Jicko mengosongkan jadwalnya pagi ini. Pukul sembilan dia meninggalkan ruangan kerjanya. Jicko telah mengatakannya pada Anda bahwa dia tidak ingin memiliki aktivitas pekerjaan apapun di kantor. Pria itu datang ke rumah sakit, membawa sebuket bunga beragam. Dia menuju ke ruang perawatan kelas presidential suite VVIP. Itu ruangan Gino dirawat. Jicko tidak mengetuk pintu kamar itu, dia langsung membukanya, memutar kenop pintu. Di pinggir dinding kaca, tempatnya berjemur pagi, Gino berdiri. Hal pertama yang Jicko lihat adalah pasien lemah dengan pakaian rumah sakit dan ..., tubuh tidak sekuat dan segagah dulu. Pun bau desinfektan menyengat. Jicko meletakkan buket bunga di atas meja kaca di antara sofa ruangan. Lantas dia memilih duduk di pinggir ranjang lebar, di belakang sang lawan bicara yang didatanginya pagi ini. “Aku tidak ingin melihat wajahmu!” Gino membuka percakapan dahulu. “Ini kunjungan pertamaku sebagai adik ipar!” Jicko menjawab santai. Wajahnya tersenyum pias. Jicko tah
Malam, di waktu seperti biasa Jicko pulang kerja. Pun selepas mandi. Pria itu duduk di ruang tengah rumah. Tangannya memegang tablet lebar, tengah membaca artikel bisnis utama. Orang terkaya di negeri ini berhasil tergeser setelah bertahun-tahun menjadi pemuncaknya. Jicko mendesis. Pembesar di negeri ini makin banyak, pikirnya. Di saat sedang fokus pada urusannya sendiri, Ameera datang melintas di depan muka. Jicko meliriknya sekilas. “Aku pikir kamu akan langsung tidur.” Jicko berkata lirih. Ameera jelas mendengarnya. Ucapan itu tertuju untuk si gadis berwajah menyenangkan itu. “Tidak sopan tidur lebih dahulu sebelum menghidangkan teh untuk Anda.” Ameera menjawab sinis. Dia meletakkan gelas teh ke atas meja kaca, persis di depan Jicko. Di sebelah majalah keluaran Forbes itu. Jicko menyeringai, “Tidak menghindar?” “Untuk apa?” “Aku kira kamu masih marah ketika aku tidak bilang apapun soal masa laluku dengan kakak kamu itu.” Ameera menatap bengis wajah suaminya itu. “Aku memang
“Kamu baik-baik saja, kan?” Jicko melontarkan pertanyaan. Dia mengemudi mobil, Ameera duduk di sebelahnya. Mereka telah berada di jalan tol dalam kota, hendak menuju ke pusat pacu kuda Sinar Mas. Sesekali pria ini melirik sang istri. “Iya.” “Yang semalam, aku harap kamu juga menikmatinya. Bukan hanya aku.” “Bisa jangan bahas itu lagi?" “Kenapa?” Jicko melirik sang istri lagi. “Aku ..., tidak biasa mengingat sesuatu yang sudah terjadi. Aku malu mengingatnya.” Jicko mendengus tertawa, “Untuk apa malu? Kita melakukannya karena kita sepasang suami-istri. Orang yang saling memuaskan diri tanpa ikatan apapun, anggaplah dua sejoli yang pacaran. Mereka melakukan hubungan badan pun tidak malu. Mereka menganggap itu biasa saja. Lalu bagaimana dengan kita?” “Itu beda konteksnya.” Jicko menyanggah ucapan Ameera barusan, “Bagiku tidak ada bedanya. Sama saja. Pada intinya, aku bertanya tentang keadaan kamu. Bukan ingin membahas prihal semalam.” Jicko sekali lagi melirik perempuan itu. Dia
Jicko dan Pak presiden yang terhormat telah selesai menunggangi kuda selama dua jam. Acara kemudian berganti menjadi pembicaraan kecil di ruang konferensi kecil. Hanya ada mereka berdua. Pembicara ini amat penting, tidak ada yang boleh ikut dalam percakapan. Di atas meja telah terhidang makanan saji paling mewah. Pun dengan minuman spesialnya. “Sebelumnya, terima kasih kepada Pak Jicko yang terhormat, karena berkali-kali mau memenuhi permintaanku untuk hadir dalam pertemuan kecil ini. Aku merasa sangat dihargai.” Presiden membuka percakapan. Jicko ramah menanggapi. “Anda terlalu sungkan padaku.” “Sebagai pembesar di negeri ini, orang muda terkaya, siapa yang tidak akan sungkan?” Pak presiden menimpali. Kemudian dia tertawa. Matanya sampai hilang, kerutan di wajah terlihat jelas. “Ini mungkin jadi pertemuan kita kesekian kalinya. Dan aku ingat, pertama kali kita bertemu di tempat ini ketika aku akan naik jabatan mencalonkan diri sebagai presiden. Saat itu Anda datang mendukungku, m
