Melisa memeluk Talita, yang tak kunjung berdiri dari lantai. "Sudah Ma. Sudah. Gak baik Mama duduk di lantai begitu," Ucap Melisa. Erhan membantu Melisa, memegang tangan Talita. Berdua, mereka mengangkat Talita dari lantai, lalu mendudukkannya di sofa. "Tante tenang aja. Aku berjanji, Melisa akan bahagia seumur hidupnya. Aku gak akan sia-siakan anak Tante,""Aku juga janji, Ma. Gak akan jadi gadis egois lagi. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik buat suamiku,"Saat yang ditunggu pun tiba. Hari kebahagiaan yang dinanti oleh setiap insan, yang saling mencintai. Yaitu, mengikat tali kasih, dalam hubungan yang suci. Melisa dan Erhan ditakdirkan bertemu, dan saling mencintai. Berjanji akan selalu setia sampai akhir dan terikat dengan janji di hadapan Sang Khalik.Warna silver dan putih menjadi pilihan Sari untuk warna tema pernikahan Melisa dan Erhan. Gaun silver broukat, yang bawahannya mengembang, lengkap dengan jilbab warna senada.Payet mutiara di bagian pinggang, sedikit di l
Hoodie putih bergambar bebek, kaca mata hitam, dan tas samping berwarna hitam. Bulan memilih tempat duduk di samping, yang dindingnya full kaca.Selain gampang melihat pergerakan orang di luar, Bulan memastikan, orang yang mengajaknya bertemu, pasti akan berdandan sebisa mungkin untuk menyamarkan identitas aslinya. Cafe itu menyediakan tempat outdoor dan indoor. Di luar sudah full dengan muda-mudi yang sedang makan siang. Sedangkan di dalam cafe, ada beberapa pasangan yang juga sedang bersantai.Gadis itu sudah memesan coffe late dan sepotong brownies keju. Makan dan minum yang manis-manis dulu, sebelum dia berubah menjadi gadis pemaksa.Lima belas menit menunggu, Bulan mulai bosan. Dia tidak bisa meninggalkan Acha terlalu lama. Tak masalah jika wanita bernama Malla itu, tidak mau datang. Toh, yang punya kepentingan di sini adalah dia. Bulan hanya sengaja memancing di air yang keruh. Bukan hanya sekedar memancing. Tapi Bulan ingin, umpan di mata kailnya harus di sambar oleh ikan. Da
Surya POVAnakku sudah menikah. Sesuai dengan apa yang aku doakan dalam sujud tahajud ku. Aku ingin Melisa mendapatkan jodoh, pria yang benar-benar mencintai dan menghargai dia. Allah mewujudkannya, dengan mengirim Erhan di tengah-tengah kehidupan kami. Dua hari sebelum pernikahan, hatiku berdenyut nyeri. Anakku hampir saja dilecehkan oleh mantan calon menantu ku. Saat melihat Melisa terbaring di rumah sakit dengan lebam dan luka sayatan, hatiku tersayat. Perih, pedih. Mendengar suara erangannya menahan sakit, aku merasa seperti, aku yang disayat-sayat. Pria pelaku kebejatan ini, entah bagaimana kelanjutan hidupnya. Aku tidak tau. Erhan bilang aku hanya perlu tenang, untuk acara pernikahan yang tinggal menghitung jam. Semua dia yang akan tangani."Bagaimana dengan hukuman untuk laki-laki itu?" tanyaku pada Erhan."Papa tenang saja. Semuanya sudah aku atur. Ridwan sudah ada di tempat dia mendapatkan hukumannya. Dan itu berlaku seumur hidup." jawab Erhan dengan raut wajah bengis.Mel
