Malam ini Jicko tidak pulang ke rumah Mama. Dia akan kembali ke rumahnya, di kota modern. Rumah besar yang hanya dihuni olehnya sendirian. Kalau ingin pergi ke rumah itu, Jicko butuh waktu 50 menit untuk sampai. Rumahnya berada pas di block golf permai. Di depan seberang rumahnya yang ada jalan dua jalur, milik artis inisal PL. Dekat juga dengan balai pertemuan negara. Pria itu berdiri di depan dinding kaca yang menghadap ke taman kecil dengan rumput hijau terhampar. Di tangannya memegang segelas minuman beralkohol kadar beberapa persen. Mengenakan piyama hitam. Sekali diteguknya minuman itu. “Agnes melukai Nyonya Ameera, Pak,” ujar Anda tadi siang. Jicko teringat kejadian itu, ketika sekretaris melaporkan. Anda mendapatkan informasi dari sopir yang mengantar ke rumah sakit. Lalu Anda juga menyerahkan rekaman CCTV di salon tempat Ameera diantar perawatan. Jelas sekali kalau Agnes sengaja mengaitkan kawat gelangnya ke telinga Ameera. Posisi badan Ameera yang tertidur di kursi perawa
“Lukanya sudah membaik dari waktu perkiraan.” Dokter berkomentar. Mata dan tangannya sibuk pada pemeriksaan telinga Ameera yang robek parah beberapa waktu lalu. “Pastikan kalau lukanya benar-benar tidak membekas. Besok kami akan menikah, dia dipastikan akan menggunakan anting lagi.” Jicko menyahut dari tempat duduknya. Jicko berada di ruang pemeriksaan, mengantar Ameera melakukan pengobatan lanjutan. Ini perintah Mama. Dokter yang menangani pengobatan ini mengangguk. Dokter perempuan itu rupanya seorang yang ahli. Jicko tidak perlu meragukannya sama sekali. “Kami akan melakukan pelaseran supaya luka robek ini bisa menyatu lagi. Bapak setuju?” “Lakukan jika itu yang terbaik.” Jicko menjawab tegas. “Kami lakukan yang terbaik,” kata dokter itu tegas. Sesaat kemudian dia mengarahkan Ameera ke ruangan lain, masih di ruangan kerjanya. Ada alat praktiknya di sana. Alat untuk pengobatan. Dokter itu meminta Ameera tidur di atas bangsal lipat, semacam kursi yang bisa diatur tinggi dan ren
“Jicko, ini kenapa?” Maria bertanya di teras rumah. Dia berpapasan dengan Jicko dan Agnes. Tapi dalam situasi yang menegangkan. Maria baru saja tiba di kediaman sepulangnya dari pemakaman. Muka merah Jicko kelihatan sedang menahan amarah. Tangan menggenggam erat dan menarik kuat tangan Agnes, dibawa berjalan cepat menuju ke auto pilotnya yang terparkir di depan teras. Pria itu tidak mengindahkan ucapan sang ibu. Dia hanya fokus pada apa yang dilakukannya. Dalam situasi seperti ini, Jicko akan sulit menahan segalanya. “Masuk!” Jicko memerintah. Ucapannya kasar, nada bicaranya bengis. Dia mendorong paksa badan Agnes masuk ke dalam mobil. “Kalian, bawa semua pakaian Agnes, ikuti mobilku dari belakang!” Jicko memandang tajam para pelayan dan sopir yang memerhatikannya sejak tadi. Jicko memutar mobil, masuk ke pintu kemudi. Pintu itu dibanting keras. Sesaat kemudian mobil itu tancap gas meninggalkan rumah. Beberapa pelayan yang disuruh mengemasi baju-baju Agnes, telah menyelesaikan pek
