Aluna menepati janji. Dia meminta ibunya datang ke rumah sakit, karena mantan mertuanya yang kritis, ingin bertemu dengannya.Anaya sampai di rumah sakit, bersama Arga dan Hendrawan. Berjalan menyusuri koridor mencari ruangan kelas satu, tempat Murni dirawat. Ijin diberikan Hendrawan, asalkan, dia pergi ditemani suami dan anaknya. Alisya juga ikut, tapi langsung pergi ke ruangan kakaknya. Akhir-akhir ini, setelah perayaan ulang tahun Alisya, Anaya lebih intens berada di sisi anak bungsunya itu. Ruangan rawat inap Murni sudah ada di depan mata mereka. Hendrawan menggenggam tangan Anaya, tidak sekalipun dia melepaskannya. Setelah Arga mengetuk pintu, dia melihat seorang gadis berdiri di sana, membukakan pintu untuknya. Gadis yang tempo hari diusir oleh satpam perusahaan, atas permintaannya. "Cari siapa?" tanyanya. Arga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu menatap Anaya, dengan wajah bingung. "Kami mau menjenguk ibunda Tuan Surya. Beliau adalah rekan kerja kami."Melisa memut
Wanita yang sudah dimabuk cinta lama itu, tersenyum sinis, melihat isi pesan whatsapp anak gadisnya. "Siapa juga yang mau datang melayat? Mertua jahat kek gitu. Pantesnya mati aja. Mau nilai apapun, terserah!" Talita bicara sinis, sambil terus melihat isi chat anaknya. Tak sengaja, Talita melihat Melisa yang membuat story WA. Foto di pemakaman. Ada banyak orang di sana. Foto itu dizoom Talita, karena sepintas, dia mengenal wanita yang berdiri diapit dua pria. Anaya ada di sana? Cih. Pencitraan. Wanita itu selalu mencari muka di setiap kesempatan. Mungkin supaya aku terlihat buruk, di mata orang yang mengenal kami. Wanita itu menutup aplikasi chat dengan Melisa. Lalu membuang ponselnya di atas ranjang. Ranjang king size, yang dibelikan Marvel, seminggu yang lalu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan yang interiornya, adalah pilihan dia sendiri. Sudah seminggu Talita tinggal di hunian super mewah, di lingkungan super elit. Perumahan Bonavit Hills. Pemukiman impiann
Kenyataan pahit yang baru saja meruntuhkan kepercayaan diri Talita, membuat wanita itu bimbang. Kakinya gontai masuk ke dalam rumah kontrakkan orang tuannya. Wajah kusutnya sangat kentara. Sambutan sang ibu pun, bukannya membuat dia membaik. Malah semakin meradang saja hatinya. "Mana perhiasan Ibu, Talita?"Talita mendelik. "Gak ada Bu. Aku keburu sakit hati. Gak jadi belanja. Aku langsung pulang.""Lho. Pulang jalan-jalan kok, malah sakit hati sih?""Ibu juga, udah tua, mikirin perhiasan terus," sewot Talita. "Ih niih anak. Pulang-pulang, ngajak berantem. Sakit hati sama orang lain, Ibunya yang kena omel. Males ah." Melihat ibunya yang cemberut, Talita makin manyun saja. "Sakit hati kenapa? Sama siapa?" Tanya ibunya. "Bu. Aku harus gimana? Ternyata, Marvel nipu aku Bu. Tiga hari lagi, dia mau nikah. Tadi aku ketemu sama calon istrinya, di toko perhiasan. Aku udah pede banget lepasin Mas Surya. Eh, malah ditipu."Dahi ibunya bertautan. "Tapi kan dia gak nipu-nipu amat Talita.