Calvin menuntun Aluna keluar dari ruangan Arumi. Mereka baru saja memeriksa kandungan Aluna. Kandungannya sudah masuk trimester kedua. Kebahagiaan, terpancar nyata dari wajah mereka berdua.Aluna merasa beruntung, bisa menjadi wanita yang dipercaya Allah untuk menjaga titipan-Nya yang paling berharga. Setiap saat Aluna memanjatkan doa, anak dalam kandungannya, bertumbuh sehat, tidak kurang apapun hingga waktu lahir nanti. "Sayang. Liat perut kamu yang mulai gede, aku kok jadi gak sabaran pengen liat langsung anak kita. Kira-kira, dia mirip siapa yah?" kata Calvin. Tangannya sibuk membenarkan kancing jas putih milik Aluna. Ditatapnya wajah cantik Aluna, dengan tatapan penuh cinta. Sejak hamil, kecantikan Aluna bertambah berkali-kali lipat. Aura positifnya kuat sekali. Siapa saja yang dekat dengannya, selalu merasa bahagia dan ceria. "Bagi dua dong Mas. Maksud aku. Nanti miripnya dimix aja. Supaya mirip kita berdua. Hehe ... " Aluna terkekeh. Calvin ikut tertawa kecil melihat reaksi
"Aku gak mau dong, Mas. Nanti apa kata orang kampung. Masa aku turun jabatan sejauh itu sih? Dari asisten manager, ke cleaning service? Apa kata orang-orang di kampung nanti?" sungut Mawar. Wanita itu berada satu mobil dengan Rudi. Mereka tidak tidur di mes, tapi pulang ke kampung. Rudi minta izin dari Arga dengan alasan, anaknya sedang sakit. Istrinya tidak sanggup sendiri di rumah. Harus ada yang membantu. "Kamu tenang aja Sayang. Si bos songong itu, akan pergi dari sini dua minggu lagi. Kamu tetap akan jadi asisten aku. Gak usah capek-capek kerja, kamu bisa dapet gaji,""Bener yah Mas," "Iya dong. Apa sih yang enggak buat kamu," Rayu Rudi. Tangannya yang besar dan hitam itu, mencubit gemas pipi Mawar. "Tapi kamu janji sama aku yah. Kamu tetap mau aku ajak nginep di tempat biasa kita nginep. Mau kan?" Mawar tidak menjawab pertanyaan Rudi. Dia malah memperlihatkan sms yang masuk di ponselnya."Gak bisa malam ini, Mas. Aku disuruh pulang sama suami letoy. Katanya, Mamanya mau ko
"Tuan, terima kasih sudah memborong dagangan kami. Semoga Tuan sehat dan sukses selalu." Doa Cita dan Titi untuk Arga, setelah menerima uang hasil penjualan mereka hari ini. "Amin!" Semua orang yang mendengar doa Cita, serempak, mengaminkannya. Pak Mandor dan para pekerja masih duduk bergosip ria tentang Rudi. Hingga salah satu dari mereka tidak kuat menahan rasa penasaran, dia pun bertanda pada Titi. "Emang Pak Rudi itu beneran Papanya kamu Nak?""Iya Pak. Wah. Pekerja pencampur semen di sini keren yah Pak,""Keren? Kenapa?" tanya Pak mandor. "Bajunya rapi kek bajunya Ayah. Soalnya, tiap kali Ayah pamit kerja sama Ibu, Ayah pake baju jelek. Celana pendek sama baju lusuh gitu. Apa itu baju seragam pencampur semen di sini, Pak?" Titi bertanya dengan polosnya. "Kalau gitu, gajinya gede dong. Kok, Ayah bilang, gaji cuma sedikit sekali, jadi gak bisa biayain aku sekolah. Makanya aku kerja ikut Kak Cita, biar dapet uang untuk bayar iuran sekolah," Ini namanya penipuan. Baiklah akan ak
"Ayo Sayang. Kita pergi dulu. Kamu butuh istirahat kan? Istirahat di ruangan Mas saja. Biar gak diganggu," Bujuk Calvin pada Aluna.Aluna mengangguk patuh. "Mas, rasanya gimana gitu, gak dapet jadwal operasi. Hamilnya masih lama." keluh Aluna. Calvin tersenyum. Istrinya ini memang wonder woman. Dalam keadaan hamil pun, dia masih sanggup berdiri berjam-jam, untuk mengoperasi orang.Beberapa hari yang lalu, Aluna mengalami kram, saat sedang melakukan operasi besar. Walau akhirnya, operasi