Melisa berlari masuk ke dalam rumah Erhan, sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Kakinya dengan lincah berayun menaiki tangga ke lantai dua. Suasana yang sepi, mengingatkan dirinya akan sang kekasih yang tidak terlihat sejak tadi. Melisa ingin secepatnya menyelesaikan tugas yang di berikan Edward, supaya dia bisa mencari keberadaan Erhan.Jika memang harus menyusul ke Jogja, Melisa rela melakukannya. Erhan tidak boleh salah paham dengan apa yang dilakukan Melisa beberapa hari ini. Tangan mulus Melisa, bergerak dengan cepat. Mengambil map dan meletakkan laporan dari kantor ke atas meja kerja Edward. Selanjutnya, dia mencari amplop coklat besar, yang diminta oleh Edward. Kepalanya celingukan kesana kemari. Dia memberanikan diri membuka laci meja, untuk mencari amplop tersebut. Di lacipun tidak ada. Melisa mencari di bawah kolong meja, kursi. Kolong sofa minimalis di ruangan itupun tidak luput dari jangkauan mata Melisa. Nihil. Dia mengambil ponsel di saku jasnya. 'Pak. Amplop cokla
"Tolong jangan lakukan itu pada saya. Bukankah lamaran itu dibatalkan atas persetujuan bersama? Yang menolak saya adalah keluarga anda, Pak Ustad," Melisa memelas, memohon kepada Ridwan, yang nampak sudah dirasuki nafsu setan. Pria itu menyekap Melisa di gudang bekas penampungan padi, yang sudah tidak terpakai. Melisa berangkat pagi-pagi sekali dari rumah. Lusa adalah hari pernikahannya dengan Erhan. Pagi itu, dia bersikeras ingin ikut menjemput keluarga Erhan yang datang dari Jerman. Meskipun Erhan sudah melarang, tapi Melisa tetap kekeuh untuk ikut menjemput. Tidak disangka, Ridwan mengikuti mobilnya dari belakang, dan mencegat dia di persimpangan jalan yang sunyi. Ridwan terkekeh, sambil mengelap tetesan keringat di dahinya. Dia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menyeret Melisa masuk ke dalam gudang kosong itu. "Saya hanya tidak rela, melihat kamu menjadi istri sepupu saya yang sombong itu. Dari dulu saya membenci mereka berdua. Mama dan Papa saya selalu membandingka
"Hah ... Brengsek. Lepaskan dia. Dia tidak punya sangkut paut dengan masalah ini. Kamu. Ngapain kamu masuk campur, setan? Berapa pria lumpuh itu membayarmu?"Pria muda itu melengos."Aku gak bercanda Ridwan. Kartika sedang hamil anakmu. Dia juga belum tau soal lamaran kamu pada Melisa. Orang tuamu juga tidak tau, kau sudah punya istri. Oh. Kamu memang licik Ridwan. Bersembunyi di balik jabatan Ustad. Ternyata, kamu buaya ganas."Ridwan mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan. Melepaskan Melisa, sama saja dengan melepaskan ikan yang sudah terkait di ujung mata kail. Namun, mengejarnya juga bagaikan mempertaruhkan nyawa. Dia kenal dengan baik pria muda di depannya ini. Adik tingkat di pesantren tempat mereka menimba ilmu dulu.Pria yang tampan, jago bela diri dan juga sangat badung. Guru-gurunya sangat kewalahan mengatasi pria muda ini. Hampir setiap hari, dia terlibat kasus pemukulan murid yang lain, hingga akhirnya pihak pesantren menyerah, lalu mengeluarkannya dari asram
Pasca kejadian kebakaran itu, Anatasya sudah mulai beraktifitas lagi seperti biasa. Luka di tubuhnya sudah sembuh. Hanya bekas-bekasnya saja yang masih terlihat di permukaan kulit. Pelaku kejahatan dan dalang dari kebakaran itu, telah dijebloskan ke dalam penjara. Niken pantas untuk mendapatkan hukuman, karena sudah bermain-main dengan nyawa orang lain. "Ok semuanya. Semangat yah. Hari ini, hari terakhir syuting. Kita doakan film ini menembus box office perfilman Indonesia. Kalian semua akan saya kasih bonus." Kata produser film. Tentu saja semuanya merasa senang. Kali ini bonus mereka besar, karena film yang mereka garap, mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat. Apalagi setelah kejadian kecelakaan yang dialami oleh pemeran utama film ini. Dunia perfilman heboh dengan isu sabotase. Banyak yang beranggapan, ada orang yang sengaja ingin melenyapkan Acha, karena iri hati. Wawan tersenyum pongah. Merasa dia mendapatkan triple hoki. Mendapatkan Renata, film yang disutradarainya,
