Dua minggu sudah aku dan Melisa di rumah ibu. Tak sekalipun Talita menanyakan kabar kami. Padahal, sebelum aku pergi, aku bilang, hanya seminggu keluar kota. Dengan motor matic milik Sari, aku meluncur ke rumahku. Ingin sekali tau keadaan rumah. Motor aku parkirkan di samping rumah Pak RT. Lalu berjalan kaki ke rumah. Sunyi. Sepi dan berdebu. Rumah ini seperti tidak berpenghuni. Kulkas kosong, ada beberapa sterofoam di tempat sampah. Dan dapur yang berantakan. Talita tidak ada di kamarnya. Hanya ada pakaian kotornya yang menumpuk di sudut kamar mandi. Aku menjulurkan leher, melihat sebuah mobil mewah warna hitam, yang terparkir sempurna di rumah kontrakan mertua. Dengan pelan aku berjalan ke sana. Dari depan saja, sudah terdengar gelak tawa dan cekikan khas Talita. Aku mengintip ke dalam rumah. Ada gorden putih yang menutup jendela. Tap aku bisa dengan jelas melihat isi ruang tamu kecil yang berpadu langsung dengan ruang keluarga. Dua orang berlainan jenis itu, sedang bercanda
Alisya menatap Niken dengan wajah sendu. Sebenarnya di dalam hatinya, dia merindukan wanita yang telah melahirkannya itu, namun trauma masa lalu, yang membekas dalam ingatannya, membuat dia enggan untuk dekat-dekat dengan Niken. Setelah mengalami penyiksaan dari ibunya sendiri, Alisya jatuh sakit. Sakit di fisiknya tidak seberapa, di bandingkan sakit di jiwanya. Alisya jarang bicara, jarang tersenyum. Makan pun harus dipaksa. Jika bukan Hendrawan yang menyuapinya, dia tidak akan makan.Dengan jadwal Hendrawan yang padat, sering kali terjebak meeting mendadak, membuat Alisya bertambah sakit. Dia mulai bangkit lagi, saat bertemu dengan Anatasya. Secara tidak sengaja, Alisya menyukai suara merdu Anatasya. Dia sangat sering menonton konten youtube Anatasya. Jadilah, saat pertemuan bisnis, Hendrawan, meminta langsung kepada Anaya, untuk mempertemukan Anatasya dan Alisya, karena saat itu Alisya sedang sakit. Selama beberapa tahun, Hendrawan tidak tau, jika Niken sering kali menyiksa Alis
Aluna menepati janji. Dia meminta ibunya datang ke rumah sakit, karena mantan mertuanya yang kritis, ingin bertemu dengannya.Anaya sampai di rumah sakit, bersama Arga dan Hendrawan. Berjalan menyusuri koridor mencari ruangan kelas satu, tempat Murni dirawat. Ijin diberikan Hendrawan, asalkan, dia pergi ditemani suami dan anaknya. Alisya juga ikut, tapi langsung pergi ke ruangan kakaknya. Akhir-akhir ini, setelah perayaan ulang tahun Alisya, Anaya lebih intens berada di sisi anak bungsunya itu. Ruangan rawat inap Murni sudah ada di depan mata mereka. Hendrawan menggenggam tangan Anaya, tidak sekalipun dia melepaskannya. Setelah Arga mengetuk pintu, dia melihat seorang gadis berdiri di sana, membukakan pintu untuknya. Gadis yang tempo hari diusir oleh satpam perusahaan, atas permintaannya. "Cari siapa?" tanyanya. Arga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu menatap Anaya, dengan wajah bingung. "Kami mau menjenguk ibunda Tuan Surya. Beliau adalah rekan kerja kami."Melisa memut
Wanita yang sudah dimabuk cinta lama itu, tersenyum sinis, melihat isi pesan whatsapp anak gadisnya. "Siapa juga yang mau datang melayat? Mertua jahat kek gitu. Pantesnya mati aja. Mau nilai apapun, terserah!" Talita bicara sinis, sambil terus melihat isi chat anaknya. Tak sengaja, Talita melihat Melisa yang membuat story WA. Foto di pemakaman. Ada banyak orang di sana. Foto itu dizoom Talita, karena sepintas, dia mengenal wanita yang berdiri diapit dua pria. Anaya ada di sana? Cih. Pencitraan. Wanita itu selalu mencari muka di setiap kesempatan. Mungkin supaya aku terlihat buruk, di mata orang yang mengenal kami. Wanita itu menutup aplikasi chat dengan Melisa. Lalu membuang ponselnya di atas ranjang. Ranjang king size, yang dibelikan Marvel, seminggu yang lalu. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan yang interiornya, adalah pilihan dia sendiri. Sudah seminggu Talita tinggal di hunian super mewah, di lingkungan super elit. Perumahan Bonavit Hills. Pemukiman impiann
Kenyataan pahit yang baru saja meruntuhkan kepercayaan diri Talita, membuat wanita itu bimbang. Kakinya gontai masuk ke dalam rumah kontrakkan orang tuannya. Wajah kusutnya sangat kentara. Sambutan sang ibu pun, bukannya membuat dia membaik. Malah semakin meradang saja hatinya. "Mana perhiasan Ibu, Talita?"Talita mendelik. "Gak ada Bu. Aku keburu sakit hati. Gak jadi belanja. Aku langsung pulang.""Lho. Pulang jalan-jalan kok, malah sakit hati sih?""Ibu juga, udah tua, mikirin perhiasan terus," sewot Talita. "Ih niih anak. Pulang-pulang, ngajak berantem. Sakit hati sama orang lain, Ibunya yang kena omel. Males ah." Melihat ibunya yang cemberut, Talita makin manyun saja. "Sakit hati kenapa? Sama siapa?" Tanya ibunya. "Bu. Aku harus gimana? Ternyata, Marvel nipu aku Bu. Tiga hari lagi, dia mau nikah. Tadi aku ketemu sama calon istrinya, di toko perhiasan. Aku udah pede banget lepasin Mas Surya. Eh, malah ditipu."Dahi ibunya bertautan. "Tapi kan dia gak nipu-nipu amat Talita.
