Kenyataan pahit yang baru saja meruntuhkan kepercayaan diri Talita, membuat wanita itu bimbang. Kakinya gontai masuk ke dalam rumah kontrakkan orang tuannya. Wajah kusutnya sangat kentara. Sambutan sang ibu pun, bukannya membuat dia membaik. Malah semakin meradang saja hatinya. "Mana perhiasan Ibu, Talita?"Talita mendelik. "Gak ada Bu. Aku keburu sakit hati. Gak jadi belanja. Aku langsung pulang.""Lho. Pulang jalan-jalan kok, malah sakit hati sih?""Ibu juga, udah tua, mikirin perhiasan terus," sewot Talita. "Ih niih anak. Pulang-pulang, ngajak berantem. Sakit hati sama orang lain, Ibunya yang kena omel. Males ah." Melihat ibunya yang cemberut, Talita makin manyun saja. "Sakit hati kenapa? Sama siapa?" Tanya ibunya. "Bu. Aku harus gimana? Ternyata, Marvel nipu aku Bu. Tiga hari lagi, dia mau nikah. Tadi aku ketemu sama calon istrinya, di toko perhiasan. Aku udah pede banget lepasin Mas Surya. Eh, malah ditipu."Dahi ibunya bertautan. "Tapi kan dia gak nipu-nipu amat Talita.
"Kak. Shopping yuk. Aku gabut nih." ajak Anatsya pada Aluna, yang betah duduk di hadapan laptopnya. "Tunggu Adek dulu Cha. Kalo gabut tuh bobok. Biar seger. Kalo Shopping malah nambah kerjaan." jawab Aluna. "Kita bertiga kan belom pernah shopping bareng. Kali ini, aku yang traktir deh. Yah Kak?" bujuk Anatasya. Dia bahkan menggosok-gosok kepalanya di punggung sang kakak. Kalau sudah begini, Aluna pasti menyerah. Bagaimana mau kerja kalau di ganggu terus. "Atau kita ke salon yuk Kak. Liat nih muka Kakak. Udah mulai ada kerutannya. Gimana kulit gak ngerut. Itu kening di tekuk terus. Lihat organ tubuh manusia. Segala darah-berdarah. Iii.. Santai dikit napa Kak? Kerja mulu." Anatasya bicara lanjang lebar. Jemari lentiknya, dengan nakal menari-nari di wajah Aluna. Hidung yang dipencet-pencet. Pipi dicubit. Dagunya ditarik-tarik. Dan akhirnya Aluna menyerah. Tangannya memeluk leher Anatasya. Dibawahnya wajah cantik itu masuk ke ketiaknya. Kepala Anatasya digetuk-getuk, sampai anak itu
Talita meletakkan paper bag yang dia bawa, di kursi teras rumah Sari. Melisa dan Mira sepupunya, mengintip dari ruang tamu. Tidak ada yang berniat mempersilahkan Talita masuk. Sari yang baru saja tiba dari warung, heran melihat Talita sendiri di teras rumah, dan hendak bersiap pergi. "Lho. Mbak. Kok gak masuk? Pintunya gak di kunci kali. Masuk aja."Suara Sari mengagetkan Talita. "Tadi udah ketemu Mas Surya sama Melisa. Tapi, gak dipanggil masuk, Sar," adu Talita. Dengan sigap, Sari membuka pintu rumah. Lalu mempersilahkan Talita masuk. "Duduk Mbak. Aku buatkan minum,""Ini ada kue brownies kesukaan Melisa." Paper bag yang sedari tadi di tangannya, dia serahkan kepada Sari. "Tadi, sebelum aku ke warung, anak-anak pada goreng pisang gepok. Mbak mau?" tanya Sari menawarkan. Talita hanya mengangguk lemah. Seperti merasa sesuatu yang sesak di dada, karena di perlakukan dengan baik oleh orang yang selama ini dia acuhkan. Tak berapa lama, Sari muncul dengan nampan. Dua cangkir teh, po
"Tunggu surat cerainya tiba, untuk mengesahkan talakku hari ini padamu."Surya pergi. Benar-benar pergi. Ketahanannya untuk bertahan mencintai Talita, akhirnya jebol. Wanita yang dijadikannya ratu itu, telah mengangkat kakinya dan menginjak kepala Surya, selama puluhan tahun. Talita bergeming. Mematung di tempatnya berdiri. Kalimat sakral yang baru saja dia dengar, meluncur dari mulut Surya, membuat tubuhnya beku. Kesadarannya kembali, setelah mendengar dering ponsel di saku celananya. "Ya. Halo." Jawab Talita, tanpa melihat, kontak yang menelpon. "Mbak. Ke Rumah Sakit Artama sekarang. Bapak masuk ICU. Serangan jantung." Ponsel Talita, terlepas dari tangannya, beriringan dengan air matanya yang jatuh berderai. Dia berlari secepat kilat ke mobilnya. Lalu, memacunya dengan kecepatan tinggi. Talita benar-benar hancur. Dalam satu waktu dua masalah, mendorongnya ke jurang nestapa. Ditalak, dan bapak serangan jantung. Dia berlari di koridor rumah sakit, sambil mengusap pipinya yang p
