Roti panggang isi telur, sayuran dan olesan mayonaise telah terhidang di atas meja. Ameera menyediakannya untuk makan siang sang suami. Jicko menatap heran. Masakan di depannya tidak biasa. Dia belum pernah melihat makanan ini. Bahkan belum pernah mencicipinya sama sekali, seumur hidup. “Kamu bisa masak rupanya?" Jicko berkata dengan nada meremehkan. Dikiranya Ameera ini termasuk jutaan wanita yang tidak pandai memasak. Alasan klasiknya, benci bau bawang. Ameera duduk di depan Jicko, di seberang meja makan pantry. “Buat jaga-jaga.” “Jaga-jaga?” Jicko penasaran. Ameera menyendok makanan masuk ke dalam mulut, lalu membalas tatapan penasaran sang suami. “Kakak sakit karena kanker. Makan yang dikonsumsi harus terjaga kebersihannya. Aku belajar memasak sebagai alternatif lain supaya aku bisa mengontrol makanannya. Satu hal terbesar dalam hidupku. Jika aku tahu kakak mengidap penyakit seperti ini, aku mungkin tidak akan mengambil kuliah kedokteran bedah spesialis. Mungkin aku akan memil
Anda menyerahkan undangan resmi dari pihak istana negara begitu Jicko masuk kembali ke kantor. Pagi, pukul delapan, hari berikutnya. Ketika itu Jicko telah duduk di tempat kerjanya. “Undangan dari Presiden, Pak.” “Letakkan di atas meja,” jawab Jicko. Pria yang diperintah mengangguk, meletakkan pucuk undangan di depan sang bos besar. Anda pamit keluar dari ruangan. Sesaat setelahnya, Jicko meraih pucuk undangan berwarna hitam itu. Dicetak dengan tinta emas timbul. Ini adalah undangan spesial dari presiden. Tidak banyak orang yang akan mendapatkannya. Hanya orang-orang penting saja. Seperti para taipan dan pejabat negara lain. Jicko membaca sekilas isi undangan. Acara pertemuan dilaksanakan Minggu pagi. Di lapangan berkuda. Tempat biasa Jicko mengajak orang-orang penting bertemu. Semisalnya staf perusahaan Ventura asal Tiongkok atau kepala keluarga terkaya di India, Ambami family. Selain gemar main golf, Jicko juga gemar berkuda. Dia ahli dalam hal ini. Dia profesional. “Katakan ke
“Diminum tehnya, Mas.” Ameera memerintah sopan. Gelas teh diletakkan di atas meja kaca di tempat keduanya duduk. Di ruangan tengah. Jicko sendiri sedang memandang tablet layar lebar di depan muka. Sedang membaca artikel berita terkini. Malam ini pukul delapan. Satu jam lalu Jicko kembali ke rumah usai keluar dari kantor. Sementara Ameera, dia sendiri sudah kembali dari rumah sakit sejak pukul lima tadi. Untungnya, Jicko tidak pulang cepat. Jadi Ameera aman. Takutnya akan ditanya banyak hal, dari mana saja dia pergi. Bukan Ameera tak bisa jujur, hanya saja dia belum siap. Ada banyak hal yang harus disembunyikannya dari sang suami. “Aku sudah makan di luar. Kalau kamu mau makan, pesan saja. Jangan menungguku untuk makan. Kecuali kamu masak sendiri." Jicko berbicara, tapi matanya masih fokus dengan artikel bisnis di depannya. Dia telah mengganti topik bacaan. “Aku sudah juga, Mas. Sebelum pulang, aku sempat mampir makan di restoran sebelum masuk komplek.” Ameera menjawab ramah. “Ya
Jicko sudah sampai di kantor, pagi ini. Begitu sampai di ruang kerjanya, dia langsung menghubungi Anda melalui sambungan interkom. Memintanya datang ke ruangan ini. Kurang dari dua menit setelah panggilan telepon itu, Anda sudah menampakkan batang hidungnya di depan muka sang bos besar. “Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya kerjakan untuk Anda?” Pria di depan Jicko bertanya sopan. “Kamu atur jadwal istriku. Lihat hari-harinya, apakah ada kecocokan jadwal. Pertemuan dengan kepala negara hari Minggu besok tolong diatur. Aku akan datang menemuinya.” Jicko meletakkan tablet besar ke atas meja. Mendorong ke arah Anda. Di sana sudah ada semua jadwal Ameera yang dikirimnya beberapa waktu lalu. Pria itu langsung mengangguk, segera melaksanakan perintah sang bos. “Baik, Pak. Akan aku atur jadwal Nyonya.” “Satu lagi,” Jicko menahan langkah Anda sebelum meninggalkan ruangannya, “Mulai Senin dia sudah kembali ke kampus. Apakah semua keperluannya telah diselesaikan? Termasuk urusan dengan dek
