"Apa maksudmu Mas? Melisa akan dioperasi? Bagaimana bisa? Operasi pengangkatan rahim lagi. Ck! Yang benar aja. Pacar aja gak punya." Talita menghempaskan tubuhnya di sampingku.
"Bagaimana bisa kau tau tentang anakmu, jika kau di rumah hanya untuk mandi dan tidur. Setiap hari kau pergi dengan geng sosialitamu itu. Menghamburkan uang dan pulang setelah limitnya kandas.""Jadi kamu nyalahin aku Mas? Lalu kamu selama ini kemana aja? Kamu sibuk dengan proyek, sibuk mencari mantan istrimu itu kan?"Aku menoleh ke arah Talita. Menatap wajah tanpa make up yang tetap cantik dan mulus. Di usia kami yang hampir menyentuh setengah abad, dia masih terlihat menawan."Jangan menutupi kesalahanmu, dengan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anak kita. Bahkan semua keluargamu hidup dari usahaku Talita. Dan perkara mencari Anaya, bukankah kita sudah bicarakan itu? Kita butuh anak-anak Anaya. Juga untuk kelangsungan hidupmu dan keluargamu bukan? Jadi, jangan bicara omong kosong!"Talita menghentakkan kakinya ke lantai."Seharusnya kau yang berperan penting dalam hidup Melisa. Dia anak perempuan Talita. Kau biarkan dia berkeliaran sesuka hati, kuliah tidak pernah selesai. Kau bilang dia akan jadi seorang model, mana buktinya? Dokter tadi mengatakan, Melisa sudah pernah keguguran berkali-kali." aku mengusap kasar wajahku.Talita melahirkan tiga orang anak bagiku. Melisa, Radit, dan Virgo. Aku juga punya dua anak perempuan dari Anaya. Aluna dan Anatasya.Aku menikahi Talita setelah satu tahun menikah dengan Anaya. Aluna dan Melisa lahir di tahun yang sama.Aku sangat mencintai Melisa lebih dari Aluna. Melisa adalah anak yang cerdas dan sangat cantik. Wajahnya seratus persen jiplakan wajah Talita.Bagaimana nanti perasaan Melisa, jika tau rahimnya telah diangkat? Bagaimana masa depannya nanti? Apa masih ada pria yang mau menikahi Melisa, wanita tanpa rahim.Membayangkannya saja, aku bergidik ngeri. Kasihan anakku."Aku mau kembali meeting Talita. Jaga Melisa dengan baik. Jangan tinggalkan dia. Kali ini saja. Tolong dengarkan perkataanku!" aku hendak beranjak dari kursi tunggu, namun tangan Melisa mencegahku."Meeting aja yang Mas urusin. Melisa gimana? Aku belom sarapan lho Mas. Tungguin napa?"Aku menyugar rambutku. Masalah perusahaan yang hampir kolaps, memang belum aku ceritakan padanya. Baiklah. Mungkin ini saatnya."Tolong bantu aku kali ini aja. Investor yang mau mendanai perusahaan kita, ingin bertemu denganku hari ini. Jika aku tidak datang, dan dana itu tidak jadi mereka salurkan, maka aku akan bangkrut. Kau mau hidup miskin Talita?"Kepala wanita itu menggeleng cepat. Sorot matanya terlihat bingung dengan penjelasanku."Bangkrut? Mana mungkin bisa bangkrut. Kau kan pebisnis Mas.""Tentu saja bisa, jika uang perusahaan terpakai untuk mendanai kepuasaanmu Talita. Sudah. Turuti saja perintahku. Jangan membantah. Selesai meeting, aku langsung balik ke sini."Kulangkahkan kaki meninggalkan Talita. Mengurus administrasi. Setelah selesai, aku memacu mobil dengan kecepatan tinggi.Aku sempat mengirimi pesan kepada Jonathan, sekretarisku, jika aku akan bertemu investor itu. Jonathan bahkan sudah shareloc. Sebuah kafe kekinian. Yang sementara naik daun di i*******m, menjadi tempat pertemuan, pilihan investor itu.Dua puluh menit kemudian, aku tiba. Setelah memakirkan mobil, aku masuk. Mendapati Jonathan sedang duduk dengan seorang anak muda. Tampan