“Mama sudah tahu semuanya.” Maria berkata. Jicko belum merespon. Ekspresi wajahnya datar. Terkesan biasa saja. Dia belum bisa antusias menanggapi ucapan sang Mama. Pria itu baru saja sampai di dalam rumah. Maria telah menunggunya sejak tadi. Sejak setengah jam lalu. Mereka duduk di sofa. Suasana saat itu agak dingin. Maria tahu seperti apa sifat Jicko. Takkan banyak bicara dalam keadaan ini. Amarah Jicko yang sedang menggebu-gebu sebaiknya tidak perlu dipancing. “Mama sudah melihat rekaman CCTV. Mama tidak bisa membenarkan sifat Agnes.” Mama melanjutkan ucapannya. “Lalu?” Jicko merespon singkat. “Mama ...,” Maria menghela napas berat, “Mama enggak tahu harus ngomong apa. Mama bingung harus bagaimana. Mungkin Mama akan berpihak sama kamu, kalau begini ceritanya. Cuma, Mama sepertinya sangat menyesal membawa Agnes ke sini. Datang ke rumah ini dengan harapan dia satu-satunya keluarga yang bisa melihat kamu menikah. Mama terlalu berharap banyak sama dia. Tetapi Agnes sendiri membuat M
Pagi, setengah tujuh, Ameera bangun pagi sekali. Maksud hati bersiap-siap. Ini harinya. Hari pernikahan Ameera dan Jicko. Hari yang sangat istimewa dan spesial. Gadis itu berada di ruangan rias pengantin. Sedang dirias menawan oleh makeup stylish professional. Pernikahan ini akan dilaksanakan di gedung balai negara atau gedung Paku Alam lll di pusat ibukota. Tamu undangan akan hadir di sana. Sesuai arahan dalam undangan. Tempat itu privat, khusus dijadikan acara tertutup. Tamu undangan tersohor yang bakal hadir kurang dari tiga ratus orang.“Mbak, minum dulu.” Pelayan senior menyodorkan sebotol air mineral. Diletakkan di depan kaca meja rias. Beliau memerhatikan dengan seksama wajah menawan sang Nyonya muda. Tegang dan gusar. Pelayan senior itu memahami satu hal, dia gugup. Semua pengantin wanita yang akan menikah pasti bakal melalui hal ini. Tidak terkecuali Ameera. “Terima kasih, Bi.” Ameera menjawab, tetapi tangannya tidak menyentuh botol minum itu sama sekali. Sementara MuA sed
Jicko dan Ameera berjalan di atas semacam altar. Tetapi jelas bahwa itu bukanlah altar. Hanya panggung kecil dan memanjang seukuran lebar 1,5 meter dan panjangnya sepuluh meter. Dilapisi dengan karpet merah, di pinggir karpet dijahit dengan benang emas bermotif khusus.Lalu di sisi kiri dan kanan panggung setinggi tulang kaki itu ada para tamu undangan. Mereka memandang takzim sepasang pengantin pagi ini. Acara dilaksanakan di luar ruangan (out door) dengan atap adalah dome (kubah kaca). Dua pengantin itu bergandengan tangan. Amat mesra. Semua yang melihatnya, terutama kaum jomblo dan jomblowati bahkan anak remaja sekalipun akan iri pada mereka. Saling melengkapi. Satu si cantik dan satunya lagi si tampan. Mereka dipasangkan amat serasi. Semacam pepatah ‘si cantik akan cocok dengan si tampan’. “Bisa langsung kita mulai acaranya?” Penghulu bertanya sesaat setelah Ameera dan Jicko duduk di kursi ijab kabul. Jicko mengangguk, “Silakan,” katanya. Giliran Pak penghulu itu yang mengang
Di rumah sakit kota, di lantai atas, Gino terduduk di atas ranjang tidurnya. Mata menatap keluar bangunan. Melirik mentari yang bersinar terang. Tangan memegang perut, sekali dia mendesis kesakitan. Padahal dia belum melakukan operasi, tapi rasanya sudah sesakit ini. Dia hanya baru menjalankan terapi saja. Suster datang membawakan pria itu makan siang. Diletakkan di atas meja di samping ranjang tidurnya. Suster curi-curi pandangan saat melirik pria itu. Dia melamun. “Pak Gino butuh sesuatu?” Suster bertanya. Dia memberanikan diri. Gino menggeleng pelan, “Tidak.” “Kalau begitu, Pak Gino makan dulu. Sudah waktunya makan siang.” “Aku tidak lapar, Sus.” “Meskipun tidak lapar, Anda harus tetap makan. Supaya Anda memiliki tenaga.” Suster mengulum senyum. Gino mendesah lelah nan gusar. Dia tidak membantah. Pria itu menuruti perintah perawatnya. Suster itu duduk di samping Gino, dia menyuapi bubur masuk ke dalam mulut pria itu. Gino sendiri duduk di kepala ranjang, bersandar di sana.
