"Bunda." lirih suara Anatasya memanggil Anaya. Anaya yang sedang mengamati kiriman video CCTV di ponselnya, langsung menekan tombol, untuk memanggil perawat.Wanita cantik itu, menggenggam tangan anak gadisnya, dengan wajah sumringah."Bunda di sini Sayang. Bunda sayang Acha. Apa yang sakit Nak?""Bunda. Aku haus." lirih suara Anatasya.Dokter dan perawat tiba di ruangan. Memeriksa Anatasya, lalu, berkata dengan senang "Perkembangannya sangat baik. Tubuhnya merespon obat dengan cepat. Setelah ini, kasih makan dan minum teratur dan bergizi, supaya cepat pulih." "Terima kasih Dokter." ucap Anaya. Anaya memberikan Anatasya minum. "Bunda. Kapan aku bisa pulang?" tanya Anatasya."Eh. Baru juga sadar Sayang. Belom bisa pulang dong." Anaya tau, jika Anatasya sangat tidak suka bau obat- obatan dan bau rumah sakit. Dia paling tidak betah lama-lama di rumah sakit. "Bentar lagi, polisi mau ke sini Nak. Mau nanya tentang kejadian kebakaran itu. Ada yang videoin." kata Anaya, setelah selesai
Wawan terus saja tertawa, melihat Renata yang tidak berdaya. Efek dari obat perangsang yang dia berikan sangat kuat. Jika tidak di salurkan, bisa di pastikan, tubuh Renata akan mengalami kejang-kejang. Gadis cantik itu, tidak bisa menghindar lagi. Kewarasannya sudah hampir hilang. Dia memohon pada Wawan, untuk menyelamatkan dirinya. Tentu saja Wawan berjingkrak senang. Video penghinaan Renata dan Niken padanya, yang dia dapatkan dari mata-matanya, membuat Wawan berambisi untuk membuktikan kepada Renata, jika dia adalah pria yang kuat di atas ranjang. Meskipun pergaulan Renata seperti itu, tapi dia masih bersegel. Tidak sembarangan menjajakan tubuhnya kepada laki-laki. Namun, hari ini, dia harus menuai apa yang sudah dia tabur. Jika dia sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, mengapa dia tega, merusak masa depan gadis-gadis lain, dengan menyerahkan mereka kepada manusia jahanam seperti Roy? Dan pada akhirnya, dia harus membayar dengan mahal. Kegadisannya sebentar lagi
Hendrawan dan Anaya, menyusul Niken, yang keluar dari ruangan itu dengan wajah yang ditekuk. Anaya menahan Niken dengan sapaan yang lembut. "Nyonya, terima kasih, sudah datang menjenguk anak kami. Meskipun tadi, anda salah kamar."Niken membalikan badannya. Melihat dua orang yang sangat dia benci, berdiri bersisian di hadapannya. Giginya gemeletuk menahan gusar. "Siapa yang mau menjenguk anak kamu? Gak sudi!"Anaya tersenyum. Lalu menatap suaminya. Memberikan isyarat, supaya dia bicara. Hendrawan menarik nafas dalam. Sebenarnya, dia sungguh muak berhadapan lagi dengan Niken. Apalagi harus bicara dengannya. Namun, apa daya, ini semua demi kebaikan anak-anaknya. "Begini Nyonya. Saya dan istri saya, ingin bicara hal yang penting dengan anda. Mengingat ini sangat penting, lebih baik kita bicara di tempat lain saja," ucap Hendrawan. Niken tertawa sinis. Semakin menjadi benci di hatinya terhadap Anaya. Gara-gara wanita ini, dia harus mendapatkan perlakuan ketus dari pria yang masih san
Beberapa waktu telah berlalu. Keadaan Tantri tidak berubah. Dia semakin kurus dan tidak berdaya. Aki Tungki bolak balik memberikan obat, namun, keadaan Tantri tidak mengalami perubahan justru semakin parah. Sedangkan Sunia, wanita itu merasa sedikit terganggu karena Tantri belum juga menyerahkan surat warisan dan memberitahukannya tentang letak harta-harta yang dia simpan selama ini.Selama dalam perawatan, Sintia tidak pernah absen datang menjenguk Tantri, meskipun dia tau, apa yang dia lakukan tidak ada gunanya, namun, dia tetap akan datang. Dia tidak mau memberi waktu kepada Tantri dan Sunia, untuk membicarakan tentang harta. Tanpa mereka ketahui, selama ini, Tantri menyimpan satu rahasia. Harta yang dia maksudkan dalam pembicaraannya beberapa waktu lalu dengan Sunia, adalah harta milik Nilam. Istri pertama Rustam. Mahar, perhiasan, dan beberapa properti atas nama Nilam sudah dia ambil alih, dengan membalik nama menjadi, miliknya. Yang mengetahui semua itu hanyalah Brian. Karen
