” kata Jicko santai. Dia berjalan melangkah mendekati ranjang tidur Gino. Pria itu mendengus tak suka, “Untuk apa? Kamu datang ke sini hanya untuk mentertawakan aku, kan? Mentertawakan betapa malangnya kehidupanku. Itu kan yang kamu mau!” Jicko menggeleng. “Enggak. Aku enggak ada niatan seperti itu!" “Halah, bullshit! Orang seperti kamu mana bisa dipercaya.” Gino mengalihkan perhatiannya. Jicko masih bersikap sabar. Sejak dia tahu Gino sakit seperti ini, badannya kurus kering, Jicko berusaha menahan amarahnya. Sebab, kalau diajak berdebat pun, rasanya takkan etis. Secara fisik, Jicko menang jika berkelahi dengan Gino. Namun alangkah baiknya kalau Jicko tidak memukul kakak iparnya yang juga temannya sekolahnya dulu. Meski tidak dekat-dekat am