“Bawa koper ke dalam kamarku!” Jicko memerintah sopir untuk menggeret dua koper besar ke dalam kamarnya. Dia menunjuk tempat itu di depan muka. Itu koper pakaian Ameera. Sang sopir mengangguk. Lekas dijalankan perintah sang tuan. Ameera berdiri di samping Jicko. Matanya sedang memerhatikan rumah sang suami. Besar sekali. Pun berdiri di dalam komplek golf permai di kota modern. Jangan tanyakan seberapa bagusnya tempat ini. Masuk ke kota modern harus memakai identitas khusus. Ameera sempat takjub sejenak. “Di rumah ini hanya ada kita berdua. Jangan tanya ke mana pelayan. Aku tidak memperkerjakan satu asisten rumah tangga pun di sini.” Jicko menjelaskan, “Tukang bersih-bersih rumah akan datang seminggu dua kali. Jam kerja mereka Minggu dan Rabu.” Jicko menuntun jalan, maksudnya menjelaskan isi detail rumah ini. Ameera mendengar takzim. Tepekur diam, enggan menyela. “Pantry dapur, kolam renang, tempat olahraga dan lain-lain dalam rumah ini, kamu bebas memakainya. Di komplek kota moder
Tahun berlalu lagi. Usia Jeano makin bertambah. Tak terasa. Anak itu sudah tumbuh jadi pemuda agak dewasa. Dengan perawakan tinggi jangkung, macam bapaknya. Tingginya hampir dua meter, jika saja ditambah empat centi lagi. Ngomong-ngomong, Mama sudah bekerja di rumah sakit. Dia sudah jadi dokter, lho. Dokter bedah jantung paling masyhur di rumah sakit tempatnya bekerja. Sekali Jeano ke sana. Ehm ..., orang-orang sangat menghormati beliau. Bahkan Mama sudah dapat gelar profesor dari universitas kenamaan Inggris atas prestasi hebatnya. Kalau Papa ....? Ah, dia selalu sibuk akhir-akhir ini. Apalagi dalam dua pekan terakhir. Dia sibuk sekali. Papa jadi penyokong terbesar dalam penyelanggaraan Asian games yang diselenggarakan di kota kami. Perusahaan Linux automobiles, Linux Star-X dan Linux mobile-nya jadi sponsor utama. Logo roket, mobil dan telepon seluler milik perusahaan Papa paling menonjol dari semua sponsor resmi. Eh, tapi Jeano patut bangga. Masalahnya, bukan karena Papa saj
Lima tahun berlalu. Jeano sudah besar. Tingginya kira-kira 140 cm. Cukup tinggi untuk ukuran bocah enam tahun. Kecuali temannya yang bisa menyaingi tinggi anak itu. Si Sultan, anaknya Om Gabriel. Jeano mengayuh sepeda. Mempercepat laju sepeda, tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Hendak melaporkan sesuatu pada sang Papa. “Papa, Jeano berantem hari ini,” kata anak itu. Tanpa ada rasa bersalah. Seolah dia sedang menyombongkan diri bahwa dia jago berkelahi. Papa menoleh ke arahnya. Waktu itu Papa sedang ada di garasi mobil. “Berantem sama siapa?” tanya Papa. Dahinya mengerut. Agak penasaran. “Sama Beryl.” “Berantem kenapa?” tanya Papa lagi. Dia tidak khawatir pada anaknya. Sebab anak itu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada memar. Yang dikhawatirkannya adalah si Beryl, teman sepermainannya di dalam komplek perumahan ini. “Dia bawa sepeda Jeano. Ya Jeano pukul dia. Jeano tinju perutnya. Dia nangis.” Anak itu memberitahu. Ketika mendengar penuturan itu, darah di dalam diri Jicko mendidih r
