Sinar mentari menyirami permukaan bumi yang lembab. Menggeser waktu dengan cepat. Menuntun setiap makhluk untuk lebih cepat bergerak, karena waktu tidak pernah menunggu siapapun. Melisa yang sudah siap sejak subuh, duduk menunggu Surya selesai bersiap-siap. Ayahnya itu akan mengantarkan dia bekerja untuk pertama kalinya. Tidak bisa dikatakan bagaimana senangnya hati Surya, melihat perubahan dalam diri anak gadisnya itu. Melisa pernah mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Baru bicara saja, Surya sudah sangat bersyukur, apalagi hari ini dia mulai bekerja. "Kakak dapet kerja di bagian apa?" tanya Surya, saat mereka sudah di mobil. "Gak tau di mana Pa. Yang penting dapet kerjaan aja udah seneng aku." ucap Melisa dengan gembira. Sangat jelas dia begitu bahagia. Senyum terus terukir di bibirnya. Pekerjaan ini, akan menjadi salah satu kesibukan buat Melisa, agar dia tidak terlalu mengingat kejadian sial dalam hidupnya. Betapa dia menyimpan sedih dan lara, karena dia bukanlah wanita
Pertemuan bisnis itu, sekaligus dengan acara kumpul sahabat. Edward adalah teman Calvin. Mereka satu sekolah, satu kompleks tempat tinggal saat masih di Jerman. Dan sekarang, saat pindah ke Indonesia pun, mereka tetap bersama.Dari Calvin, Edward mendapatkan hunian di Bonafit Hills. Dan bisa berkerja sama dengan Perusahaan ArOne dan perusahaan keluarga Kusuma. Inggrid berjalan mendahului Melisa lalu bergabung dengan yang lainnya. Sedangkan Melisa, hanya bisa duduk di tempat yang disediakan untuk perusahaan mereka. Gadis itu mengamati sekitarnya dengan seksama. Bukan main suksesnya anak-anak ayahnya ini. Cafe ini sangat ramai, di dominasi anak muda. Tempat pertemuan mereka adalah ruangan yang terpisah, namun masih bisa melihat keadaan di sekitar cafe. Karena hanya di batasi dengan dinding kaca.Karyawan yang seliweran kesana-kemari, dan para ojek online yang mengantri pesanan, membuktikan, menu makanan di sini, memang berkualitas. Tentu saja, karena Arga adalah seorang koki handal.
Sudah sejak lama setelah kejadian mengenaskan itu terjadi, Erhan tidak lagi terlihat ceria. Teman-teman yang selalu ada bersama dia, perlahan pergi meninggalkannya. Sudah beberapa kali, Edward mencarikan perawat buat kakaknya itu. Dari yang paruh baya hingga gadis seksi, sudah dia bawa, tapi Erhan malah membuat mereka berhenti bekerja dalam hitungan hari. Erhan adalah tipe pria yang jika tidak suka, maka dia tidak akan suka, tapi jika dia menyukai sesuatu, maka dia akan perjuangkan, hingga mendapatkannya. Saat bertemu Melisa, Edward punya keyakinan padanya, yang melebihi gadis-gadis lain. Dia merasa Melisa punya daya tarik yang kuat, yang bisa meluluhkan Erhan. Melisa, si gadis manja yang baru mau belajar mengecap kerasnya kehidupan. Gadis yang akan berubah dan merubah kehidupannya sendiri dan kehidupan Erhan. ***"Pa. Gimana kalo aku ngekos aja. Biar Papa gak capek bolak balik antar jemput aku." Melisa mengutarakan keinginannnya, kepada Surya pagi itu, saat mereka sedang sarapan
Tolong Maafkan Ayah 63"Aku gak mau dilamar dulu Pa. Aku baru aja kerja." Ujar Melisa. "Tapi Kak, Ridwan ini anaknya sudah mapan. Punya pekerjaan tetap, juga dari keluarga baik-baik. Kalo kamu tolak, nanti gimana soal jodoh kamu? Papa udah seneng banget sama Ridwan," ucap Surya. Melisa melengos. "Orang belum kenal udah main lamar-lamar aja. Kalo dia mau, yah kenal dulu. Penjajakan dulu Pa. Nama lengkapnya aku gak tau, liat mukanya aja baru tadi.""Kamu percaya aja sama Papa, Kak. Gak mungkin Papa kasih kamu yang gak baik. Apalagi ini menyangkut kehidupan kamu. Masa depan kamu." Surya menekan setiap kata pada kalimatnya. Berusaha meyakinkan anak gadis satu-satunya itu. Supaya mau menerima pinangan Ridwan. "Sebenarnya, aku agak ragu Pa. Apa Ridwan ini udah tau yah, kalo aku wanita yang gak punya rahim? Coba Papa kasih tau dulu." Suara Melisa melemah. Sebuah fakta menyakitkan yang harus dimiliki oleh dirinya. Satu kebenaran, jika Melisa tidak akan pernah bisa melahirkan keturunan sa
