Pagi, setengah tujuh, Ameera bangun pagi sekali. Maksud hati bersiap-siap. Ini harinya. Hari pernikahan Ameera dan Jicko. Hari yang sangat istimewa dan spesial. Gadis itu berada di ruangan rias pengantin. Sedang dirias menawan oleh makeup stylish professional. Pernikahan ini akan dilaksanakan di gedung balai negara atau gedung Paku Alam lll di pusat ibukota. Tamu undangan akan hadir di sana. Sesuai arahan dalam undangan. Tempat itu privat, khusus dijadikan acara tertutup. Tamu undangan tersohor yang bakal hadir kurang dari tiga ratus orang.“Mbak, minum dulu.” Pelayan senior menyodorkan sebotol air mineral. Diletakkan di depan kaca meja rias. Beliau memerhatikan dengan seksama wajah menawan sang Nyonya muda. Tegang dan gusar. Pelayan senior itu memahami satu hal, dia gugup. Semua pengantin wanita yang akan menikah pasti bakal melalui hal ini. Tidak terkecuali Ameera. “Terima kasih, Bi.” Ameera menjawab, tetapi tangannya tidak menyentuh botol minum itu sama sekali. Sementara MuA sed
Jicko dan Ameera berjalan di atas semacam altar. Tetapi jelas bahwa itu bukanlah altar. Hanya panggung kecil dan memanjang seukuran lebar 1,5 meter dan panjangnya sepuluh meter. Dilapisi dengan karpet merah, di pinggir karpet dijahit dengan benang emas bermotif khusus.Lalu di sisi kiri dan kanan panggung setinggi tulang kaki itu ada para tamu undangan. Mereka memandang takzim sepasang pengantin pagi ini. Acara dilaksanakan di luar ruangan (out door) dengan atap adalah dome (kubah kaca). Dua pengantin itu bergandengan tangan. Amat mesra. Semua yang melihatnya, terutama kaum jomblo dan jomblowati bahkan anak remaja sekalipun akan iri pada mereka. Saling melengkapi. Satu si cantik dan satunya lagi si tampan. Mereka dipasangkan amat serasi. Semacam pepatah ‘si cantik akan cocok dengan si tampan’. “Bisa langsung kita mulai acaranya?” Penghulu bertanya sesaat setelah Ameera dan Jicko duduk di kursi ijab kabul. Jicko mengangguk, “Silakan,” katanya. Giliran Pak penghulu itu yang mengang
Di rumah sakit kota, di lantai atas, Gino terduduk di atas ranjang tidurnya. Mata menatap keluar bangunan. Melirik mentari yang bersinar terang. Tangan memegang perut, sekali dia mendesis kesakitan. Padahal dia belum melakukan operasi, tapi rasanya sudah sesakit ini. Dia hanya baru menjalankan terapi saja. Suster datang membawakan pria itu makan siang. Diletakkan di atas meja di samping ranjang tidurnya. Suster curi-curi pandangan saat melirik pria itu. Dia melamun. “Pak Gino butuh sesuatu?” Suster bertanya. Dia memberanikan diri. Gino menggeleng pelan, “Tidak.” “Kalau begitu, Pak Gino makan dulu. Sudah waktunya makan siang.” “Aku tidak lapar, Sus.” “Meskipun tidak lapar, Anda harus tetap makan. Supaya Anda memiliki tenaga.” Suster mengulum senyum. Gino mendesah lelah nan gusar. Dia tidak membantah. Pria itu menuruti perintah perawatnya. Suster itu duduk di samping Gino, dia menyuapi bubur masuk ke dalam mulut pria itu. Gino sendiri duduk di kepala ranjang, bersandar di sana.