dan sangat bersahaja.Inikah investor itu? Wow...Dia mungkin baru berusia dua puluh tahun. Sama seperti usia Virgo anak bungsuku.Virgo masih suka keluyuran, balap motor dan pulang dalam keadaan mabuk. Tapi anak muda ini, sudah menjadi investor. Didikan orang tuanya luar biasa."Selamat pagi. Maaf saya terlambat. Ada halangan saat di jalan tadi." Kuulurkan tangan kananku dengan sopan kepada pemuda ini.Jonathan bahkan ikut berdiri bersamaku. Pemuda itu menyambut dengan hangat. Bahkan saat menggenggam tanganku, tangan kirinya pun ikut menyatu dengan jabatan tangan kami."Tidak apa-apa Tuan. Saya turut prihatin atas kecelakaan putri anda. Tadi Bang Jo sudah ceritakan semuanya. Apakah anda baik-baik saja? Bagaimana keadaan putri anda Tuan?"Aku terkesima. Benar kata orang, dewasa bukan diukur dari usia, tapi dari sikap dan tingkah laku. Anak muda yang sopan."Alhamdulillah anak saya baik-baik saja Tuan. Waktu saya kesini dia sementara di tangani oleh tenaga medis.""Di rumah sakit mana Tuan? Mungkin setelah meeting, saya bisa pergi menjenguknya.""Di rumah sakit Artama Tuan.""Oh yah? Kakak sulung saya dokter yang bekerja di rumah sakit itu Tuan. Dia seorang ahli bedah.""Wah. Luar biasa. Jika tidak merepotkan, dan jika punya waktu, Tuan bisa menjenguk anak saya!"Kami terlibat obrolan ringan. Santai. Dan ada satu perasaan dekat yang tidak bisa aku jelaskan, yang aku rasakan terhadap anak muda di depanku ini."Jadi, bagaimana dengan permohonan kami Tuan? Apakah anda bersedia membantu?" tanyaku hati-hati."Yah. Pasti Tuan. Tadinya saya ke sini dengan CEO perusahaan kami. Ibu saya sendiri. Hanya beliau harus cepat-cepat pulang. Kakak perempuan saya yang satunya lagi, akan mengadakan konferensi pers, dan Ibu harus hadir untuk menemani."Aku terdiam dengan kekaguman. Keluarga yang luar biasa. Kakak sulungnya dokter, kakak keduanya pasti seorang publik figur, dan dia sendiri telah bekerja di perusahaan dengan jabatan yang tinggi.Seandainya, ketiga anakku seperti mereka. Bahkan sekarang aku di hadapkan dengan masalah yang sebagian besar di sebabkan oleh anak-anak itu. Ini karena Talita yang terlalu memanjakan mereka.Satu jam kemudian, kami bubar. Arga, pengusaha muda itu akan mentransfer sejumlah uang, setelah besok, kami mengesahkan perjanjian yang akan di tandatangani di kantornya. Aku lega. Setidaknya pengorbananku meninggalkan Melisa yang sedang menjalani operasi, terbayarkan dengan mendapatkan kucuran dana dari Arga dan perusahaannya. Kupacu mobil kembali ke rumah sakit. Melewati kawasan ruko karena jalan biasanya sedang ada pembersihan. Saat melewati sebuah toko kue yang sedang viral, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Anaya. Wanita yang tiga belas tahun yang lalu hidup denganku. Gegas, kubelokan mobil. Memarkir di depan toko. Toko kue Ar4Cake. Mungkin Anaya datang membeli kue di sini. Desain ruko yang di hias dengan ornamen-ornamen kekinian, membuat suasana terasa nyaman untuk segala kalangan. Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pengunjung. Tak kudapati wanita itu. Aku tidak mungkin salah melihat. Tadi Anaya masuk ke sini. "Maaf Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sap