"Kak. Shopping yuk. Aku gabut nih." ajak Anatsya pada Aluna, yang betah duduk di hadapan laptopnya. "Tunggu Adek dulu Cha. Kalo gabut tuh bobok. Biar seger. Kalo Shopping malah nambah kerjaan." jawab Aluna. "Kita bertiga kan belom pernah shopping bareng. Kali ini, aku yang traktir deh. Yah Kak?" bujuk Anatasya. Dia bahkan menggosok-gosok kepalanya di punggung sang kakak. Kalau sudah begini, Aluna pasti menyerah. Bagaimana mau kerja kalau di ganggu terus. "Atau kita ke salon yuk Kak. Liat nih muka Kakak. Udah mulai ada kerutannya. Gimana kulit gak ngerut. Itu kening di tekuk terus. Lihat organ tubuh manusia. Segala darah-berdarah. Iii.. Santai dikit napa Kak? Kerja mulu." Anatasya bicara lanjang lebar. Jemari lentiknya, dengan nakal menari-nari di wajah Aluna. Hidung yang dipencet-pencet. Pipi dicubit. Dagunya ditarik-tarik. Dan akhirnya Aluna menyerah. Tangannya memeluk leher Anatasya. Dibawahnya wajah cantik itu masuk ke ketiaknya. Kepala Anatasya digetuk-getuk, sampai anak itu
Talita meletakkan paper bag yang dia bawa, di kursi teras rumah Sari. Melisa dan Mira sepupunya, mengintip dari ruang tamu. Tidak ada yang berniat mempersilahkan Talita masuk. Sari yang baru saja tiba dari warung, heran melihat Talita sendiri di teras rumah, dan hendak bersiap pergi. "Lho. Mbak. Kok gak masuk? Pintunya gak di kunci kali. Masuk aja."Suara Sari mengagetkan Talita. "Tadi udah ketemu Mas Surya sama Melisa. Tapi, gak dipanggil masuk, Sar," adu Talita. Dengan sigap, Sari membuka pintu rumah. Lalu mempersilahkan Talita masuk. "Duduk Mbak. Aku buatkan minum,""Ini ada kue brownies kesukaan Melisa." Paper bag yang sedari tadi di tangannya, dia serahkan kepada Sari. "Tadi, sebelum aku ke warung, anak-anak pada goreng pisang gepok. Mbak mau?" tanya Sari menawarkan. Talita hanya mengangguk lemah. Seperti merasa sesuatu yang sesak di dada, karena di perlakukan dengan baik oleh orang yang selama ini dia acuhkan. Tak berapa lama, Sari muncul dengan nampan. Dua cangkir teh, po
"Tunggu surat cerainya tiba, untuk mengesahkan talakku hari ini padamu."Surya pergi. Benar-benar pergi. Ketahanannya untuk bertahan mencintai Talita, akhirnya jebol. Wanita yang dijadikannya ratu itu, telah mengangkat kakinya dan menginjak kepala Surya, selama puluhan tahun. Talita bergeming. Mematung di tempatnya berdiri. Kalimat sakral yang baru saja dia dengar, meluncur dari mulut Surya, membuat tubuhnya beku. Kesadarannya kembali, setelah mendengar dering ponsel di saku celananya. "Ya. Halo." Jawab Talita, tanpa melihat, kontak yang menelpon. "Mbak. Ke Rumah Sakit Artama sekarang. Bapak masuk ICU. Serangan jantung." Ponsel Talita, terlepas dari tangannya, beriringan dengan air matanya yang jatuh berderai. Dia berlari secepat kilat ke mobilnya. Lalu, memacunya dengan kecepatan tinggi. Talita benar-benar hancur. Dalam satu waktu dua masalah, mendorongnya ke jurang nestapa. Ditalak, dan bapak serangan jantung. Dia berlari di koridor rumah sakit, sambil mengusap pipinya yang p
Aluna tersenyum tipis. Gerakannya jadi serba salah. "Silahkan duduk Pak. Sekali lagi, saya minta maaf," kata Aluna. "Its ok Dokter ... Dokter Aluna. Ini buat anda," pria itu mengulurkan bunga mawar putih di tangannya. Kembali, kening Aluna dibuat menyatu. Namun tangannya terulur juga, menyambut bunga itu. "Untuk saya Pak?""Ia. Semua Dokter cewek dapet kok. Sebagai tanda perkenalan pertama dari saya," jawabnya santai. "Oh. Silahkan duduk Pak. Terimakasih buat bunganya." Pria itu, mengangguk pelan. "Jadi anda tidak mau kenalan dengan saya Dokter Aluna?" tanyanya kembali. Aluna tersenyum. Hanya sedikit. Pria di hadapannya ini, menangkupkan tangannya di depan dadanya. "Saya saja yang perkenalkan diri. Dokter Aluna, ijinkan saya perkenalkan diri saya. Nama lengkap saya, Calvin Rangga Artama. Anda bisa panggil saya, Calvin, Cal, atau Vin atau Pak Dokter atau hei kamu, atau nih nomor ponsel saya," Aluna tersenyum lebar melihat kekonyolan atasannya ini. Pria yang bernama Calvin itu
Sejak pesta penyambutan itu, Calvin dan Arga semakin dekat. Calvin sengaja menjerat sang wali nikah lebih dulu. Memberikan kesan dan pembuktian, jika dia layak untuk seorang Aluna. "Dek. Kemaren-kemaren waktu di cafe, Bosnya Kakak, ngomong apa ke kamu?" tanya Aluna. Karena merasa heran dengan pertanyaan Aluna, Arga terdiam cukup lama. Tidak biasanya Aluna bertanya tentang masalah seperti itu. "Tumben Kakak nanya. Hayoo. Naksir yah?" goda Arga. Lengan Arga kena tinju Aluna yang cukup keras. Arga meringis, sambil tertawa. Menertawakan wajah kakaknya yang berubah merah, bak kepiting direbus. Dengan cepat, Aluna berlalu dari samping Arga. Tidak biasanya ada perasaan seperti ini di hatinya. Bahkan dia tersenyum-senyum sendiri jika mengingat tingkah Calvin. Sekarang Rumah Sakit seperti taman bunga mawar putih berhektar-hektar dengan hamparan pemandangan yang indah. Bagaimana tidak, dia selalu ingin cepat datang, dan tidak mau cepat berakhir jam pulang.Satu minggu sudah, tiap masuk ru
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A