Aluna tersenyum tipis. Gerakannya jadi serba salah. "Silahkan duduk Pak. Sekali lagi, saya minta maaf," kata Aluna. "Its ok Dokter ... Dokter Aluna. Ini buat anda," pria itu mengulurkan bunga mawar putih di tangannya. Kembali, kening Aluna dibuat menyatu. Namun tangannya terulur juga, menyambut bunga itu. "Untuk saya Pak?""Ia. Semua Dokter cewek dapet kok. Sebagai tanda perkenalan pertama dari saya," jawabnya santai. "Oh. Silahkan duduk Pak. Terimakasih buat bunganya." Pria itu, mengangguk pelan. "Jadi anda tidak mau kenalan dengan saya Dokter Aluna?" tanyanya kembali. Aluna tersenyum. Hanya sedikit. Pria di hadapannya ini, menangkupkan tangannya di depan dadanya. "Saya saja yang perkenalkan diri. Dokter Aluna, ijinkan saya perkenalkan diri saya. Nama lengkap saya, Calvin Rangga Artama. Anda bisa panggil saya, Calvin, Cal, atau Vin atau Pak Dokter atau hei kamu, atau nih nomor ponsel saya," Aluna tersenyum lebar melihat kekonyolan atasannya ini. Pria yang bernama Calvin itu
Sejak pesta penyambutan itu, Calvin dan Arga semakin dekat. Calvin sengaja menjerat sang wali nikah lebih dulu. Memberikan kesan dan pembuktian, jika dia layak untuk seorang Aluna. "Dek. Kemaren-kemaren waktu di cafe, Bosnya Kakak, ngomong apa ke kamu?" tanya Aluna. Karena merasa heran dengan pertanyaan Aluna, Arga terdiam cukup lama. Tidak biasanya Aluna bertanya tentang masalah seperti itu. "Tumben Kakak nanya. Hayoo. Naksir yah?" goda Arga. Lengan Arga kena tinju Aluna yang cukup keras. Arga meringis, sambil tertawa. Menertawakan wajah kakaknya yang berubah merah, bak kepiting direbus. Dengan cepat, Aluna berlalu dari samping Arga. Tidak biasanya ada perasaan seperti ini di hatinya. Bahkan dia tersenyum-senyum sendiri jika mengingat tingkah Calvin. Sekarang Rumah Sakit seperti taman bunga mawar putih berhektar-hektar dengan hamparan pemandangan yang indah. Bagaimana tidak, dia selalu ingin cepat datang, dan tidak mau cepat berakhir jam pulang.Satu minggu sudah, tiap masuk ru
"Ada apa Nak?" tanya Rustam."Gak apa-apa Kek. Udah berapa lama Kakek makan vitamin ini?""Baru aja minggu lalu. Isinya masih banyak itu.""Rangga pinjem yah Kek." "Ambil aja Nak. Kakek mau istirahat dulu. Selamat bersenang-senang." Rustam berdiri. Tubuhnya sedikit sempoyongan. "Kakek sakit?" Calvin sedikit kuatir. "Sedikit pusing saja. Sudah sana, pergi. Gak baik bikin anak gadis orang menunggu lama."Calvin mengambil perlengkapan dokter di dalam kamarnya, lalu masuk mengikuti Rustam. Dia mencurigai tubuh sang kakek tidak baik-baik saja. Jika benar kecurigaannya terbukti, maka obat yang sudah seminggu ini, di konsumsi oleh Rustam, bukannya vitamin, tapi racun yang membunuh saraf secara perlahan. Di Jerman, Calvin mempelajari semua hal menyangkut obat-obatan. Baik itu buatan pabrik atau herbal. Dengan menggunakan indra penciuman saja, Calvin sudah tau, bahwa jenis obat itu, tidak cocok untuk pria seusia Rustam. Tekanan darah, kolestrol dan lain-lain, sudah dia cek. Semua normal
Rustam bangun setelah Calvin sampai di rumah. Calvin memberikan kembali botol vitamin, yang tentu saja isinya telah diganti. Calvin memberikan obat penyembuh saraf. Keadaan Rustam sudah terlihat lebih baik. Setelah minum obat penawar racun, wajah tua itu sudah tidak pucat, seperti tadi saat beliau tidur. Calvin memberikan dosis penuh kepada kakeknya. Supaya, kandungan obat yang selama seminggu ini, dikonsumsi Rustam, khasiatnya bisa berkurang. Setelah mandi, Calvin mengutarakan keinginannya kepada Rustam, untuk melamar Aluna. "Kek, Kakek setuju gak, kalau Rangga melamar Aluna?" tanya Calvin. "Nah kan? Tebakan Kakek tidak meleset. Kamu memang menyukai Aluna. Aluna anak yang baik. Kakek sangat setuju jika kamu melamar dia. " Wah. Udah ada yang mau lamaran nih. Kami gak dikasih tau?" Sintia, menyela pembicaraan Rustam dan Calvin. Calvin menoleh dengan enggan. Ingin sekali menjawab, tapi dia merasa sangat malas. Dia membiarkan pertanyaan itu berlalu. Bahkan dengan santai dia meng