Share

Bab 03

Satu jam kemudian, kami bubar. Arga, pengusaha muda itu akan mentransfer sejumlah uang, setelah besok, kami mengesahkan perjanjian yang akan di tandatangani di kantornya.

Aku lega. Setidaknya pengorbananku meninggalkan Melisa yang sedang menjalani operasi, terbayarkan dengan mendapatkan kucuran dana dari Arga dan perusahaannya.

Kupacu mobil kembali ke rumah sakit. Melewati kawasan ruko karena jalan biasanya sedang ada pembersihan.

Saat melewati sebuah toko kue yang sedang viral, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Anaya. Wanita yang tiga belas tahun yang lalu hidup denganku.

Gegas, kubelokan mobil. Memarkir di depan toko. Toko kue Ar4Cake. Mungkin Anaya datang membeli kue di sini.

Desain ruko yang di hias dengan ornamen-ornamen kekinian, membuat suasana terasa nyaman untuk segala kalangan.

Kuedarkan pandangan, mengamati setiap pengunjung. Tak kudapati wanita itu. Aku tidak mungkin salah melihat. Tadi Anaya masuk ke sini.

"Maaf Pak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang karyawan toko, dengan ramah.

"Hm. Saya tadi sempat melihat teman saya masuk ke sini. Apakah ada seorang wanita yang tadi datang?" Tanyaku penasaran.

Karyawan itu tersenyum ramah.

"Kalo pengunjung sih belum ada Pak. Mungkin tadi Bapak melihat pemilik toko ini yang masuk Pak. Jika Bapak ada keperluan, biar saya panggilkan beliau."

Apa mungkin Anaya pemilik toko ini? Aku harus mengobati rasa penasaranku. Lagi pula, sudah lama aku mencari keberadaannya.

"Baiklah. Apa bisa saya bertemu beliau?"

"Bisa Pak. Beliau adalah orang yang ramah. Mari saya antar ke ruangan beliau."

"Bagaimana kalau saya tunggu di sini saja?" Aku merasa tidak enak berjumpa dengan seorang wanita di sebuah ruangan tertutup.

"Baiklah Pak. Silahkan Bapak menunggu sebentar. Saya panggil beliau dulu."

Setelah karyawan itu berlalu, aku mengambil tempat duduk tepat di depan kaca besar yang menghadap langsung ke jalan raya. Menunggu dengan berdebar. Berharap bisa bertemu Anaya.

Sekali lagi aku edarkan pandangan di sekeliling toko kue ini. Bagaimana bisa Anaya yang hanya seorang wanita lemah, lulusan SMA, dan kekurangan, bisa menjadi pemilik toko besar ini? Apakah dia sudah menikah lagi? Dan ini adalah usahanya dengan suaminya?

Derap langkah mendekatiku. Seketika kurasakan, seluruh aliran darahku mendadak beku. Wanita yang aku cari-cari selama ini, berdiri di hadapanku dengan penampilan yang jauh berbeda.

Refleks aku berdiri.

"Anaya? Kamu kah itu?"

Wanita di hadapanku ini bergeming. Mungkin dia juga terkejut melihatku. Namun beberapa detik kemudian, air mukanya terlihat biasa saja. Bahkan tersenyum dengan ramah, dia menangkupkan tangan di depan dada.

"Asallamualaikum Pak! Ia benar. Saya Anaya. Anaya Mahendra!"

Aku kikuk, karena uluran tanganku tidak di sambutnya.

"Silahkan duduk Pak."

Tatapanku lekat pada Anaya. Dengan tenang dia mengambil kursi lalu duduk berhadapan denganku.

Tak lama, karyawannya datang membawa dua gelas capucino dan kue keju. Itu kue kesukaan Anaya.

"Silahkan dicicipi Pak. Karyawan saya bilang, Bapak ada keperluan dengan saya. Ada yang bisa saya bantu?"

Kalimat yang keluar dati mulut Anaya, dan nada bicaranya, menyiratkan dia yang tidak mau ada kedekatan dalam bentuk apapun denganku. Meski dia tau, aku adalah ayah dari anak-anaknya.

"Apakah kau sudah menikah Nay?"

Anaya mengeryitkan kening. Lalu kembali tersenyum.

"Maaf Pak. Waktu saya terbatas untuk setiap pertemuan. Jika tidak ada hal yang penting, saya mau kembali bekerja." Suaranya pelan dan lembut, tapi berhasil menusuk hatiku.

"Nay. Tolonglah. Kita baru berjumpa setelah tiga belas tahun. Bisakah kau tidak bersikap formal kepadaku seperti ini? Bagaimanapun, aku adalah Ayah dari anak-anak kita!" Aku berkata seperti ini, berharap, Anaya sedikit memberi kelonggaran kepadaku. Sungguh situasi yang dia ciptakan membuatku sangat tidak nyaman.

Anaya tersenyum lagi. Tidak ada yang berubah dari raut wajahnya. Dia tetap tenang.

"Jika tidak ada hal yang penting yang ingin Bapak bahas, saya mohon diri. Maaf. Saya banyak pekerjaan."

Anaya berdiri. Hampir saja tanganku mencekal pergelangan tangannya, jika aku tidak melihat matanya yang menatap tajam pergerakanku.

"Maaf. Baiklah. Aku hanya ingin tau bagaimana kabar anak-anakku."

Anaya tetap pada posisi berdiri. Dengan ekpresi tenang yang kembali mendominasi wajahnya.

