Talita berdiri di hadapan Surya, Melisa dan Sari, dengan dandanan, perhiasan dan juga make up. Seperti Talita yang dulu. Elegan dan berkelas. Jelas saja mereka semua terperanjat. Bukannya Talita ada di penjara? Luar biasa. Talita memang wanita super. Entah apa yang dia lakukan atau siapa yang dia tumbalkan, hingga bisa membuat dia keluar dari balik jeruji besi dengan mudah. "Oh, ayolah. Baru juga beberapa bulan, kalian sudah lupa padaku? Melisa Sayang. Ini Mama kamu lho. Gak salim dulu gitu?" Ujar Talita. Masih dalam keadaan setengah tidak percaya, Melisa melangkah mendekati Talita. Mengulurkan tangan, menyambut uluran tangan Talita. Membungkuk lalu mencium tangan Talita takzim. Senyum aneh muncul di bibir Talita. Pandangan matanya seperti menyiratkan sebuah kekosongan, yang menyedihkan. Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tau. "Mama mau ikut kita? Tapi mobil Papa sudah penuh dengan barang-barang kami," Melisa berkata seperti itu, karena tidak ingin ibunya yang biang rusuh ini, ik
'Hei. Aku adalah fans berat kamu. Aku tau satu rahasia kecilmu, Nona Malla. Kamu punya affair dengan sutradara tua itu kan? Kamu cantik lho. Kok mau aja ditidurin Kakek-Kakek tua? Dosa lho.'Sertakan file. Mengirim pesan. Pesan terkirim. Bulan tersenyum jahat. Jangan usik siapapun, yang ada dalam perlindungan seorang Bulan Leticia. Bulan meletakkan ponselnya, lalu, menatap Mirna dan Acha yang sudah lebih dulu tertidur. Acha menolak permintaan mereka yang ingin tidur di kamar tamu. Dia ingin mereka bertiga tidur sempit-sempitan di kasur king size milik Acha. Sejak peristiwa kebakaran itu, Acha punya trauma kecil. Dia tidak mau tidur malam sendirian. Biasanya, Alisya yang menemani Acha tidur, tapi karena dia pulang larut malam, maka, Mirna dan Bulanlah yang harus menemani Acha. Bulan berpikir, dia akan mencari tau, siapa yang sudah menjebak Acha, hingga kebakaran itu terjadi. Dia sudah mempelajari kehidupan Acha sebelum menerima kontrak. Dia tertarik karena jalan hidup mereka hampir
Mawar berjingkrak kaget, melihat Arga yang sudah berdiri di belakangnya. Wanita itu benar-benar tidak sopan. Dia bahkan melengos dengan kesal, di hadapan Arga. "Saya tanya. Apa maksud anda dengan bilang, tidak boleh ada yang jualan di sini? Anda orang yang jualan, harus bayar? Bayar sama siapa? Sama anda?" pertanyaan beruntun Arga, sukses membuat Mawar gelagapan. Dengan berat hati, dia membungkuk. Meski begitu wajahnya sangat terlihat kesal. Mungkinkah dia menahan kesal, pada Arga? Bos pemilik perusahaan? Benar-benar tidak tau malu. "Bukan maksud saya seperti itu Pak. Hanya saja, gadis ini sudah terlalu sering berjualan di sini. Bukankah itu mengganggu jam kerja karyawan?" Ucap Mawar dengan pelan. "Jadi, anda merasa terganggu? Bukannya ini sudah jam istirahat yah? Lagi pula, pemilik perusahaan ini adalah saya. Bukan anda. Yang membuat peraturan di sini adalah saya. Bukan anda. Sebaiknya anda ingat ini baik-baik Nona. Jangan melarang siapapun yang ingin berjualan di sini. Menggangg
Melisa memeluk Talita, yang tak kunjung berdiri dari lantai. "Sudah Ma. Sudah. Gak baik Mama duduk di lantai begitu," Ucap Melisa. Erhan membantu Melisa, memegang tangan Talita. Berdua, mereka mengangkat Talita dari lantai, lalu mendudukkannya di sofa. "Tante tenang aja. Aku berjanji, Melisa akan bahagia seumur hidupnya. Aku gak akan sia-siakan anak Tante,""Aku juga janji, Ma. Gak akan jadi gadis egois lagi. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik buat suamiku,"Saat yang ditunggu pun tiba. Hari kebahagiaan yang dinanti oleh setiap insan, yang saling mencintai. Yaitu, mengikat tali kasih, dalam hubungan yang suci. Melisa dan Erhan ditakdirkan bertemu, dan saling mencintai. Berjanji akan selalu setia sampai akhir dan terikat dengan janji di hadapan Sang Khalik.Warna silver dan putih menjadi pilihan Sari untuk warna tema pernikahan Melisa dan Erhan. Gaun silver broukat, yang bawahannya mengembang, lengkap dengan jilbab warna senada.Payet mutiara di bagian pinggang, sedikit di l