Setahun berlalu. “Mama enggak ikut?” Jicko bertanya. Pagi itu anaknya dan menantu mau pergi keluar. Mengajak si kecil jalan-jalan. Umurnya sudah setahun. Sudah bisa diajak ke mana-mana. Dalam gendongan sang Papa. Sudah rapi. Wangi pula. “Enggak. Kalian aja. Mama enggak bisa pergi hari ini. Tante kamu mau ke sini hari ini. Kasihan dia, sudah jauh-jauh terbang dari Amerika sana tapi enggak ada yang nyambut.” “Yah. Padahal seru kalau Mama ikut.” Ameera menyahut. “Ini waktu kalian, sayang. Mama enggak mau ganggu.” “Mama beneran enggak bisa ikut?” tanya Jicko lagi. Memastikan. Mama cepat menggeleng. Mama benar-benar tidak bisa pergi. Mama harus menjamu Tante yang akan tiba siang ini.”“Ya sudah deh. Kalau gitu, Jicko berangkat ya, Ma. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Jicko. Biar kami bisa pulang kalau Mama butuh bantuan.”“Hush. Ada bibi. Mana mungkin Mama kenapa-kenapa. Berangkat sana, nanti kesiangan.” Maria mengusir halus. Menantu dan anaknya langsung bergegas. Mobil sudah sia
Hari Rabu tiba. Begitu masuk ke kantor, Jicko langsung diberondongi banyak dokumen. Tya dan Anda menghadap ke meja kerja bos besar mengingatkan kalau hari ini rapat penting akan diadakan. Ia berjanji begitu dua pekan lalu, sebelum ambil cuti. “Semuanya sudah siap, Pak. Mau ke sana langsung?” Tya memberitahu. Jicko melirik dokumen di depan mukanya sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Berdiri, mendorong kursi kerja ke belakang. “Semua jajaran direksi sudah tiba di ruang rapat?” tanya Jicko. Dua sekretarisnya mengikuti langkah orang itu. Mereka sudah berjalan menuju ke lift, turun ke satu lantai di bagian bawah ruangan kerja Jicko. “Sudah, Pak. Semua sudah datang. Tinggal menunggu Anda lagi.” Tya menjawab pertama. Pintu lift terbuka. Beberapa karyawan menyapa ramah di lorong menuju ruangan rapat. Beberapa lagi menuntun menuju ke tempat besar itu. “Silakan, Pak,” kata karyawan. Tangan membuka pintu untuk sang bos besar. Beberapa petinggi perusahaan berdiri begitu meli
Pagi ini, cuaca mendung. Angin bertiup kencang. Baju yang dikenakan Ameera dan Jicko berkibar-kibar. Awan hitam menutupi langit di atas pemakaman Beverly hills county. Ameera duduk di depan pemakaman Gino yang sudah dicor beton. Sedangkan Jicko memayungi sang istri. Diletakkannya buket bunga di sana. Mereka hari ini berkunjung. Sesuai permintaan Ameera beberapa hari lalu pada Maria. Sehingga ketika dia mendapatkan waktu untuk berkunjung, anaknya akan diasuh oleh sang mertua. “Kak. Aku dateng hari ini. Aku berkunjung ke tempat kakak. Sekalian berkunjung ke pemakaman ayah dan ibu.” Ameera bergumam pelan. Memberitahu, maksudnya. Hujan rintik-rintik mulai luruh. Airnya tumpah di atas badan Jicko dan Ameera sebatas pinggang. Angin kian bertiup kencang. “Seminggu lalu aku sudah lahiran. Laki-laki. Anakku laki-laki. Dia sehat sekarang. Maaf kalau aku dateng enggak bawa dia ke sini. Karena dia belum bisa diajak bepergian. Tapi nanti kalau dia sudah sudah bisa jalan, aku bakal bawa dia k
Waktu melahirkan sudah tiba. Ameera dalam kondisi bersiapnya. Dokter yang membantu telah siaga. Malam ini pukul satu. Jam melahirkan yang sangat menyebalkan. Udara juga dingin, menusuk pori-pori. Jicko menemani istrinya di ruang bersalin. “Tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Tarik lagi, hembus lagi. Lalu dorong. Dorong Bu, sekuat tenaga.” Dokter memberi aba-aba dan arahan. Ameera menuruti perintah sang dokter. Ditariknya napas dalam-dalam. Bahkan sampai penuh rasanya paru-paru. Peluh membanjiri badan. Rasanya tak menyenangkan sama sekali dalam kondisi ini. Rambut juga terasa lepek. Bak orang keramas ulah keringat yang bercucuran. “Tarik napas lagi, Bu. Lebih dalam. Lalu hembuskan. Yak ..., dorong kuat.” Dokter kembali mengintruksi. Ameera masih mengikuti apa perintah dokter melahirkan itu. Jicko memegang erat tangan istrinya. Tidak dilepaskan. Dia penyemangat di sana. Muka pria itu sesekali terlihat tegang. Ini sesuatu yang baru baginya. Menyaksikan perempuan melahirkan. Sekaligu