"Dek. Gimana sama proyek pembuatan pelabuhan baru, di Pulau Kudamati? Kamu mau tinggal di sana selama pengerjaan, atau bolak balik dari sini?"Anaya dan Arga ada di ruang meeting perusahaan ArOne. Membahas tentang proyek baru yang mereka menangkan. Meeting sudah selesai. Para staf sudah bubar, tapi mereka berdua masih betah duduk di ruangan itu. "Aku belum tau Bun. Tapi biar aku konsentrasi sama pengerjaan proyek, lebih baik tinggal di sana aja yah, Bun. Sekalian eksplor tempat baru. Siapa tau bisa buka cabang cafe sama resto aku," ujar Arga antusias. Bangga dan bahagia, melihat anak laki-laki tumbuh menjadi anak yang baik, soleh, dan rajin seperti Arga. Itu yang selalu dirasakan Anaya. Dia berharap, bukan hanya karier dan kepribadian Arga saja yang baik. Melainkan jodoh juga demikian. Anaya berharap, wanita yang nanti Arga pilih untuk menjadi pendamping hidupnya, adalah wanita yang mencintai Arga sepenuh hati. "Bunda mendukung apapun yang jadi keputusan kamu, Sayang. Kapan kamu k
POV ErhanAku dan adikku adalah anak yatim piatu. Kami ditinggalkan untuk selamanya, oleh kedua orang tua kami karena kecelakaan.Karena kecelakaan juga, akhirnya aku menderita kelumpuhan. Kelumpuhan ini, sudah terjadi sejak lima tahun lalu. Satu tahun menjalani pengobatan dan terapi intens, akhirnya aku sembuh. Sebagai pewaris dari banyaknya harta kedua orang tua kami, aku dan adikku sering didekati oleh orang-orang yang hanya menyukai kami karena apa yang kami miliki. Keluarga mami dan papi mengincar harta yang ditinggalkan oleh mereka. Ada saja yang mereka lakukan untuk bisa mendapatkan harta itu. Kami berdua beruntung, karena kami sudah ditetapkan sebagai ahli waris dari semua kekayaan mereka, sebelum kecelakaan itu terjadi.Aku meminta dokter ahli yang menangani ku waktu itu, untuk merahasiakan kesembuhanku. Aku ingin menyaring orang-orang di sekelilingku. Apakah mereka masih mau bersahabat dengan orang lumpuh yang kehilangan semangat hidup? Tepat seperti dugaanku. Bahkan wani
"Woi. Buka pintunya. Siapa saja di luar. Buka pintunya!" teriak Ridwan. Tangan kanannya terkilir, dan tangan kirinya bengkak, karena jatuh terbentur balok. Pria itu terus menggedor-gedor pintu gudang itu. "Tolongin woi." Teriaknya sekali lagi. Ridwan mengumpat. Memaki dan berteriak histeris. Pukulan Angkasa tadi, membuat tubuhnya lemas, tulang-tulangnya terasa remuk. Sekarang pintu dikunci dari luar. Kesakitan, haus dan lapar, mendera tubuh Ridwan. Sudah hampir satu jam, tenaganya terkuras untuk berteriak. Dia jatuh lemas di atas lantai. Di tengah-tengah keadaannya yang kritis, Ridwan tersenyum jahat. Hatinya sedikit merasa puas, karena bisa melukai Melisa. Sudah dipastikan, mereka tidak akan jadi menikah tiga hari lagi. Dia juga merasa, jika Kartika, kekasihnya itu, dalam keadaan baik-baik saja. Erhan tidak mungkin melukai, wanita yang juga pernah dia cintai. Apalagi, Kartika sekarang dalam keadaan hamil. Beberapa saat kemudian, Ridwan mendengar suara ketukan kuat dari luar. P
Acara makan-makan itu, selesai tepat pukul 22.30. Acha, Bulan dan Mirna bergegas pulang. Sedangkan teman-teman Acha yang lain, masih berjoget dengan alat musik seadanya di lokasi syuting. "Acha. Mau ke Bonafit yah? Nebeng dong," Dua pria muncul tiba-tiba dari balik mobil di samping Acha. Gadis itu melonjak kaget. Lalu menatap kedua pria itu, dengan heran."Kalian siapa? Kenal juga gak, main nebeng aja," tukas Acha. "Wah. Baru jadi artis gak populer aja, udah sombong kek gini. Gimana kalo udah jadi artis yang populer yah? Pasti kita di kacangin," Ujar salah seorang pria. Acha memberikan kode pada Bulan dan Mirna, untuk segera masuk ke dalam mobil. Saat itu juga, salah seorang pria, mencegat Acha, dengan mencengkram lengannya dengan kuat. Acha kaget dengan pergerakan laki-laki itu. Tangan kanannya, menangkap tangan si pria yang satunya, memelintirnya dengan kuat, lalu mendorong laki-laki itu ke arah bunga bonsai. Dia terjatuh dengan terjerembab ke paving blok. Temannya buru-buru m
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa