Talita meletakkan paper bag yang dia bawa, di kursi teras rumah Sari. Melisa dan Mira sepupunya, mengintip dari ruang tamu. Tidak ada yang berniat mempersilahkan Talita masuk. Sari yang baru saja tiba dari warung, heran melihat Talita sendiri di teras rumah, dan hendak bersiap pergi. "Lho. Mbak. Kok gak masuk? Pintunya gak di kunci kali. Masuk aja."Suara Sari mengagetkan Talita. "Tadi udah ketemu Mas Surya sama Melisa. Tapi, gak dipanggil masuk, Sar," adu Talita. Dengan sigap, Sari membuka pintu rumah. Lalu mempersilahkan Talita masuk. "Duduk Mbak. Aku buatkan minum,""Ini ada kue brownies kesukaan Melisa." Paper bag yang sedari tadi di tangannya, dia serahkan kepada Sari. "Tadi, sebelum aku ke warung, anak-anak pada goreng pisang gepok. Mbak mau?" tanya Sari menawarkan. Talita hanya mengangguk lemah. Seperti merasa sesuatu yang sesak di dada, karena di perlakukan dengan baik oleh orang yang selama ini dia acuhkan. Tak berapa lama, Sari muncul dengan nampan. Dua cangkir teh, po
"Tunggu surat cerainya tiba, untuk mengesahkan talakku hari ini padamu."Surya pergi. Benar-benar pergi. Ketahanannya untuk bertahan mencintai Talita, akhirnya jebol. Wanita yang dijadikannya ratu itu, telah mengangkat kakinya dan menginjak kepala Surya, selama puluhan tahun. Talita bergeming. Mematung di tempatnya berdiri. Kalimat sakral yang baru saja dia dengar, meluncur dari mulut Surya, membuat tubuhnya beku. Kesadarannya kembali, setelah mendengar dering ponsel di saku celananya. "Ya. Halo." Jawab Talita, tanpa melihat, kontak yang menelpon. "Mbak. Ke Rumah Sakit Artama sekarang. Bapak masuk ICU. Serangan jantung." Ponsel Talita, terlepas dari tangannya, beriringan dengan air matanya yang jatuh berderai. Dia berlari secepat kilat ke mobilnya. Lalu, memacunya dengan kecepatan tinggi. Talita benar-benar hancur. Dalam satu waktu dua masalah, mendorongnya ke jurang nestapa. Ditalak, dan bapak serangan jantung. Dia berlari di koridor rumah sakit, sambil mengusap pipinya yang p
Aluna tersenyum tipis. Gerakannya jadi serba salah. "Silahkan duduk Pak. Sekali lagi, saya minta maaf," kata Aluna. "Its ok Dokter ... Dokter Aluna. Ini buat anda," pria itu mengulurkan bunga mawar putih di tangannya. Kembali, kening Aluna dibuat menyatu. Namun tangannya terulur juga, menyambut bunga itu. "Untuk saya Pak?""Ia. Semua Dokter cewek dapet kok. Sebagai tanda perkenalan pertama dari saya," jawabnya santai. "Oh. Silahkan duduk Pak. Terimakasih buat bunganya." Pria itu, mengangguk pelan. "Jadi anda tidak mau kenalan dengan saya Dokter Aluna?" tanyanya kembali. Aluna tersenyum. Hanya sedikit. Pria di hadapannya ini, menangkupkan tangannya di depan dadanya. "Saya saja yang perkenalkan diri. Dokter Aluna, ijinkan saya perkenalkan diri saya. Nama lengkap saya, Calvin Rangga Artama. Anda bisa panggil saya, Calvin, Cal, atau Vin atau Pak Dokter atau hei kamu, atau nih nomor ponsel saya," Aluna tersenyum lebar melihat kekonyolan atasannya ini. Pria yang bernama Calvin itu
Sejak pesta penyambutan itu, Calvin dan Arga semakin dekat. Calvin sengaja menjerat sang wali nikah lebih dulu. Memberikan kesan dan pembuktian, jika dia layak untuk seorang Aluna. "Dek. Kemaren-kemaren waktu di cafe, Bosnya Kakak, ngomong apa ke kamu?" tanya Aluna. Karena merasa heran dengan pertanyaan Aluna, Arga terdiam cukup lama. Tidak biasanya Aluna bertanya tentang masalah seperti itu. "Tumben Kakak nanya. Hayoo. Naksir yah?" goda Arga. Lengan Arga kena tinju Aluna yang cukup keras. Arga meringis, sambil tertawa. Menertawakan wajah kakaknya yang berubah merah, bak kepiting direbus. Dengan cepat, Aluna berlalu dari samping Arga. Tidak biasanya ada perasaan seperti ini di hatinya. Bahkan dia tersenyum-senyum sendiri jika mengingat tingkah Calvin. Sekarang Rumah Sakit seperti taman bunga mawar putih berhektar-hektar dengan hamparan pemandangan yang indah. Bagaimana tidak, dia selalu ingin cepat datang, dan tidak mau cepat berakhir jam pulang.Satu minggu sudah, tiap masuk ru
"Ada apa Nak?" tanya Rustam."Gak apa-apa Kek. Udah berapa lama Kakek makan vitamin ini?""Baru aja minggu lalu. Isinya masih banyak itu.""Rangga pinjem yah Kek." "Ambil aja Nak. Kakek mau istirahat dulu. Selamat bersenang-senang." Rustam berdiri. Tubuhnya sedikit sempoyongan. "Kakek sakit?" Calvin sedikit kuatir. "Sedikit pusing saja. Sudah sana, pergi. Gak baik bikin anak gadis orang menunggu lama."Calvin mengambil perlengkapan dokter di dalam kamarnya, lalu masuk mengikuti Rustam. Dia mencurigai tubuh sang kakek tidak baik-baik saja. Jika benar kecurigaannya terbukti, maka obat yang sudah seminggu ini, di konsumsi oleh Rustam, bukannya vitamin, tapi racun yang membunuh saraf secara perlahan. Di Jerman, Calvin mempelajari semua hal menyangkut obat-obatan. Baik itu buatan pabrik atau herbal. Dengan menggunakan indra penciuman saja, Calvin sudah tau, bahwa jenis obat itu, tidak cocok untuk pria seusia Rustam. Tekanan darah, kolestrol dan lain-lain, sudah dia cek. Semua normal
Rustam bangun setelah Calvin sampai di rumah. Calvin memberikan kembali botol vitamin, yang tentu saja isinya telah diganti. Calvin memberikan obat penyembuh saraf. Keadaan Rustam sudah terlihat lebih baik. Setelah minum obat penawar racun, wajah tua itu sudah tidak pucat, seperti tadi saat beliau tidur. Calvin memberikan dosis penuh kepada kakeknya. Supaya, kandungan obat yang selama seminggu ini, dikonsumsi Rustam, khasiatnya bisa berkurang. Setelah mandi, Calvin mengutarakan keinginannya kepada Rustam, untuk melamar Aluna. "Kek, Kakek setuju gak, kalau Rangga melamar Aluna?" tanya Calvin. "Nah kan? Tebakan Kakek tidak meleset. Kamu memang menyukai Aluna. Aluna anak yang baik. Kakek sangat setuju jika kamu melamar dia. " Wah. Udah ada yang mau lamaran nih. Kami gak dikasih tau?" Sintia, menyela pembicaraan Rustam dan Calvin. Calvin menoleh dengan enggan. Ingin sekali menjawab, tapi dia merasa sangat malas. Dia membiarkan pertanyaan itu berlalu. Bahkan dengan santai dia meng
Malam itu juga, Arga menemani Calvin, untuk datang menyatakan perasaannya kepada Aluna, lewat Anaya. Calvin merasa, dia harus bicara lebih dulu dengan Anaya. Dia nanti akan melamar Aluna secara pribadi. Langsung dengan keluarga besarnya. Pada sebuha acara yabg sudah disusun mereka dengan matang. "Saya menjaminkan seluruh jiwa dan raga saya, untuk kebahagiaan Aluna. Saya berjanji atas nama Allah, Tuhanku Semesta Alam. Bahwa saya akan bertanggung jawab dan mencintai Aluna sampai akhir hayat."Mata Anaya meneteskan air mata kebahagiaan. Dia juga terkejut, setelah tau, jika yang melamar Aluna adalah teman masa kecilnya yang sering datang ke ruko, untuk belajar kelompok. Anaya juga salut dengan cara Calvin mendekati Aluna. Dia lebih dulu mengambil hati Arga, sebagai wali nikah Aluna. Lalu, membuat Acha dan Icha, menyukai dirinya. Sekarang, dia berhasil meyakinkan Anaya dan Hendrawan, bahwa dia mampu membahagiakan anak mereka. Tantangan Calvin selanjutnya, adalah menaklukan hati dingin
Tantri berjalan angkuh masuk ke dalam rumah. Tubuh tuanya, berbalut outfit mahal. Meski cantik, tapi Tantri terlihat bengis. Dagunya selalu terangkat. Menandakan dia ingin semua orang tau, levelnya. Sintia dan Sunia, menyambut sang ibu, dengan bahagia. Meski begitu, mereka tetap fokus pada masalah yang sedang terjadi. "Mama lama amat di kampung. Ngapain aja di sana?""Ya, seneng-senenglah. Papa kalian itu, udah loyo. Lagi pula, Mama punya syarat yang harus terus di patuhi, tiap purnama, Mama harus bergulat dengan perjaka ting-ting." Ujar Tantri, santai. "Jadi satu bulan lebih ini, Mama sama brondong gitu?" Sintia terbelalak. Dan bergidik geli. "Ia dong. Iri? Bilang bos." Sintia memasang wajah mual. Pura-pura alim. Padahal aslinya dia lebih parah dari Tantri. Mana Tantri tau, jika selama ini kumpulan sosialita Sintia, selalu arisan brondong. Lain juga dengan Sunia. Dia adalah tipe wanita bebas. Penganut freechild. Suaminya bahkan menikah siri, tanpa dia ketahui. Yang dia tau, sua