“Satu ruangan privat, ada?” Jicko berkata pada resepsionis sauna. Perempuan penjaga meja penerima tamu itu mengangguk. “Ada.” “Aku mau ruangan yang besar, menghadap ke arah pegunungan, suhu ruangan standar, ada kamar ganti sama full perfume.” “Ada, Pak. Presidential lll, tapi harganya mahal. Enggak keberatan?” Resepsionis wanita itu menjelaskan singkat. “Aku akan bayar. Aku mau ruangan itu.” “Aku isi data dulu, Pak. Atas nama ....” “Incognito, bisa?” Jicko cepat menyahut.Pelayan itu mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke wajah Jicko. Lalu berganti menatap wajah menyenangkan perempuan di samping pria tinggi itu. “Bisa, Pak.” Resepsionis mengangguk. Lalu dia mengarahkan Jicko dan Ameera ke ruangan yang akan mereka tempati di sauna ini. “Bapak lurus ke arah lounge timur, lorong kiri, pas sekali itu ruangan privat sauna. Di sana akan ada staf yang membantu Anda.”“Oke.” Jicko menjawab pendek. “Have a nice day, Sir and Mistress.” Resepsionis itu berseru ramah. Senyumannya
Masih di waktu yang sama. “Mas Jicko melakukan itu?” Ameera merespon tegang, “Maksudku, Mas berani melakukan hubungan intim dengan perempuan itu tanpa rasa takut?” Jicko menganggukkan kepalanya, “Namanya remaja, apa saja akan mereka lakukan saat berada di fase itu. Termasuk berhubungan ranjang. Aku tidak takut. Buat apa! Aku punya segalanya yang bisa membuatku tetap aman.” “Bagaimana kalau dia hamil?” Mata Ameera melotot. Jicko mendengus, “Tinggal tanggung jawab.” “Nanti Mama marah!” “Mama tidak akan marah. Karena aku bisa membantahnya.” Jicko berujar santai, “Aku anak tunggal, anak satu-satunya Mama, dia sayang padaku. Apapun yang aku lakukan, Mama tidak akan pernah marah. Jadi aku jamin dia takkan mengomel. Skenario panjang itu sudah aku pikirkan matang-matang.”Ameera giliran yang mendengus. Wajahnya sedikit agak kecewa. Ternyata pria ini tidak benar-benar suci. Dia memiliki masa lalu yang bisa dibilang amat liar. Bisa-bisanya dia meniduri anak gadis orang, dengan dalih menaw
Jicko menyendok makanan masuk ke dalam mulut. Amat santai. Makanan utama sudah dihidangkan. Sesekali dia melirik Ameera yang fokus pada makan malamnya. Masih di waktu yang sama, jam bergeser beberapa menit berikutnya. “Kita tidak akan pulang malam ini.” Jicko membuka percakapan. Ameera menatap pria di depannya. “Kenapa?” “Aku tidak tega melihat kamu kelelahan begini. Kita akan menginap di hotel malam ini.” Ameera mendesah, makan yang disendok terhenti. “Aku enggak apa-apa.” “Anggap saja kita liburan.” Jicko menegaskan. Ameera tidak membantah. Matanya berputar. Dia bosan dengan percakapan ini. Makan kembali dilanjutkan. Keadaan hening. Jicko melakukan hal yang sama. Telepon Jicko yang diletakkan di atas meja, berdering sekali. Ada notifikasi pesan masuk. Pria itu gegas melihatnya. “Sesi lelang pameran besar dimulai lagi, Acara dibuka besok malam, di JCC Senayan.” Pesan ini datang dari petugas pelelangan di gedung itu. Tempat yang dekat stadion besar di kota kami. Jicko sering d
Pagi ini Ameera ke kampus. Dia telah masuk kembali, usai ambil cuti. Jicko mengantarnya sampai di depan gedung fakultas. Sedangkan pria itu, dia sendiri langsung pergi ke kantor. Di sana beberapa karyawan menyapanya sopan, di lobi pintu masuk gedung. Beberapa lagi berpapasan, menundukkan pandangan. Mereka menghormati eksekutif muda ini. Orang nomor satu di perusahaan Group. Kebetulan di saat yang sama, ketika Jicko baru sampai di gedung kantor, dia bertemu dengan sekretarisnya, Anda. Rupanya dia juga baru datang. Sebelum mengikuti langkah bos besar, Anda mengambil dahulu voucher makan siangnya, kemudian baru masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan, bersama Jicko. “Kamu rajin mengumpulkan voucher makan siang itu." Jicko bergumam pelan. Anda masih mendengar ucapannya. “Aku jarang menggunakan ini, Pak. Cuma sudah kebiasaan mengambilnya pas masuk, mau enggak mau dibawa aja ke ruang kerja.” Anda menjawab sambil tersenyum malu. Jicko meliriknya sekilas. Tidak salah, Anda memang