Hoodie putih bergambar bebek, kaca mata hitam, dan tas samping berwarna hitam. Bulan memilih tempat duduk di samping, yang dindingnya full kaca.Selain gampang melihat pergerakan orang di luar, Bulan memastikan, orang yang mengajaknya bertemu, pasti akan berdandan sebisa mungkin untuk menyamarkan identitas aslinya. Cafe itu menyediakan tempat outdoor dan indoor. Di luar sudah full dengan muda-mudi yang sedang makan siang. Sedangkan di dalam cafe, ada beberapa pasangan yang juga sedang bersantai.Gadis itu sudah memesan coffe late dan sepotong brownies keju. Makan dan minum yang manis-manis dulu, sebelum dia berubah menjadi gadis pemaksa.Lima belas menit menunggu, Bulan mulai bosan. Dia tidak bisa meninggalkan Acha terlalu lama. Tak masalah jika wanita bernama Malla itu, tidak mau datang. Toh, yang punya kepentingan di sini adalah dia. Bulan hanya sengaja memancing di air yang keruh. Bukan hanya sekedar memancing. Tapi Bulan ingin, umpan di mata kailnya harus di sambar oleh ikan. Da
Surya POVAnakku sudah menikah. Sesuai dengan apa yang aku doakan dalam sujud tahajud ku. Aku ingin Melisa mendapatkan jodoh, pria yang benar-benar mencintai dan menghargai dia. Allah mewujudkannya, dengan mengirim Erhan di tengah-tengah kehidupan kami. Dua hari sebelum pernikahan, hatiku berdenyut nyeri. Anakku hampir saja dilecehkan oleh mantan calon menantu ku. Saat melihat Melisa terbaring di rumah sakit dengan lebam dan luka sayatan, hatiku tersayat. Perih, pedih. Mendengar suara erangannya menahan sakit, aku merasa seperti, aku yang disayat-sayat. Pria pelaku kebejatan ini, entah bagaimana kelanjutan hidupnya. Aku tidak tau. Erhan bilang aku hanya perlu tenang, untuk acara pernikahan yang tinggal menghitung jam. Semua dia yang akan tangani."Bagaimana dengan hukuman untuk laki-laki itu?" tanyaku pada Erhan."Papa tenang saja. Semuanya sudah aku atur. Ridwan sudah ada di tempat dia mendapatkan hukumannya. Dan itu berlaku seumur hidup." jawab Erhan dengan raut wajah bengis.Mel
Calvin menuntun Aluna keluar dari ruangan Arumi. Mereka baru saja memeriksa kandungan Aluna. Kandungannya sudah masuk trimester kedua. Kebahagiaan, terpancar nyata dari wajah mereka berdua.Aluna merasa beruntung, bisa menjadi wanita yang dipercaya Allah untuk menjaga titipan-Nya yang paling berharga. Setiap saat Aluna memanjatkan doa, anak dalam kandungannya, bertumbuh sehat, tidak kurang apapun hingga waktu lahir nanti. "Sayang. Liat perut kamu yang mulai gede, aku kok jadi gak sabaran pengen liat langsung anak kita. Kira-kira, dia mirip siapa yah?" kata Calvin. Tangannya sibuk membenarkan kancing jas putih milik Aluna. Ditatapnya wajah cantik Aluna, dengan tatapan penuh cinta. Sejak hamil, kecantikan Aluna bertambah berkali-kali lipat. Aura positifnya kuat sekali. Siapa saja yang dekat dengannya, selalu merasa bahagia dan ceria. "Bagi dua dong Mas. Maksud aku. Nanti miripnya dimix aja. Supaya mirip kita berdua. Hehe ... " Aluna terkekeh. Calvin ikut tertawa kecil melihat reaksi
"Aku gak mau dong, Mas. Nanti apa kata orang kampung. Masa aku turun jabatan sejauh itu sih? Dari asisten manager, ke cleaning service? Apa kata orang-orang di kampung nanti?" sungut Mawar. Wanita itu berada satu mobil dengan Rudi. Mereka tidak tidur di mes, tapi pulang ke kampung. Rudi minta izin dari Arga dengan alasan, anaknya sedang sakit. Istrinya tidak sanggup sendiri di rumah. Harus ada yang membantu. "Kamu tenang aja Sayang. Si bos songong itu, akan pergi dari sini dua minggu lagi. Kamu tetap akan jadi asisten aku. Gak usah capek-capek kerja, kamu bisa dapet gaji,""Bener yah Mas," "Iya dong. Apa sih yang enggak buat kamu," Rayu Rudi. Tangannya yang besar dan hitam itu, mencubit gemas pipi Mawar. "Tapi kamu janji sama aku yah. Kamu tetap mau aku ajak nginep di tempat biasa kita nginep. Mau kan?" Mawar tidak menjawab pertanyaan Rudi. Dia malah memperlihatkan sms yang masuk di ponselnya."Gak bisa malam ini, Mas. Aku disuruh pulang sama suami letoy. Katanya, Mamanya mau ko
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A