Masih di malam yang sama, pukul sepuluh. Waktu bergeser ke jam berikutnya. Jicko telah mengganti pakaiannya dari piyama menjadi setelan kasual. Pria itu berjalan terburu-buru di ruang tengah rumah dengan telepon genggam menempel di telinga. “Kamu di mana?” tanya Jicko begitu teleponnya terhubung dengan Ameera. “Di kamar, Mas.” “Lagi ngapain?”“Mau tidur. Kenapa?” Jicko ingin mengatakan bahwa Ameera telah berbohong kepadanya. Namun Jicko menahan ucapan itu. Dia memejamkan matanya sesaat, menghela napas sengal. Saat ini Jicko sedang menahan amarah. Sebab Ameera telah berani membohonginya. Terutama pergi ke suatu tempat tanpa berkata jujur. “Aku hanya mau memastikan kalau Mama sudah tidur!” kata Jicko kemudian. Nada suaranya kentara sekali menahan kesal. “Mama sudah tidur dari setengah jam lalu, Mas. Kamu enggak usah khawatir. Aku jamin Mama enggak begadang.” “Ya. Kalau begitu, kamu juga harus tidur. Jangan terjaga. Aku tutup telepon ini.” Ameera menjawab singkat. Bilang “Ya” lal
Masih di waktu yang sama. Gino cuma bisa terdiam tanpa kata ketika Jicko mengatakan hal tadi. Jadi ini semua berhubungan? Pikir Gino, kebaikan Mama ternyata ada motifnya. Bak serigala berbulu domba. Atau musuh dalam selimut. Mama memiliki tujuan tertentu selama ini. Pria pesakitan itu menelan ludah pahitnya. Jika dia tahu bahwa Mama adalah ibunya Jicko, mungkin waktu itu dia tidak akan pernah mau menerima uluran tangannya. Kebaikan Mama rupanya hanyalah kepalsuan. Pada intinya, Maria hanya menginginkan Ameera. Itu yang coba Gino pahami. Sama seperti Gino, Ameera sendiri dibuat terdiam tanpa kata dalam situasi ini. Bibir bawahnya digigit pelan. Tatapan mata Ameera amat sendu. Mendadak pikirannya teringat kejadian setahun lalu, awal mula ketika Maria menawarkan Ameera untuk berjodoh dengan anaknya. “Menikahlah dengan Jicko, Nak. Mama ingin kamu jadi menantu Mama dan istri anak Mama. Semuanya akan berjalan baik kalau kamu menjadi anak menantu Mama." Maria memegang kedua tangan Ameera.
Jicko membawa Ameera pergi usai Gino mengusir mereka. Gino tidak mau melihatnya, apalagi Ameera. Gino sudah cukup kecewa dibuat oleh sang adik. Tindakannya itu tanpa spekulasi sebelumnya. Jicko dan Ameera berada di dalam mobil. Perempuan itu duduk di sebelah sang suami dengan tatapan memandang ke luar jendela. Dan Jicko sesekali melirik perempuan yang menangis dalam diam itu. Sedikit rasanya hati Jicko merasa tercubit dan merasa bersalah. Saat itu kendaraan telah berada di jalan tol dalam kota, menuju ke kediaman keduanya. “Maaf,” kata Jicko membuka percakapan. Keduanya diam saja sejak tadi. Tidak ada yang membuka obrolan sama sekali. Ameera menghapus air mata cepat-cepat. Dia tahu dirinya bersalah kepada Gino, tetapi dia bingung harus bagaimana membuat pria itu tidak lagi marah. Mungkin saat ini Gino tidak mau memaafkannya sama sekali. Ameera merasa menyesal untuk sesaat. “Maaf untuk ucapanku yang tadi. Seharusnya aku tidak mengatakan itu sama sekali!" Jicko menambahkan ucapannya
Ketika melirik jam digital yang menempel di dinding kamar, malam telah larut. Pukul dua dini hari. Jicko belum bisa memejamkan matanya. Sama seperti perempuan yang tidur memunggungi Jicko di sebelahnya. Pikiran tidak bisa tenang. Perasaan menjadi gelisah. Sesekali Jicko melirik sang istri yang sama gusarnya seperti dia. Namun sekonyong-kanyongnya, mendadak bayang-bayang masa lalu itu muncul. Jicko berusaha melenyapkannya, tetapi tidak bisa. Dia akan terus muncul. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu. Ke waktu dua belas atau tiga belas tahun silam. “Ibumu akan dioperasi hari ini. Kamu harus mengumpulkan uangnya. Kalau tidak, dokter enggan melakukan operasi itu!” “Memangnya tidak bisa operasi dulu? Aku janji uangnya akan ada setelah beliau dioperasi.” “Tidak bisa! Itu sudah prosedur rumah sakit. Kalau kamu enggak bisa mendapatkan uang untuk operasi, terpaksa ibu kamu kami keluarkan dari sini.” “Sus, tunggu! Aku akan usahakan secepatnya. Tapi tolong, jangan dibawa keluar ibuku da