"Tolong jangan lakukan itu pada saya. Bukankah lamaran itu dibatalkan atas persetujuan bersama? Yang menolak saya adalah keluarga anda, Pak Ustad," Melisa memelas, memohon kepada Ridwan, yang nampak sudah dirasuki nafsu setan. Pria itu menyekap Melisa di gudang bekas penampungan padi, yang sudah tidak terpakai. Melisa berangkat pagi-pagi sekali dari rumah. Lusa adalah hari pernikahannya dengan Erhan. Pagi itu, dia bersikeras ingin ikut menjemput keluarga Erhan yang datang dari Jerman. Meskipun Erhan sudah melarang, tapi Melisa tetap kekeuh untuk ikut menjemput. Tidak disangka, Ridwan mengikuti mobilnya dari belakang, dan mencegat dia di persimpangan jalan yang sunyi. Ridwan terkekeh, sambil mengelap tetesan keringat di dahinya. Dia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menyeret Melisa masuk ke dalam gudang kosong itu. "Saya hanya tidak rela, melihat kamu menjadi istri sepupu saya yang sombong itu. Dari dulu saya membenci mereka berdua. Mama dan Papa saya selalu membandingka
"Hah ... Brengsek. Lepaskan dia. Dia tidak punya sangkut paut dengan masalah ini. Kamu. Ngapain kamu masuk campur, setan? Berapa pria lumpuh itu membayarmu?"Pria muda itu melengos."Aku gak bercanda Ridwan. Kartika sedang hamil anakmu. Dia juga belum tau soal lamaran kamu pada Melisa. Orang tuamu juga tidak tau, kau sudah punya istri. Oh. Kamu memang licik Ridwan. Bersembunyi di balik jabatan Ustad. Ternyata, kamu buaya ganas."Ridwan mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Melepaskan Melisa, sama saja dengan melepaskan ikan yang sudah terkait di ujung mata kail. Namun, mengejarnya juga bagaikan mempertaruhkan nyawa. Dia kenal dengan baik pria muda di depannya ini. Adik tingkat di pesantren tempat mereka menimba ilmu dulu.Pria yang tampan, jago bela diri dan juga sangat badung. Guru-gurunya sangat kewalahan mengatasi pria muda ini. Hampir setiap hari, dia terlibat kasus pemukulan murid yang lain, hingga akhirnya pihak pesantren menyerah, lalu mengeluarkannya dari asram
Pasca kejadian kebakaran itu, Anatasya sudah mulai beraktifitas lagi seperti biasa. Luka di tubuhnya sudah sembuh. Hanya bekas-bekasnya saja yang masih terlihat di permukaan kulit. Pelaku kejahatan dan dalang dari kebakaran itu, telah dijebloskan ke dalam penjara. Niken pantas untuk mendapatkan hukuman, karena sudah bermain-main dengan nyawa orang lain. "Ok semuanya. Semangat yah. Hari ini, hari terakhir syuting. Kita doakan film ini menembus box office perfilman Indonesia. Kalian semua akan saya kasih bonus." Kata produser film. Tentu saja semuanya merasa senang. Kali ini bonus mereka besar, karena film yang mereka garap, mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat. Apalagi setelah kejadian kecelakaan yang dialami oleh pemeran utama film ini. Dunia perfilman heboh dengan isu sabotase. Banyak yang beranggapan, ada orang yang sengaja ingin melenyapkan Acha, karena iri hati. Wawan tersenyum pongah. Merasa dia mendapatkan triple hoki. Mendapatkan Renata, film yang disutradarainya,
"Dek. Gimana sama proyek pembuatan pelabuhan baru, di Pulau Kudamati? Kamu mau tinggal di sana selama pengerjaan, atau bolak balik dari sini?"Anaya dan Arga ada di ruang meeting perusahaan ArOne. Membahas tentang proyek baru yang mereka menangkan. Meeting sudah selesai. Para staf sudah bubar, tapi mereka berdua masih betah duduk di ruangan itu. "Aku belum tau Bun. Tapi biar aku konsentrasi sama pengerjaan proyek, lebih baik tinggal di sana aja yah, Bun. Sekalian eksplor tempat baru. Siapa tau bisa buka cabang cafe sama resto aku," ujar Arga antusias. Bangga dan bahagia, melihat anak laki-laki tumbuh menjadi anak yang baik, soleh, dan rajin seperti Arga. Itu yang selalu dirasakan Anaya. Dia berharap, bukan hanya karier dan kepribadian Arga saja yang baik. Melainkan jodoh juga demikian. Anaya berharap, wanita yang nanti Arga pilih untuk menjadi pendamping hidupnya, adalah wanita yang mencintai Arga sepenuh hati. "Bunda mendukung apapun yang jadi keputusan kamu, Sayang. Kapan kamu k