itu berhasil, dia tetap harus rela untuk libur mengutak atik tubuh orang, karena akhirnya, sang suami yang juga adalah atasannya, tidak mengijinkan lagi dia melakukan operasi besar.Dia harus puas hanya dengan operasi kecil saja. Itu pun hanya beberapa kali saja dalam sebulan.Sepanjang jalan, ke ruangan Calvin, Aluna lebih banyak diam. Pikirannya tertuju kepada Surya. Siapa yang akan menjaga pria itu? "Jangan terlalu dipikirin Sayangku. Ibu hamil itu harus tetap happy.""Iya Mas. Stok manisan buah
"Wah. Masa sih Mbak? Ini beneran kan? Bukan penipuan?" Suara antusias dari seberang telepon, menjawab Bulan. "Bukan dong Bu. Penipuan itu, kalau kita memungut biaya dari Ibu. Tapi, kami tidak kok. Ibu datang saja ke Hotel Kusuma King, tanyakan reservasi atas nama Beautiful Woman. Nanti Ibu akan diarahkan ke private room yang sudah disediakan khusus untuk pemerhati kesehatan kulit wanita.""Kapan itu Mbak?" tanya Anita, istri Awan."Besok malam." Bulan bergerak cepat. Dengan bantuan Acha, mereka mendapatkan satu privat room di Restoran milik Hendrawan itu. 'La. Aku dah booking Restoran Kusuma King. Aku dapet private room. Makan sabu-sabu, kita girl. Kesukaan kamu kan?' Pesan Acha pada Malla.Malla melonjak gembira. Sabu-sabu di Restoran Kusuma King, adalah favorit Malla. Mau setiap hari juga, dia mau. 'Ajak Pak Awan juga.' Pesan Acha."Pasti dong. Elu tuh. Paling gampang dimanfaatin. Jadi donatur buat acara ngedet Gue sama Mas Awan. Haha.." Acha melanjutkan kegiatannya. Sekarang,
"Nona Cita menolak Tuan Besar. Sepertinya, saya akan kesulitan menghadapinya. Dia benar-benar keturunan Adijaya," Tuan Besar itu tampak sumringah. Diwajahnya yang keriput, tersungging senyum dan sukacita yang besar. "Apa kau kewalahan menghadapi sifat keras kepalanya? Kau tau Nabila. Sifat keras kepala adalah salah satu bukti, dia bisa menjadi pemimpin yang dominan. Bagaimana dengan pria yang kerap dekat dengannya? Kau sudah selidiki dia?" tanya Tuan Besar Adijaya, suara sumringahnya berubah dengan seketika. "Sudah Tuan. Dia adalah putra bungsu Anaya Hendrawan. Sekarang, dia yang memegang kendali perusahaan ibunya, setelah ibunya menikah dengan Hendrawan, dan pensiun," Tuan Besar itu mencebik. Dunia bisnis negara ini memang mengenal siapa Anaya. Dia adalah wanita yang bisa mendapatkan nama, setelah berhasil membangun bisnis sendiri dan memulai semuanya dari nol. Tapi, semua itu, tidak bisa disamakan dengan kedudukan Cita. Cita adalah anak bangsawan. Jika orang mengenal k
Karim menatap ponselnya dengan hati penasaran. Pesannya sudah di baca Acha. Tapi tidak ada balasan apapun. Dia hanya ingin tahu, bagaimana kabar Acha, setelah tidak terlihat di manapun selama tiga hari. Benda pipih itu, diketuk-ketuknya di meja, sambil jemarinya memijit pelipis dengan wajah muram. Karim memiliki banyak teman wanita yang cantik. Namun, dia tidak pernah mengkuatirkan mereka seperti dia kuatir dengan keadaan Acha. "Hei ... Rusak hp kamu kalo digituuin terus Karim," suara teguran Mira, menarik kesadaran Karim dari apa yang dipikirkannya. Senyum tipis tersungging dibibirnya, saat melihat siapa yang menegurnya. "Gimana komunikasi kamu sama Acha. Ada kemajuan gak?" tanya Mira setelah menghempaskan tubuhnya, di sofa yang berhadapan dengan Karim. "Baik Ma. Semua baik-baik aja," jawab Karim, acuh. Jawaban singkat Karim, membuat Mira meliriknya dengan mata tajam. "Jangan dikasih kendor, Rim. Mama itu, maunya kamu deketin Acha dengan intens. Kata Tante Anaya, Ac