“Bawa koper ke dalam kamarku!” Jicko memerintah sopir untuk menggeret dua koper besar ke dalam kamarnya. Dia menunjuk tempat itu di depan muka. Itu koper pakaian Ameera. Sang sopir mengangguk. Lekas dijalankan perintah sang tuan. Ameera berdiri di samping Jicko. Matanya sedang memerhatikan rumah sang suami. Besar sekali. Pun berdiri di dalam komplek golf permai di kota modern. Jangan tanyakan seberapa bagusnya tempat ini. Masuk ke kota modern harus memakai identitas khusus. Ameera sempat takjub sejenak. “Di rumah ini hanya ada kita berdua. Jangan tanya ke mana pelayan. Aku tidak memperkerjakan satu asisten rumah tangga pun di sini.” Jicko menjelaskan, “Tukang bersih-bersih rumah akan datang seminggu dua kali. Jam kerja mereka Minggu dan Rabu.” Jicko menuntun jalan, maksudnya menjelaskan isi detail rumah ini. Ameera mendengar takzim. Tepekur diam, enggan menyela. “Pantry dapur, kolam renang, tempat olahraga dan lain-lain dalam rumah ini, kamu bebas memakainya. Di komplek kota moder
Hari-hari berlalu. Hari berikutnya, jam sembilan pagi, di rumah besar Mama. Jicko dan Ameera duduk di kursi meja makan, menikmati sarapan pagi. Mereka berada di sana, Maria yang meminta sejak pagi sekali untuk sarapan bersama. “Jadwal cuti kerja kamu masih ada seminggu lagi, kan?" Mama berkata disela sarapan pagi ini. “Besok aku mulai kembali ke kantor.” “Ha? Cepat sekali. Bukannya seminggu?” Maria menatap terkejut. “Aku tidak bisa libur lama-lama. Aku tidak terbiasa.” “Tapi kamu bosnya, Jicko. Kepala grup. Papa kamu pas jadi kepala grup jarang ke kantor. Dia mengontrol semuanya dari rumah. Pekerjaan kamu juga seharusnya bisa di-remote dari sini.” “Lalu?” Jicko berhenti menyendok makanan ke dalam mulut. Sendok emas 24 karat yang dipakai untuk makan menggantung di atas piring. “Itu kan Papa, bukan aku. Mama tidak bisa menyamakannya." “Memang apa bedanya?” Maria bertanya. “Bedanya terletak pada pribadi masing-masing. Kalau Papa lebih suka kerja remote, maka aku tidak.” “Ah, ter
Kamis pagi, pukul sembilan. Ameera diantar Jicko datang ke balai pertemuan ibu istri kepala negara di gedung pertemuan alam indah permai golf. Di kota modern tentunya. Tidak jauh dari komplek megah rumah Jicko. Jaraknya hanya dua kilometer. Namun Jicko mengantar tidak sampai masuk ke dalam. Hanya sebatas tempat parkiran. Karena Jicko harus pergi setelahnya. Ameera mengenakan gaun hitam berenda sebatas tulang kering kaki. Dengan tas kulit keluaran brand H, senada dengan gaun yang dikenakan. Rambut Ameera dicatok dengan gaya bergelombang dan digerai panjang. Makeup di wajah dibuat senatural mungkin. Dia tidak mau penampilan riasannya terlalu mencolok. Apa yang Ameera pakai pagi ini adalah yang paling mahal. Semuanya bernilai ratusan juta. Jicko telah mengatakannya kemarin. Dia harus datang dengan sesuatu yang tidak membuat reputasi sang suami malu. “Ingat, utamakan penekanan dalam setiap kata-kata yang akan kamu keluarkan.” Jicko mengingatkan sebelum Ameera keluar dari automobile-nya
Jicko menyeringai tersenyum manakala ketika mendengar Ameera menjawab ucapan para istri pejabat negara berusaha mengolok-oloknya. Dalam hati Jicko puas dengan ucapan yang Ameera katakan. Jicko tidak salah menilai kalau Ameera adalah wanita yang didefinisikan cantik tetapi mematikan. Ucapannya skak mat. Jicko menguping pembicaraan serius Ameera dan wanita-wanita yang ada di sana melalui alat sadap yang pria itu letakkan di dalam tas sang istri. Dia akan mendengar dengan jelas apa saja yang mereka katakan di sana. Jicko terduduk diam di sofa ruang tengah rumah. Telinga lamat-lamat mendengar percakapan itu. “Bisa main golf?” tanya sang istri presiden. Ameera mengangguk. Acara kini berganti, dari jamuan minum teh hangat menjadi main golf. Satu jam telah berlalu. Waktu kian bertambah. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Terik matahari bersinar terang. “Olahraga ini tidak terlalu unik, tetapi hal-hal yang harus diperhatikan saat bermain golf itu amat rinci. Kita terkadang harus memahaminya
Roti panggang isi telur, sayuran dan olesan mayonaise telah terhidang di atas meja. Ameera menyediakannya untuk makan siang sang suami. Jicko menatap heran. Masakan di depannya tidak biasa. Dia belum pernah melihat makanan ini. Bahkan belum pernah mencicipinya sama sekali, seumur hidup. “Kamu bisa masak rupanya?" Jicko berkata dengan nada meremehkan. Dikiranya Ameera ini termasuk jutaan wanita yang tidak pandai memasak. Alasan klasiknya, benci bau bawang. Ameera duduk di depan Jicko, di seberang meja makan pantry. “Buat jaga-jaga.” “Jaga-jaga?” Jicko penasaran. Ameera menyendok makanan masuk ke dalam mulut, lalu membalas tatapan penasaran sang suami. “Kakak sakit karena kanker. Makan yang dikonsumsi harus terjaga kebersihannya. Aku belajar memasak sebagai alternatif lain supaya aku bisa mengontrol makanannya. Satu hal terbesar dalam hidupku. Jika aku tahu kakak mengidap penyakit seperti ini, aku mungkin tidak akan mengambil kuliah kedokteran bedah spesialis. Mungkin aku akan memil