Masih di waktu yang sama. “Mas Jicko melakukan itu?” Ameera merespon tegang, “Maksudku, Mas berani melakukan hubungan intim dengan perempuan itu tanpa rasa takut?” Jicko menganggukkan kepalanya, “Namanya remaja, apa saja akan mereka lakukan saat berada di fase itu. Termasuk berhubungan ranjang. Aku tidak takut. Buat apa! Aku punya segalanya yang bisa membuatku tetap aman.” “Bagaimana kalau dia hamil?” Mata Ameera melotot. Jicko mendengus, “Tinggal tanggung jawab.” “Nanti Mama marah!” “Mama tidak akan marah. Karena aku bisa membantahnya.” Jicko berujar santai, “Aku anak tunggal, anak satu-satunya Mama, dia sayang padaku. Apapun yang aku lakukan, Mama tidak akan pernah marah. Jadi aku jamin dia takkan mengomel. Skenario panjang itu sudah aku pikirkan matang-matang.”Ameera giliran yang mendengus. Wajahnya sedikit agak kecewa. Ternyata pria ini tidak benar-benar suci. Dia memiliki masa lalu yang bisa dibilang amat liar. Bisa-bisanya dia meniduri anak gadis orang, dengan dalih menaw
Jicko menyendok makanan masuk ke dalam mulut. Amat santai. Makanan utama sudah dihidangkan. Sesekali dia melirik Ameera yang fokus pada makan malamnya. Masih di waktu yang sama, jam bergeser beberapa menit berikutnya. “Kita tidak akan pulang malam ini.” Jicko membuka percakapan. Ameera menatap pria di depannya. “Kenapa?” “Aku tidak tega melihat kamu kelelahan begini. Kita akan menginap di hotel malam ini.” Ameera mendesah, makan yang disendok terhenti. “Aku enggak apa-apa.” “Anggap saja kita liburan.” Jicko menegaskan. Ameera tidak membantah. Matanya berputar. Dia bosan dengan percakapan ini. Makan kembali dilanjutkan. Keadaan hening. Jicko melakukan hal yang sama. Telepon Jicko yang diletakkan di atas meja, berdering sekali. Ada notifikasi pesan masuk. Pria itu gegas melihatnya. “Sesi lelang pameran besar dimulai lagi, Acara dibuka besok malam, di JCC Senayan.” Pesan ini datang dari petugas pelelangan di gedung itu. Tempat yang dekat stadion besar di kota kami. Jicko sering d
Pagi ini Ameera ke kampus. Dia telah masuk kembali, usai ambil cuti. Jicko mengantarnya sampai di depan gedung fakultas. Sedangkan pria itu, dia sendiri langsung pergi ke kantor. Di sana beberapa karyawan menyapanya sopan, di lobi pintu masuk gedung. Beberapa lagi berpapasan, menundukkan pandangan. Mereka menghormati eksekutif muda ini. Orang nomor satu di perusahaan Group. Kebetulan di saat yang sama, ketika Jicko baru sampai di gedung kantor, dia bertemu dengan sekretarisnya, Anda. Rupanya dia juga baru datang. Sebelum mengikuti langkah bos besar, Anda mengambil dahulu voucher makan siangnya, kemudian baru masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan, bersama Jicko. “Kamu rajin mengumpulkan voucher makan siang itu." Jicko bergumam pelan. Anda masih mendengar ucapannya. “Aku jarang menggunakan ini, Pak. Cuma sudah kebiasaan mengambilnya pas masuk, mau enggak mau dibawa aja ke ruang kerja.” Anda menjawab sambil tersenyum malu. Jicko meliriknya sekilas. Tidak salah, Anda memang
“Aku akan menjemput kamu, kalau acaranya sudah selesai,” kata Jicko. Dia mengantar Ameera ke gedung balai lelang negara. Di JCC Senayan. Tepat di depan pintu masuk. Malam ini pukul tujuh. Acara nyaris dimulai. Orang-orang atau tamu undangan sudah datang semua. Tempat itu telah dipenuhi oleh pendatang atau tamu kehormatan. Ameera mengangguk sewaktu Jicko berkata tadi. “Kamu enggak mau nanya sesuatu sebelum masuk ke dalam?" Jicko bertanya. Tangannya menarik tangan Ameera, sebelum gadis itu menarik gagang handle pintu Automobile. “Aku enggak tahu harus tanya apa, Mas.” “Apapun. Mungkin sesuatu yang kamu enggak paham soal lelang. Kamu bisa tanya padaku sekarang.” “Ehm ..., nanti saja, deh. Aku harus masuk."Jicko tidak menahannya kali ini. Ameera benar-benar keluar dari dalam mobil. Jicko masih memerhatikannya. Dia mengenakan gaun hitam sebatas tulang kering kaki. Mengenakan tas kecil juga. Rambut ditata rapi, tergerai, mengenakan anting cukup besar di telinganya. Selepas itu Ameera