Ting ... Ting ... "Asallamualaikum. Maaf, apakah kita bisa berkenalan?"Melisa yang sedang fokus menulis surat lamaran kerja, harus menghentikan kegiatannya sebentar, karena suara notifikasi pesan masuk di ponselnya. Nomor baru. Klik. Ada yang mengajak kenalan. Siapa dia? Klik foto Profil. Seorang pria tampan dengan wajah teduh. Pakai baju koko warna peach lengkap dengan kopiah hitam, menambah manis dan teduh wajahnya.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia sudah terlambat. Melisa sudah tidak sempat lagi membalas pesan itu. Bahkan tidak mencoba mengingat, apakah dia pernah bertemu dengan si pria atau tidak. Dimasukannya semua surat-surat, lalu pergi. Dari Mira sepupunya, Melisa tau jika ada penerimaan karyawan di salah satu PT, yang baru saja di resmikan. Dia sudah mendapatkan izin Surya supaya bisa bekerja. Entah pekerjaan seperti apa nanti yang akan dia kerjakan, mengingat selama ini, Melisa tidak pernah bekerja. Dengan langkah gugup, Melisa memasuki ruang hrd. Sudah ba
Sinar mentari menyirami permukaan bumi yang lembab. Menggeser waktu dengan cepat. Menuntun setiap makhluk untuk lebih cepat bergerak, karena waktu tidak pernah menunggu siapapun. Melisa yang sudah siap sejak subuh, duduk menunggu Surya selesai bersiap-siap. Ayahnya itu akan mengantarkan dia bekerja untuk pertama kalinya. Tidak bisa dikatakan bagaimana senangnya hati Surya, melihat perubahan dalam diri anak gadisnya itu. Melisa pernah mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Baru bicara saja, Surya sudah sangat bersyukur, apalagi hari ini dia mulai bekerja. "Kakak dapet kerja di bagian apa?" tanya Surya, saat mereka sudah di mobil. "Gak tau di mana Pa. Yang penting dapet kerjaan aja udah seneng aku." ucap Melisa dengan gembira. Sangat jelas dia begitu bahagia. Senyum terus terukir di bibirnya. Pekerjaan ini, akan menjadi salah satu kesibukan buat Melisa, agar dia tidak terlalu mengingat kejadian sial dalam hidupnya. Betapa dia menyimpan sedih dan lara, karena dia bukanlah wanita
Pertemuan bisnis itu, sekaligus dengan acara kumpul sahabat. Edward adalah teman Calvin. Mereka satu sekolah, satu kompleks tempat tinggal saat masih di Jerman. Dan sekarang, saat pindah ke Indonesia pun, mereka tetap bersama.Dari Calvin, Edward mendapatkan hunian di Bonafit Hills. Dan bisa berkerja sama dengan Perusahaan ArOne dan perusahaan keluarga Kusuma. Inggrid berjalan mendahului Melisa lalu bergabung dengan yang lainnya. Sedangkan Melisa, hanya bisa duduk di tempat yang disediakan untuk perusahaan mereka. Gadis itu mengamati sekitarnya dengan seksama. Bukan main suksesnya anak-anak ayahnya ini. Cafe ini sangat ramai, di dominasi anak muda. Tempat pertemuan mereka adalah ruangan yang terpisah, namun masih bisa melihat keadaan di sekitar cafe. Karena hanya di batasi dengan dinding kaca.Karyawan yang seliweran kesana-kemari, dan para ojek online yang mengantri pesanan, membuktikan, menu makanan di sini, memang berkualitas. Tentu saja, karena Arga adalah seorang koki handal.
Sudah sejak lama setelah kejadian mengenaskan itu terjadi, Erhan tidak lagi terlihat ceria. Teman-teman yang selalu ada bersama dia, perlahan pergi meninggalkannya. Sudah beberapa kali, Edward mencarikan perawat buat kakaknya itu. Dari yang paruh baya hingga gadis seksi, sudah dia bawa, tapi Erhan malah membuat mereka berhenti bekerja dalam hitungan hari. Erhan adalah tipe pria yang jika tidak suka, maka dia tidak akan suka, tapi jika dia menyukai sesuatu, maka dia akan perjuangkan, hingga mendapatkannya. Saat bertemu Melisa, Edward punya keyakinan padanya, yang melebihi gadis-gadis lain. Dia merasa Melisa punya daya tarik yang kuat, yang bisa meluluhkan Erhan. Melisa, si gadis manja yang baru mau belajar mengecap kerasnya kehidupan. Gadis yang akan berubah dan merubah kehidupannya sendiri dan kehidupan Erhan. ***"Pa. Gimana kalo aku ngekos aja. Biar Papa gak capek bolak balik antar jemput aku." Melisa mengutarakan keinginannnya, kepada Surya pagi itu, saat mereka sedang sarapan
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A