"Anak-anak saya baik-baik saja Pak. Mereka sehat dan sekarang sedang bekerja."

"Bekerja? Di mana tempat mereka bekerja? Aku ingin bertemu mereka."

Anaya menarik nafas dan menghembuskannya. Terlihat dia menahan kekesalannya. Apa salahku? Aku hanya ingin bertemu anak-anakku.

"Bapak kehilangan kesempatan untuk bicara hal yang penting dengan saya. Menanyakan tempat anak-anak saya bekerja, adalah pertanyaan yang tidak berguna dan sama sekali tidak penting, menurut saya. Maaf. Saya permisi."

Dia beranjak dari hadapanku. Berjalan santai masuk ke dalam ruangan. Aku terdiam dengan sikap Anaya.

Memang aku akui, sudah mengusir bahkan sudah menelantarkan anak-anakku. Tidak sepeserpun uang aku berikan setelah perceraian, untuk nafkah mereka.

Talita memegang kendali atas diriku. Lagi pula, kedua anakku dari Anaya, adalah perempuan. Anatasya justru anak yang cacat. Dia lumpuh setelah terjatuh dari kursi saat bermain di usia lima tahun.

Aku juga punya dua anak dari Talita yang jauh lebih manis dan cerdas dari anak-anak Anaya. Waktu itu Virgo belum lahir. Aku sangat senang karena dari Talita, aku punya dua orang anak laki-laki.

Aku bersyukur, yang penting sudah tau tempat usaha Anaya. Selesai mengurus Melisa, aku akan kembali untuk menanyakan keberadaan anak-anakku kepada Anaya.

***

Tangan putih mulus itu aku genggam. Setelah operasi, Melisa belum sadar hingga sekarang. Aku cemas dan kalut. Memikirkan masa depan anak gadisku ini.

Talita sudah kembali ke rumah, sejak aku sampai di rumah sakit. Belum juga kembali, padahal sekarang sudah mau masuk magrib.

Tok .. Tok ...

Pintu di dorong dari luar. Dokter muda yang tadi menolong Melisa masuk. Aku kembali tertegun saat menatap wajahnya.

Anaya. Yaah ... Dokter ini mirip sekali dengan Anaya. Saat dia mendekat, refleks mataku membaca name tag di dadanya. Aluna Putri S. Astaga ... Nama itu?

Aku mengusap wajahku. Apakah dia Alunaku? Aluna yang aku telantarkan sejak dia hadir di dunia? Saat aku mengusir Anaya, bukankah dia berusia 12 tahun? Apakah dia tidak mengenaliku?

"Selamat sore Pak. Saya datang mau mengecek keadaan pasien. Saya yang tadi mengoperasi Nona Melisa. Karena ini sudah waktunya saya pulang, saya ingin memastikan keadaan pasien!" suaranya terdengar lembut tapi tegas. Dengan wajah yang dihiasi senyum.

Dengan cekatan, dia memeriksa Melisa.

"Perkembangannya sangat baik. Jika nanti Nona Melisa sadar, tolong panggil perawat yah Pak, ada Dokter yang nanti akan menggantikan saya, memantau keadaannya." Katanya lagi.

Aku bergeming. Mataku kembali melihat name tagnya.

"Saya permisi Pak!" Dia menangkupkan tangan di dada. Lalu beranjak keluar ruangan.

"Tunggu sebentar Dokter!"

Dia berhenti. "Ada yang kurang Pak?"

Aku berjalan mendekatinya.

"Apakah nama Ibu anda Anaya Mahendra?" tanyaku tanpa basa-basi.

Dokter itu tersenyum.

"Wah. Apakah saya pernah bertemu anda sebelumnya? Atau anda adalah teman Ibu saya? Memang benar. Nama Ibu saya adalah Anaya Mahendra." Dengan tersenyum dia menjawabku.

Dalam hati aku bersorak. Anakku seorang dokter? Aluna jadi dokter! Ini luar bisa. Pantas saja, tadi aku merasa kenal dengan wajahnya.

"Apakah anda tidak mengenal saya? Atau anda sudah lupa? Saya adalah Surya, mantan suami Anaya. Ayahmu Dokter!" langsung saja aku mengakui identitasku.

Dengan bangga aku berharap, dia akan memelukku dan mengatakan dia merindukan aku.

Tapi sekian detik, tak kudapati dia bergerak. Sekarang aku melihat senyum tipis mengukir wajah cantiknya. Dia bicara dengan tenang dan tegas.

"Maaf Pak. Mungkin anda salah orang. Memang nama Ibu saya Anaya Mahendra. Tapi, saya sejak kecil sudah tidak memiliki Ayah. Saya dan adik saya, dibesarkan oleh Ibu kami, menyekolahkan hingga sekarang. Jadi, saya sama sekali tidak mengenal sosok Ayah saya. Maaf Pak. Jika tidak ada yang penting lagi, saya permisi."

Komen (9)
goodnovel comment avatar
marlaina marliana
mampus loe lelaki pecundang mau menebar benih tak mau bertanggungjawab. semoga semua anaknya menolak dua. aku berharap dia bangkrut buar merasakan juga sengsara seperti dia membuang anaknya
goodnovel comment avatar
Rimawati Sihite
ya ampun,masa pak Surya gak punya malu sama sekali, istrinya juga merasa berhak atas anak orang lain?dasar wanita jalang
goodnovel comment avatar
Anita Septiani
kena mental ga tuuuh wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status