Hari-hari berlalu. Semuanya mulai terlupakan. Mulai direlakan. Ameera juga sudah keluar dari zona sedih. Hidup masih berlanjut. Masih ada hari esok. Jadi tidak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Perlu diingat, dia masih punya keluarga yang harus diperhatikan. Ada suaminya. Ada Mama mertua. Ada calon anak yang harus diurus. Buat apa dia memendam semua itu? Tidak ada gunanya. Itu tidak akan membuat Gino bangkit dari kubur. Sebaliknya, lebih baik fokus pada hari ini dan kedepannya. Itu prinsip Ameera saat ini. Sekarang pukul sembilan. Jicko baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Memeriksa dokumen peluncuran produksi mobil listrik keluaran terbaru. Seharusnya hari ini rapat tinggi tingkat direksi. Namun Jicko meminta semua itu ditunda. Lagian, dia bosnya. Mau apa mereka kalau Jicko menolak atau membatalkan rapat penting. Dia sesuka hati bisa melakukan apapun pada perusahaannya. Jika tidak senang, bisa angkat kaki dari Linux Inc. Mudah bukan? Mengganti CEO, CFO bahkan sampai jajaran
Masih di hari yang sama. Waktu berpindah setengah jam berikutnya. Di kamar Jicko dan Ameera. “Ra, aku tahu kamu butuh waktu sendiri. Tapi mau bagaimanapun, aku sebagai suami, enggak bakal biarin kamu sendirian, Ra. Aku enggak bakal biarin itu terjadi.” Jicko berkata tegas. Ameera mengulum senyum. Dia mengiakan kata-kata suaminya. Ameera berdiri dari duduknya di pinggir ranjang tidur. Melangkah mendekati Jicko, lantas memeluknya. Jicko bersiap. Langsung dibelainya rambut sang istri. Pelukan itu hangat. Ameera sempat menangis lagi, dalam diam. Tetapi dia berhasil mereda segalanya. Jicko kemudian teringat ucapan ibunya satu jam lalu. “Tolong jangan ceritain kisah ini ke Ameera,” kata Maria waktu mereka berbincang di gazebo taman pemakaman. Jicko mengangguk. Dia akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Jicko bertanya-tanya, kenapa Mama melakukan semua ini. Namun yang pasti, Mama hanya mengatakan bahwa ini semua demi Ameera. Dia tidak mau membuat anak itu sakit hati atas apa yang terja
“Biarkan Ameera di sana sebentar. Kamu ikut Mama. Ada yang mau bilang sama kamu.” Maria berkata pada anaknya. Jicko menurut. Diikuti langkah kaki sang ibu. Meninggalkan Ameera yang masih terisak pilu di depan pusara sang kakak. Di samping tempat peristirahatan terakhir ibunya dan sang ayah. Mereka telah beristirahat dengan damai, menemui Tuhan di akhirat sana. Berkumpul di tempat yang sama. Maria membawa Jicko ke gubuk beton (gazebo pemakaman) di pekuburan Beverly Hills county. Di sana mereka hanya berdua, bicara empat mata. Face to face. Jaraknya puluhan meter dari liang lahat Gino. “Mama mau bilang apa?” Jicko bertanya begitu mereka sampai di gazebo marmer putih itu. “Rahasia yang puluhan tahun Mama sembunyikan dari kamu.” Maria menjawab santai. Tapi jelas bahwa Maria tidak terlihat tenang saat itu. Waktu itu mereka memakai baju serba hitam. Jicko dengan setelan jas dan kemeja hitam, sedangkan Ameera dan sang Mama memakai dress dengan payet mengilap. Khas orang-orang yang perg