Aku mengejar Aluna. Ingin tau dimana dia tinggal. Aku akan membuntutinya saja. Rasa penasaran akan kehidupan mereka bertambah, setelah melihat Aluna yang sudah berhasil menjadi seorang dokter. Aku pikir, Melisa akan lebih berhasil dari Aluna, nyatanya, bahkan Melisa sekarang di rawat oleh Aluna.Aluna menyetir alphard putih dengan lincah. Keluar parkiran rumah sakit, setelah itu meluncur mulus di aspal. Aku memberi jarak dua mobil di belakangnya. Kembali aku berpikir, jika Ayana tidak menikah lagi, lalu dengan apa dia menyekolahkan Aluna? Pendidikan kedokteran adalah salah satu yang paling mahal di negeri ini. Pasti Ayana sudah mendapatkan suami yang kaya. Apa bisa? Aku ragu. Ayana bukan wanita yang cantik seperti Talita. Mana bisa pria kaya menyukainya? Apalagi Ayana hanya seorang janda dengan dua orang anak. Dan salah satunya cacat. Mobil Aluna masuki kawasan perumahan super elit di kota ini. Perumahan ini adalah impian Talita sejak dulu. Belum bisa aku wujudkan, karena uang sela
Aku hempaskan tubuh di balik kemudi. Memukul setir dengan kencang. Sial! Bisa-bisanya wanita itu memperlakukan aku seperti ini. Harga diriku seakan-akan tidak ada arti di depannya. Bahkan di depan Arga. Dalam tiga belas tahun, dia berhasil hidup seperti seorang bangsawan. Aluna jadi dokter, Anatasya tidak lumpuh lagi, dan dia hidup di kawasan super elit, impian semua orang. Lingkup pergaulannya dengan para pebisnis itu, adalah cita-citaku sedari dulu. Mengapa impianku harus dia yang mendapatkannya? Dia yang biasanya lemah, tidak berdaya di hadapanku, sekarang malah bersikap seperti tidak mengenalku. Kupacu mobil setelah puas mengumpat dalam hati. Keadaan saat ini, membuat aku menyesali diriku yang lebih memilih Talita dari pada Anaya. Kelebihan Talita hanya wajahnya yang cantik rupawan, dan pelayanannya yang super di atas ranjang. Selebihnya, dia seperti lintah yang menghisap habis darahku. Tanpa peduli aku masih hidup, atau nafasku yang sudah ngeap, atau lebih parah lagi aku mau
Tanganku gemetar membuka map yang tadi kuletakkan di atas meja. Gugup bercampur malu. Aku jabarkan semua hal menyangkut keuntungan kepada pihak perusahaan yang memberi suntikan dana untuk perusahaanku. Tanpa berani mengangkat wajah menatap wanita di hadapanku ini. Aku terus berbicara sampai selesai. "Baiklah. Saya setuju memberi bantuan kepada anda. Selain keuntungan tadi, saya harap anda konsisten dengan waktu pengembalian sesuai kesepakatan. Jangan sampai ada penundaan di dua tahun pertama Tuan Surya. Hal itu akan mempengaruhi citra anda di hadapan kami. Karena itu, berusahalah sebaik mungkin mengatur keuangan. Jika anda butuh seorang akuntan handal, perusahaan kami, siap membantu. Kami punya beberapa akuntan terbaik. Itulah sebabnya kami tidak pernah kecolongan pada masalah keuangan."Perkataan Anaya sontak membuatku mengangkat kepala. Perusahaanku pun punya akuntan. Tapi masalahnya ada padaku. Aku selalu kalah dengan rengekan Talita. Jika dia ingin 100juta, maka, tanpa pikir pa
Aku merasa terabaikan. Tapi bersyukur karena bisa melihat anakku dari dekat. Aku ingat perkataan Arga saat pertama kali bertemu denganku. CEO perusahaannya adalah ibunya. Jika Anaya adalah ibunya Arga, berarti Arga adalah anak dari pernikahan Anaya sekarang? Ingin sekali aku bertemu pria itu. Pria yang sangat beruntung. Aku akan mencari waktu yang tepat, untuk bertemu dengan Anaya. Akan aku tanyakan semua hal mengenai dirinya. Dan juga tentang Aluna dan Anatasya yang tidak mengenalku lagi. "Saya pamit Tuan. Sekali lagi terima kasih atas bantuan anda." Aku mengangguk sopan. Menatap Anatasya dan Anaya yang masih berdiri di ruangan itu. Dan melangkah keluar dari sana. Oh. Sungguh aku menyesal menceraikan Anaya. Aku dan Talita mencari keberadaam mereka, berharap dengan sedikit uang, mereka bersedia membantu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Kami pikir, keadaan Anaya dan anak-anaknya pasti sangat memprihatinkan karena kemiskinan. Dan mereka akan setuju menjadi pendonor u