"Apa maksud anda, Nona? Tolong jangan membuat pernyataan omong kosong disini," Cita berkata dengan tegas, kepada seorang wanita yang ditemani lima orang pria, yang pagi itu, mereka datang ke panti Kasih Bunda. Wanita itu memiliki paras yang cantik, dengan dandanan formal. Rok selutut, dengan blaser dan rambut yang digelung rapi. Lima orang pria yang berdiri tegap dibelakangnya, memakai setelan jas warna hitam, lengkap dengan alat di telinga. Mereka seperti pengawal pribadi si wanita. "Maafkan kami, Nona. Kami sudah menyelidiki dengan teliti, sebelum datang dan membuat peryataan hari ini. Sudah selama bertahun-tahun," ujar wanita itu dengan sopan. Cita membuang muka dengan kesal. Nilam yang duduk di samping gadis itu, hanya bisa menepuk tangannya perlahan untuk meredakan emosi Cita. "Siapa nama anda?" tanya Cita, masih dengan nada ketus. "Nama saya Nabila, Nona," jawab wanita itu, sopan. "Ok. Nona Nabila. Selama bertahun-tahun anda menyelidik saya? Menyelidiki panti ini
Mansion Hendrawan Anaya dan Alisya memeluk Acha dengan erat. Beberapa pelayan, buru-buru membuat masakan kesukaan Acha. Hendrawan duduk berdampingan dengan Arga, menatap mereka dengan perasaan lega. Tak lama kemudian, Calvin tiba bersama Aluna. Meskipun masa nifasnya belum berakhir, Aluna sudah terlihat sangat bugar dan aktif bergerak. "Adek. Kamu bikin Kakak kelimpungan. Coba cerita dulu sama kita. Kamu kemana aja hah? Tiga hari kamu ilang lho." Aluna bertanya pada Acha, setelah memeluk dan mencium gadis itu. Suasana tiba-tiba hening. Semua orang dalam ruangan itu, menunggu jawaban Acha. Sejak masuk mansion, gadis itu belum mengeluarkan satu patah kata pun. Acha menatap bunga mawar putih dalam genggamannya. Otaknya seakan-akan terus memerintah tangannya, untuk menggenggam tangkai bunga itu dengan erat. Tiga hari? rupanya sudah selama itu dia hilang. Hilang? apanya yang hilang? Dia hanya sengaja mengikuti si kakek. Atau jangan-jangan ... Astaga Acha mengangkat wajah
"Acha hilang, Bun?" "Iya Ka. Kemaren habis dari rumah Kakak, mobilnya nyerempet pagar pembatas tol, di belokan sebelum jembatan itu lho. Ponsel ada dalam mobil. Tapi Achanya gak ada. Ini malah udah heboh. Ada fans dia yang upload video mobil di tepi jalan, jadi rame sekarang. Bunda takut Kakak. Kata polisi, gak ada sama sekali jejak penculikan. Terus, anak itu ke mana?" jelas Anaya panjang lebar kepada Aluna. Calvin yang sedang menggendong salah satu bayi kembar mereka, berhenti bersenandung, saat melihat wajah sang istri yang berubah cemas. Aluna pikir, apakah karena video call tadi, sampai Acha menghilang tanpa jejak? Selama ini, mereka memang tidak pernah lagi membahas tentang Surya, atau apapun yang berkaitan dengannya. "Bunda yang sabar yah. Nanti aku coba minta tolong sama anak-anak, buat bantu nyari," Aluna mencoba menenangkan Anaya. "Ok Kakak. Nanti Bunda kabarin, kalo ada perkembangan," Dengan cepat, tangan Aluna mengetik pesan pada Bondan dan teman-temannya
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa