“Nyonya, ada kiriman dari Tuan.” Kepala asisten rumah tangga datang, berlari tergopoh-gopoh menghampiri Maria dan Ameera yang sedang berada di taman belakang. Maria sedang olahraga, main golf. Tangannya tengah mengayunkan tongkat golf, bersiap memukul bola itu dengan ancang-ancang. Tetapi kegiatannya mendadak harus terhenti. “Apa ini?” tanya Maria. “Enggak tahu, Nyonya. Enggak berani buka.” Pelayan itu menggeleng. Maria menyambut bungkus tipis cokelat itu. Lalu dibukanya. Ada undangan di sana. Dahinya mengerut. Cepat sekali, pikirnya. Kapan Jicko melakukan ini? Sepertinya anak itu benar-benar serius akan menikahi Ameera. Seharusnya Maria senang. Sebab Jicko kali ini menjadi anak yang benar-benar patuh. Paling tidak, dalam hal ini tidak ada yang terpaksa. Semua rupanya berjalan sesuai rencana Maria. “Meera, ini undangan pernikahan kalian, Nak?” Ameera yang ada di belakang Maria, datang mendekatinya. Gadis itu memerhatikan sampul undangan di tangan Mama. “Iya, Ma.”“Kapan kalian f
Jicko mengantar Ameera pulang, tepat jam dua belas. Bersamaan dengan karyawan yang meninggalkan ruangan kerja, mencari makan di lantai bawah dan tengah. Atau keluar ke tempat lain. Beberapa karyawan menyapa ramah ketika berpapasan dengan bos besar. Beberapa berbisik soal gadis cantik yang berjalan seiringan dengan Jicko. Yang lainnya berspekulasi. Dan gonjang-ganjing soal Jicko akan menikah, rupanya mulai beredar luas. Satu-dua orang menatap takjub. Calon istri presiden direktur sangat menawan. Pantas sekali bersanding dengan beliau. “Simpan untukmu.” Jicko menyerahkan kartu hitam, sesaat setelah dia masuk ke dalam mobilnya dan Ameera sudah duduk di sebelahnya. Mobil itu kemudian bersiap berangkat. “Apa ini?" “Kartu kredit tanpa limit.” “Buat apa?” Jicko melirik sekilas, “Kamu bisa memakainya untuk apapun. Kartu itu juga akses VVIP untuk semua tempat populer yang ingin kamu masuki.” Ameera menggeleng pelan, “Aku bukan bertanya tentang itu. Tapi buat apa Kakak memberikannya kepa
Makan malam berlangsung, kali ini berbeda. Ada tamu baru yang hadir di sana. Tentu saja Agnes. Dan ini makan malam pertama bagi perempuan itu, sedangkan kesekian kalinya bagi Jicko. Semenjak ada Ameera di rumah ini, Jicko diperintahkan untuk lebih banyak makan di sini. Biasanya Jicko makan malam bersama tamu-tamu yang mengundangnya dalam acara penting dan besar. Misalnya Pak presiden. Atau bersama staf negara. Atau bersama menparekraf. “Nes, gimana kerjaan kamu di Jawa?” Maria membuka percakapan. “Lancar aja, Ma. Bulan depan Agnes mau dipromosiin jadi direksi. Tapi agak bimbang, soalnya mau dipindahin ke Kalimantan. Kejauhan kalau ke sana.” Agnes menjelaskan. Makanan masuk ke dalam mulut, setelah itu. “Ada kantornya di sana?” “Ada. Tapi bangunannya enggak tinggi-tinggi kayak di Jawa, Ma. Terus ya, takut akses di sana jauh-jauh. Agnes enggak bisa kalau kantornya harus jauh dari bandara. Makanya ini bimbang mau diambil apa enggak promosinya.” “Enggak nyoba gabung di perusahaan gru
Hari-hari berlalu, tidak terasa beberapa hari lagi Jicko dan Ameera menikah. Pagi ini, Ameera diajak Maria pergi ke salon. Perawatan sebelum hari itu tiba. Agnes juga ikut. Kebetulan saja dia ambil cuti beberapa Minggu. Terus, dia tinggal dengan Maria di rumah besarnya. “Cantik betul calon menantu Tante ini.” Pemilik salon kecantikan ternama di kota kami ini berkomentar. Dia tersenyum ramah. Basa-basi. Biasalah, itu sering terjadi. Apalagi tamu yang datang ke bisnis kecil-kecilan ini adalah tamu kerhomatan. “Iyalah dia cantik, kan Tante yang pilihin.” Maria ikut tertawa. Mereka bicara santai. Agnes menatap ketus. Tangannya melipat di dada. Dia tak senang ada yang memuji gadis ini. Apanya yang cantik. Perempuan lusuh pikirnya, tidak pantas sama sekali dikatakan cantik. Pun tak pantas disandingkan dengan kak Jicko yang terhormat. Baju yang dikenakannya barangkali hasil dari memorot uang Mama. “Ini siapa, Tante? Baru lihat.” Perempuan pemilik salon menatap penampilan Agnes. “Dia ke
Kedua tangan Jicko berada di dalam saku celana, pandangannya menatap lurus ke depan. Dia berdiri di atas anak tangga lantai utama rumah sakit. Di depannya adalah dinding kaca tebal yang menghadap ke taman. Sedangkan Agnes, perempuan itu berdiri di belakang pria jangkung ini dengan wajah takut dan tergugu gugup. “Kenapa kamu melakukannya?” ucap Jicko. Dia membuka percakapan pertama tanpa menoleh ke belakang sama sekali. “Aku tidak sengaja!” “Aku tahu kamu, Agnes!” Jicko menyentak, “Kamu punya sifat yang buruk. Kamu dendam kan sama dia?” Agnes menggeleng, “Dengan anak kecil itu? Calon istri sialan kamu itu? Untuk apa?” Agnes mendengus, lalu tertawa getir. Jicko membalikkan badannya, mata bersitatap dengan adik sepupunya itu. Rahang Jicko mengeras dan giginya gemelatuk beradu. Tanda bahwa kesabaran Jicko tidak bisa diuji oleh siapapun. “Dia membantah ucapan kamu malam kemarin!" Jicko berkata tegas. Mata Agnes langsung membulat besar. Dia sedikit agak terkejut ketika Jicko menyinggu
Malam ini Jicko tidak pulang ke rumah Mama. Dia akan kembali ke rumahnya, di kota modern. Rumah besar yang hanya dihuni olehnya sendirian. Kalau ingin pergi ke rumah itu, Jicko butuh waktu 50 menit untuk sampai. Rumahnya berada pas di block golf permai. Di depan seberang rumahnya yang ada jalan dua jalur, milik artis inisal PL. Dekat juga dengan balai pertemuan negara. Pria itu berdiri di depan dinding kaca yang menghadap ke taman kecil dengan rumput hijau terhampar. Di tangannya memegang segelas minuman beralkohol kadar beberapa persen. Mengenakan piyama hitam. Sekali diteguknya minuman itu. “Agnes melukai Nyonya Ameera, Pak,” ujar Anda tadi siang. Jicko teringat kejadian itu, ketika sekretaris melaporkan. Anda mendapatkan informasi dari sopir yang mengantar ke rumah sakit. Lalu Anda juga menyerahkan rekaman CCTV di salon tempat Ameera diantar perawatan. Jelas sekali kalau Agnes sengaja mengaitkan kawat gelangnya ke telinga Ameera. Posisi badan Ameera yang tertidur di kursi perawa
“Lukanya sudah membaik dari waktu perkiraan.” Dokter berkomentar. Mata dan tangannya sibuk pada pemeriksaan telinga Ameera yang robek parah beberapa waktu lalu. “Pastikan kalau lukanya benar-benar tidak membekas. Besok kami akan menikah, dia dipastikan akan menggunakan anting lagi.” Jicko menyahut dari tempat duduknya. Jicko berada di ruang pemeriksaan, mengantar Ameera melakukan pengobatan lanjutan. Ini perintah Mama. Dokter yang menangani pengobatan ini mengangguk. Dokter perempuan itu rupanya seorang yang ahli. Jicko tidak perlu meragukannya sama sekali. “Kami akan melakukan pelaseran supaya luka robek ini bisa menyatu lagi. Bapak setuju?” “Lakukan jika itu yang terbaik.” Jicko menjawab tegas. “Kami lakukan yang terbaik,” kata dokter itu tegas. Sesaat kemudian dia mengarahkan Ameera ke ruangan lain, masih di ruangan kerjanya. Ada alat praktiknya di sana. Alat untuk pengobatan. Dokter itu meminta Ameera tidur di atas bangsal lipat, semacam kursi yang bisa diatur tinggi dan ren
“Jicko, ini kenapa?” Maria bertanya di teras rumah. Dia berpapasan dengan Jicko dan Agnes. Tapi dalam situasi yang menegangkan. Maria baru saja tiba di kediaman sepulangnya dari pemakaman. Muka merah Jicko kelihatan sedang menahan amarah. Tangan menggenggam erat dan menarik kuat tangan Agnes, dibawa berjalan cepat menuju ke auto pilotnya yang terparkir di depan teras. Pria itu tidak mengindahkan ucapan sang ibu. Dia hanya fokus pada apa yang dilakukannya. Dalam situasi seperti ini, Jicko akan sulit menahan segalanya. “Masuk!” Jicko memerintah. Ucapannya kasar, nada bicaranya bengis. Dia mendorong paksa badan Agnes masuk ke dalam mobil. “Kalian, bawa semua pakaian Agnes, ikuti mobilku dari belakang!” Jicko memandang tajam para pelayan dan sopir yang memerhatikannya sejak tadi. Jicko memutar mobil, masuk ke pintu kemudi. Pintu itu dibanting keras. Sesaat kemudian mobil itu tancap gas meninggalkan rumah. Beberapa pelayan yang disuruh mengemasi baju-baju Agnes, telah menyelesaikan pek