"Yah sudah. Aku gak peduli. Yang terpenting, cepat suruh kedua anak itu mendonorkan sumsum tulang belakang untuk Radit. Memang itu kewajiban mereka kan. Radit masih saudara mereka." Dengan entengnya Talita bicara seperti itu."Sayangnya, aku sangat ragu mereka akan mau menuruti keinginan kita." "Kamu ancam aja Mas. Gak akan jadi wali nikah untuk mereka. Gampang kan?"Aku terdiam. Memang Aluna dan Anatasya pasti akan mencariku untuk masalah yang satu itu. Namun, untuk menjadi wali nikah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah? Akan aku coba bernegosiasi dengan Aluna. Siapa tau dia akan luluh, karena butuh juga kepadaku. Apalagi, usia Aluna adalah usia yang sudah matang untuk menikah. "Mas. Jika Anaya sekarang CEO perusahaan, dia kaya dong. Kenapa gak kamu manfaatin aja? Atau manfaatin Aluna gitu." Aku menatap wanita di sampingku. Dia pikir Anaya masih sama seperti dulu yang bucin kepadaku? "Talita. Kalo mau kasih saran, cobalah kasih saran yang masuk akal."Tiba-tiba pintu rua
Mbok Narsih dan kedua rekannya membereskan meja makan. Setelah kami selesai makan. "Mbok! Jangan dicuci dulu piringnya. Letakkan aja di wastafel, lalu ke sini. Saya mau bicara.""Baik Tuan!"Aku meletakkan tiga amplop coklat cukup tebal di atas meja. Menunggu Mbok Narsih dan teman-temannya dari dapur belakang. "Ini upah kalian bulan ini. Plus bonusnya. Saya berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu meringankan pekerjaan di rumah ini." aku menarik nafas sebentar. Lalu menyodorkan amplop itu."Mulai besok, kalian tidak perlu lagi bekerja di sini. Saya tidak memecat kalian. Hanya menghentikan sementara, karena keadaan keuangan kami sedang tidak baik. Nanti setelah stabil lagi, saya akan panggil kalian untuk bekerja lagi di sini, jika kalian masih menginginkannya." Panjang lebar aku berkata kepada para art ini. Mereka hanya menunduk dan manggut-manggut. Sontak perkataanku membuat Talita meradang. "Kalau semuanya dipecat, lalu siapa yang akan mengerjakan pekerjaan rumah
Pov Anaya.Pernikahan impian bagiku telah terlaksana. Aku bahagia dipersunting pria tampan, berpendidikan dan mapan seperti suamiku, Mas Surya. Meskipun rumah tanggaku selalu dirongrong ibu mertua, tapi bagiku tak mengapa. Aku tetap bahagia.Usaha yang sementara didirikannya mulai beranjak naik. Dan menghasilkan pundi-pundi uang baginya. Yah hanya baginya. Aku seperti tidak ikut menikmati uang itu. Bagaimana tidak, uang bulananku, hanya 400ribu per bulan. Aku kelimpungan mengaturnya. Apalagi, ibu mertua yang selalu meminta makanan kepada kami. Aku berinisiatif untuk membuat kue, supaya punya penghasilan sendiri. Aku jual kue keju itu secara online. Mas Surya tidak tau itu. Meski begitu, aku selalu berusaha memupuk rasa cintaku pada Mas Surya. Selagi dia tidak bermain hati, aku masih bisa menahannya. Malapetaka itu datang, setelah satu tahun pernikahan kami. Mas Surya mulai berubah. Hampir tiap hari pulang kerja larut malam karena alasan banyak pekerjaan. Ponsel yang diprivasi. P