“Ameera, mau ikut cari makan?” Tasya berseru dari meja belajarnya. Kelas telah berakhir, siang ini. Ameera menggeleng, “Enggak dulu, deh.” “Yah, enggak asyik ah, kamu.” Tasya mengubah eskpresi wajahnya jadi sendu, “Padahal ada banyak gosip yang mau kami ceritain ke kamu.” Dahi Ameera mengerut, “Cerita apa?" “Banyak, pokoknya. Kalau kamu penasaran, ayo ikut makan. Biar sekalian kita cerita-cerita.” Teman yang lain menyahut. Ameera tersenyum kikuk. Dia ragu, tetapi penasaran. “Aku ikut, tapi aku enggak pesan makan, ya. Aku pesan minum aja.”“Oke, oke. Enggak apa-apa. Yang penting kamu ikut kita.” Tasya menyahut senang. Maka siang itu, sehabis kelas kuliah berakhir, mereka pergi ke kantin sastra, makan di sana. Dibandingkan dengan kantin fakultas lain, enakan masakan di sini. Selain itu, di sini juga kumpulnya mahasiswa kampus yang super ganteng. Tasya jangan ditanya soal ini. Dia paling tahu segalanya. Makanan sudah terhidang, begitu mereka sampai di sini dan memesan sembari maka
“Pak, ada paket datang. Atas nama Ibu Ameera.” Tya datang, membawa bingkisan besar ke dalam ruangan kerja Jicko. Siang ini masih sama, waktu bergeser beberapa menit berikutnya. Jicko mengerutkan dahinya, menatap penasaran ke bingkisan lebar itu. Kalau boleh ambil kesimpulan, benda datar itu seperti lukisan besar. “Alamatnya pakai alamat kantor?" Jicko menarik kalimat pertanyaan. Tya mengangguk, “Iya, Pak. Alamatnya kantor, atas nama istri Bapak.” “Siapa yang ngirim?” Sekretaris perempuan itu menggeleng, “Enggak tahu, Pak. Aku terimanya dari bagian resepsionis. Dibawa sama pihak pengaman.” “Ya sudah, letakkan di sana saja." Dagu Jicko menunjuk sisi samping sofa tempat duduk. Tya mengangguk lagi, diletakkannya di sana benda yang dimaksud. Sesaat berikutnya, dia pamit keluar dari ruangan sang bos. Jicko sendiri duduk di kursi kerjanya. Tengah membaca beberapa artikel terpanas pekan ini. Tangan kemudian meraih telepon genggam. Jicko menghubungi Ameera. Dering pertama belum dijawab
Sore sekali, jam empat. Ameera telah berada di rumah sakit, menjenguk Gino, seusai kelas kuliah berakhir. Begitu Ameera mengetuk pintu kamar, pandangan pertama yang dilihatnya, Gino sedang duduk di sudut ruangan. Menghadap ke dinding kaca, di antara sekumpulan gedung tinggi di seberang bangunan ini. Gino sedang melukis. Hal baru yang dilakukanya. Sesuai saran suster perawat khususnya. Ini bisa membunuh waktu sepi Gino. Itu kata suster baik hati itu dalam menyuarakan petuahnya. “Kak ....” “Lama kamu enggak ke sini, Ra." Gino berkata lebih cepat daripada ucapan Ameera. Perempuan itu meletakkan tasnya di atas sofa ruangan. Langkah kaki mendekati pria pesakitan itu. “Kakak apa kabar?" “Apa Jicko tahu kamu pergi ke sini?” Gino melontarkan pertanyaan, bukan menjawab pertanyaan sang adik. Ameera persis berdiri di samping Gino. “Aku sudah izin." “Kamu harus baik-baik sama suami kamu. Jangan membantah dia." “Kak!” Ameera berseru pelan, “Maaf." Gino meliriknya selintas. “Buat apa?" “A
Dari: Tamu nomor 10Untuk: Ny. Nomor 29Hai, Nyonya nomor 29. Aku tahu kamu sangat menyukai dan ingin sekali memiliki lukisan seindah ini. Ketika melihat ekspresi kecewa Anda saat aku menawar barang lelang ini seharga 6 milliar, aku tahu ada perasaan sendu yang cukup berarti. Anda mungkin tidak akan mengungkapkan keberatan hati karena benda ini jatuh ke tangan orang lain. Aku melihat Anda seperti memiliki ikatan khusus terhadap lukisan ini. Aku bisa menilainya. Karena aku tidak tahu apa ikatan itu, aku takkan terlalu mengoreknya. Aku tidak mau tahu untuk urusan itu. Namun yang pasti, lukisan yang sudah kubeli ini lebih baik kuserahkan kepada Anda. Entah kenapa aku merasa Anda sangat cocok memilikinya. Kuharap Anda mau menerimanya. Suatu saat, mungkin Anda harus belajar lagi dalam memahami karakter lukisan indah ini. Omong-omong, aku mendapatkan alamat kantor Anda dari urusan arbitrase lelang. Mereka hanya mengatakan alamat institusi Anda tanpa memberitahu resume. Seharusnya aku tid