"Kak. Shopping yuk. Aku gabut nih." ajak Anatsya pada Aluna, yang betah duduk di hadapan laptopnya. "Tunggu Adek dulu Cha. Kalo gabut tuh bobok. Biar seger. Kalo Shopping malah nambah kerjaan." jawab Aluna. "Kita bertiga kan belom pernah shopping bareng. Kali ini, aku yang traktir deh. Yah Kak?" bujuk Anatasya. Dia bahkan menggosok-gosok kepalanya di punggung sang kakak. Kalau sudah begini, Aluna pasti menyerah. Bagaimana mau kerja kalau di ganggu terus. "Atau kita ke salon yuk Kak. Liat nih muka Kakak. Udah mulai ada kerutannya. Gimana kulit gak ngerut. Itu kening di tekuk terus. Lihat organ tubuh manusia. Segala darah-berdarah. Iii.. Santai dikit napa Kak? Kerja mulu." Anatasya bicara lanjang lebar. Jemari lentiknya, dengan nakal menari-nari di wajah Aluna. Hidung yang dipencet-pencet. Pipi dicubit. Dagunya ditarik-tarik. Dan akhirnya Aluna menyerah. Tangannya memeluk leher Anatasya. Dibawahnya wajah cantik itu masuk ke ketiaknya. Kepala Anatasya digetuk-getuk, sampai anak itu
Talita meletakkan paper bag yang dia bawa, di kursi teras rumah Sari. Melisa dan Mira sepupunya, mengintip dari ruang tamu. Tidak ada yang berniat mempersilahkan Talita masuk. Sari yang baru saja tiba dari warung, heran melihat Talita sendiri di teras rumah, dan hendak bersiap pergi. "Lho. Mbak. Kok gak masuk? Pintunya gak di kunci kali. Masuk aja."Suara Sari mengagetkan Talita. "Tadi udah ketemu Mas Surya sama Melisa. Tapi, gak dipanggil masuk, Sar," adu Talita. Dengan sigap, Sari membuka pintu rumah. Lalu mempersilahkan Talita masuk. "Duduk Mbak. Aku buatkan minum,""Ini ada kue brownies kesukaan Melisa." Paper bag yang sedari tadi di tangannya, dia serahkan kepada Sari. "Tadi, sebelum aku ke warung, anak-anak pada goreng pisang gepok. Mbak mau?" tanya Sari menawarkan. Talita hanya mengangguk lemah. Seperti merasa sesuatu yang sesak di dada, karena di perlakukan dengan baik oleh orang yang selama ini dia acuhkan. Tak berapa lama, Sari muncul dengan nampan. Dua cangkir teh, po
"Tunggu surat cerainya tiba, untuk mengesahkan talakku hari ini padamu."Surya pergi. Benar-benar pergi. Ketahanannya untuk bertahan mencintai Talita, akhirnya jebol. Wanita yang dijadikannya ratu itu, telah mengangkat kakinya dan menginjak kepala Surya, selama puluhan tahun. Talita bergeming. Mematung di tempatnya berdiri. Kalimat sakral yang baru saja dia dengar, meluncur dari mulut Surya, membuat tubuhnya beku. Kesadarannya kembali, setelah mendengar dering ponsel di saku celananya. "Ya. Halo." Jawab Talita, tanpa melihat, kontak yang menelpon. "Mbak. Ke Rumah Sakit Artama sekarang. Bapak masuk ICU. Serangan jantung." Ponsel Talita, terlepas dari tangannya, beriringan dengan air matanya yang jatuh berderai. Dia berlari secepat kilat ke mobilnya. Lalu, memacunya dengan kecepatan tinggi. Talita benar-benar hancur. Dalam satu waktu dua masalah, mendorongnya ke jurang nestapa. Ditalak, dan bapak serangan jantung. Dia berlari di koridor rumah sakit, sambil mengusap pipinya yang p