POV ErhanAku dan adikku adalah anak yatim piatu. Kami ditinggalkan untuk selamanya, oleh kedua orang tua kami karena kecelakaan.Karena kecelakaan juga, akhirnya aku menderita kelumpuhan. Kelumpuhan ini, sudah terjadi sejak lima tahun lalu. Satu tahun menjalani pengobatan dan terapi intens, akhirnya aku sembuh. Sebagai pewaris dari banyaknya harta kedua orang tua kami, aku dan adikku sering didekati oleh orang-orang yang hanya menyukai kami karena apa yang kami miliki. Keluarga mami dan papi mengincar harta yang ditinggalkan oleh mereka. Ada saja yang mereka lakukan untuk bisa mendapatkan harta itu. Kami berdua beruntung, karena kami sudah ditetapkan sebagai ahli waris dari semua kekayaan mereka, sebelum kecelakaan itu terjadi.Aku meminta dokter ahli yang menangani ku waktu itu, untuk merahasiakan kesembuhanku. Aku ingin menyaring orang-orang di sekelilingku. Apakah mereka masih mau bersahabat dengan orang lumpuh yang kehilangan semangat hidup? Tepat seperti dugaanku. Bahkan wani
"Woi. Buka pintunya. Siapa saja di luar. Buka pintunya!" teriak Ridwan. Tangan kanannya terkilir, dan tangan kirinya bengkak, karena jatuh terbentur balok. Pria itu terus menggedor-gedor pintu gudang itu. "Tolongin woi." Teriaknya sekali lagi. Ridwan mengumpat. Memaki dan berteriak histeris. Pukulan Angkasa tadi, membuat tubuhnya lemas, tulang-tulangnya terasa remuk. Sekarang pintu dikunci dari luar. Kesakitan, haus dan lapar, mendera tubuh Ridwan. Sudah hampir satu jam, tenaganya terkuras untuk berteriak. Dia jatuh lemas di atas lantai. Di tengah-tengah keadaannya yang kritis, Ridwan tersenyum jahat. Hatinya sedikit merasa puas, karena bisa melukai Melisa. Sudah dipastikan, mereka tidak akan jadi menikah tiga hari lagi. Dia juga merasa, jika Kartika, kekasihnya itu, dalam keadaan baik-baik saja. Erhan tidak mungkin melukai, wanita yang juga pernah dia cintai. Apalagi, Kartika sekarang dalam keadaan hamil. Beberapa saat kemudian, Ridwan mendengar suara ketukan kuat dari luar. P
Acara makan-makan itu, selesai tepat pukul 22.30. Acha, Bulan dan Mirna bergegas pulang. Sedangkan teman-teman Acha yang lain, masih berjoget dengan alat musik seadanya di lokasi syuting. "Acha. Mau ke Bonafit yah? Nebeng dong," Dua pria muncul tiba-tiba dari balik mobil di samping Acha. Gadis itu melonjak kaget. Lalu menatap kedua pria itu, dengan heran."Kalian siapa? Kenal juga gak, main nebeng aja," tukas Acha. "Wah. Baru jadi artis gak populer aja, udah sombong kek gini. Gimana kalo udah jadi artis yang populer yah? Pasti kita di kacangin," Ujar salah seorang pria. Acha memberikan kode pada Bulan dan Mirna, untuk segera masuk ke dalam mobil. Saat itu juga, salah seorang pria, mencegat Acha, dengan mencengkram lengannya dengan kuat. Acha kaget dengan pergerakan laki-laki itu. Tangan kanannya, menangkap tangan si pria yang satunya, memelintirnya dengan kuat, lalu mendorong laki-laki itu ke arah bunga bonsai. Dia terjatuh dengan terjerembab ke paving blok. Temannya buru-buru m
Rudi, manager lapangan adalah penduduk asli daerah itu. Dia ditunjuk untuk menjadi manager, karena dia dipercaya, bisa menghandle para pekerja dengan baik. Arga tetap memegang prinsip bisnis Anaya. Jujur dan tegas. Jadi, jika Arga mendapati ada kecurangan atau usaha sekecil apapun, untuk mencurangi pekerjaan ini, maka dia akan bertindak tegas. Setelah memantau Rudi melakukan briefing, Arga bergegas masuk ke dapur umum. Langsung, ke tempat pengolahan makanan. Pria muda itu terkejut, karena mendapati lauk di piringnya, berbeda dengan lauk untuk para pekerja.Lauk mereka hanya tempe orek, dan terong kukus dengan sambal terasi. Memang itu adalah kombinasi makanan yang enak. Tapi menu makanan seperti itu, tidak sesuai standar makanan untuk pekerja lapangan, yang ditetapkan oleh perusahaan.Apalagi perusahaan sekelas ArOne, yang berada di deretan teratas perusahaan yang sukses. Anggaran untuk makan para pekerja yang tinggal di mes, sudah dianggarkan dan dananya sudah cair. Dana itu sudah
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A