Tolong Maafkan Ayah 64"Melisa, bisakah aku jatuh cinta padamu?" Erhan mengulang pertanyaannya. Air mata yang sedari tadi di tahan Melisa, akhirnya berjatuhan di pangkuannya. Dia tidak berani mengangkat wajahnya menatap Erhan. Sesak di hati semakin menjadi, saat ingat kejadian di rumahnya. Haruskah dia menerima pernyataan cinta Erhan, atau menolaknya?Jika dia menerima, dan Surya bersikukuh menginginkan Ridwan, Erhan pasti akan terluka, karena Melisa tidak akan mungkin membantah ayahnya. Jika dia menolak cinta Erhan, bukan hanya Erhan yang terluka, tapi dirinya juga akan menderita. Ya Allah. Di saat Melisa sudah merasakan, hidupnya akan berubah, ujian datang lagi tanpa belas kasihan, menyerang sisi hatinya yang baru mulai menyembuhkan luka. Erhan menatap gadis pujaan hatinya. Nampak ada sesuatu yang salah dengan Melisa. Dia harus bisa membuat Melisa bicara. "Mel."Sepi. Isak pelan Melisa, tertangkap pendengaran Erhan. "Kamu menangis? Apa aku salah ngomong yah? Aku salah ngomong
Dua jam kemudian, rumah Surya sudah sepi. Namun, keluarga inti Haji Hasan masih duduk di sana. Menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Surya. Masih ada beberapa tetangga di dapur, yang membantu mencuci piring. Haji Hasan angkat bicara. "Maafkan kami Pak Surya. Istri saya baru saja membawa kabar, yang harus Bapak klarifikasi secepatnya."Suasana tiba-tiba saja menjadi tegang. Ridwan menatap kedua orang tuanya dengan penuh pertanyaan. "Baik Pak Haji. Berita apa itu?" tanya Surya. Murni mendelik kesal. Wanita itu berusaha menahan amarah yang sedari tadi dia tahan. "Istri saya baru saja mengetahui, anak bungsu anda adalah pemakai narkoba, dan mantan istri anda adalah seorang pembunuh. Mereka sekarang sedang mendekam dalam penjara. Anak anda ada yang meninggal bunuh diri. Apakah itu benar Tuan?" tanya Haji Hasan. Surya terkesiap. Kebenaran yang tidak dapat dielak. Memang nyatanya seperti itu. "Ya Pak Haji. Benar. Saya tidak bisa menutupi hal tersebut dari kalian. Tapi, semua i
Melisa berlari masuk ke dalam rumah Erhan, sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Kakinya dengan lincah berayun menaiki tangga ke lantai dua. Suasana yang sepi, mengingatkan dirinya akan sang kekasih yang tidak terlihat sejak tadi. Melisa ingin secepatnya menyelesaikan tugas yang di berikan Edward, supaya dia bisa mencari keberadaan Erhan.Jika memang harus menyusul ke Jogja, Melisa rela melakukannya. Erhan tidak boleh salah paham dengan apa yang dilakukan Melisa beberapa hari ini. Tangan mulus Melisa, bergerak dengan cepat. Mengambil map dan meletakkan laporan dari kantor ke atas meja kerja Edward. Selanjutnya, dia mencari amplop coklat besar, yang diminta oleh Edward. Kepalanya celingukan kesana kemari. Dia memberanikan diri membuka laci meja, untuk mencari amplop tersebut. Di lacipun tidak ada. Melisa mencari di bawah kolong meja, kursi. Kolong sofa minimalis di ruangan itupun tidak luput dari jangkauan mata Melisa. Nihil. Dia mengambil ponsel di saku jasnya. 'Pak. Amplop cokla
"Tolong jangan lakukan itu pada saya. Bukankah lamaran itu dibatalkan atas persetujuan bersama? Yang menolak saya adalah keluarga anda, Pak Ustad," Melisa memelas, memohon kepada Ridwan, yang nampak sudah dirasuki nafsu setan. Pria itu menyekap Melisa di gudang bekas penampungan padi, yang sudah tidak terpakai. Melisa berangkat pagi-pagi sekali dari rumah. Lusa adalah hari pernikahannya dengan Erhan. Pagi itu, dia bersikeras ingin ikut menjemput keluarga Erhan yang datang dari Jerman. Meskipun Erhan sudah melarang, tapi Melisa tetap kekeuh untuk ikut menjemput. Tidak disangka, Ridwan mengikuti mobilnya dari belakang, dan mencegat dia di persimpangan jalan yang sunyi. Ridwan terkekeh, sambil mengelap tetesan keringat di dahinya. Dia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menyeret Melisa masuk ke dalam gudang kosong itu. "Saya hanya tidak rela, melihat kamu menjadi istri sepupu saya yang sombong itu. Dari dulu saya membenci mereka berdua. Mama dan Papa saya selalu membandingka
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A